Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar: Antara Kemerdekaan dan Kekacauan

3 Mei 2024   12:00 Diperbarui: 3 Mei 2024   12:22 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca memperingati Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2024 kemarin, memunculkan refleksi mendalam tentang kebijakan Merdeka Belajar. Di satu sisi, kebijakan ini bagaikan angin segar yang membawa semangat baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Di sisi lain, tak jarang muncul keraguan dan kritik, mempertanyakan apakah makna "merdeka" benar-benar terwujud atau justru kebablasan menjadi kebebasan tanpa arah.

Semangat Merdeka Belajar kerap diterjemahkan secara keliru sebagai kebebasan tanpa pola. Kesalahpahaman ini melahirkan kekhawatiran akan hilangnya esensi pendidikan, di mana guru tak lagi memiliki peran sentral dalam membimbing murid. Muncul anggapan bahwa murid dibiarkan "bebas" menentukan arah belajarnya tanpa arahan yang jelas, berpotensi mengarah pada pembelajaran yang tidak terarah dan tidak efektif.

Di tengah gejolak ini, terdapat ajakan untuk memperkuat pemahaman filosofis terhadap Merdeka Belajar. Penting untuk diingat bahwa kemerdekaan yang dimaksud bukan berarti tanpa batas, melainkan kemerdekaan yang bertanggung jawab dan berlandaskan nilai-nilai pendidikan yang luhur yang terejawantah dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Guru, sebagai fasilitator pembelajaran, memiliki peran krusial dalam membimbing murid untuk memanfaatkan kemerdekaannya secara optimal.

Program Guru Penggerak, salah satu inisiatif dalam kebijakan Merdeka Belajar, diharapkan dapat menjadi agen-agen perubahan yang sejati. Guru-guru penggerak dan para pengajar praktik baik ini diharapkan mampu menginterpretasikan filosofi Merdeka Belajar dengan tepat dan menerjemahkannya dalam praktik pembelajaran yang efektif dan bermakna. Selain itu harapannya para agen perubahan ini terus bergerak dan menambah jumlah barisan se frekuensi perubahan agar transformasi pendidikan Indonesia semakin cepat dan bermakna.

Namun, keberhasilan program ini tak lepas dari dukungan dan kolaborasi dari berbagai pihak. Kemendikbud Ristek sudah memastikan bahwa program ini tersosialisasi dengan baik dan diimplementasikan secara konsisten di seluruh pelosok negeri. Peran serta orang tua dan masyarakat juga tak kalah penting dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang mendukung terwujudnya Merdeka Belajar yang sesungguhnya.

Bagaikan Pisau Bermata Dua

Merdeka Belajar, kebijakan yang digagas oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, kebijakan ini bagaikan angin segar yang membawa semangat baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Penerapannya berpotensi mentransformasi pendidikan menjadi lebih fleksibel, berpusat pada murid, dan sesuai dengan kebutuhan individu. Hal ini membuka peluang bagi murid untuk mengembangkan bakat dan minatnya secara optimal, serta menjadi individu yang kreatif dan mandiri.

Di sisi lain, tak jarang muncul keraguan dan kritik terhadap Merdeka Belajar. Kekhawatiran utama adalah potensi kebablasan kebebasan yang diartikan sebagai minimnya arahan dan bimbingan dari guru. Dikhawatirkan pula bahwa murid akan terjerumus ke dalam pembelajaran yang tidak terarah dan tidak efektif.

Kekhawatiran ini diperparah dengan perubahan format administrasi dan peristilahan yang berlebihan dalam implementasi Merdeka Belajar. Hal ini justru memicu kebingungan dan membebani para pemangku kepentingan di lapangan. Alih-alih membebaskan, perubahan ini justru menghambat proses belajar mengajar dan mengalihkan fokus dari esensi pendidikan.

Filosofi Kemerdekaan dalam Pembelajaran

Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa kemerdekaan yang dimaksud dalam Merdeka Belajar tidaklah bersifat mutlak, melainkan kemerdekaan yang terbatas oleh tanggung jawab. Filosofi ini sesungguhnya tidak asing dalam pemikiran filsafat modern. Ahli filsafat seperti Jean-Jacques Rousseau, dengan konsepnya tentang "kebebasan yang dipimpin oleh hukum", menekankan bahwa kemerdekaan sejati terletak pada kemampuan individu untuk mengikuti hukum yang mereka ciptakan sendiri, yang pada gilirannya menghasilkan kemerdekaan yang bersifat kolektif dan adil. Begitu pula dengan Merdeka Belajar, kemerdekaan yang diberikan kepada peserta didik haruslah diiringi oleh kesadaran akan tanggung jawabnya terhadap proses pembelajaran.

Dalam konteks pendidikan, filsafat John Dewey juga memberikan sumbangan yang berharga. Dewey menekankan pentingnya pengalaman sebagai dasar dari pembelajaran yang bermakna. Baginya, kemerdekaan belajar bukanlah sekadar tentang membebaskan murid dari kontrol guru, tetapi lebih kepada memberikan kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam pengalaman belajar yang autentik, di mana mereka dapat mengaitkan pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka. Dalam pandangan ini, Merdeka Belajar dapat dilihat sebagai upaya untuk mewujudkan visi pendidikan yang berpusat pada peserta didik, yang memberikan ruang bagi mereka untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam dan relevan terhadap dunia di sekitar mereka.

Namun demikian, kesadaran akan tanggung jawab juga harus dimiliki oleh guru. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf pendidikan Paulo Freire, proses pendidikan sejati melibatkan dialog yang demokratis antara guru dan murid, di mana kedua belah pihak saling belajar dan mengajar. Guru, dalam konteks Merdeka Belajar, bukanlah sekadar pemberi informasi, tetapi juga fasilitator pembelajaran yang menginspirasi dan membimbing peserta didik dalam mengeksplorasi minat dan bakat mereka.

Selanjutnya, kita dapat mengaitkan Merdeka Belajar dengan gagasan tentang 'kebebasan positif' dalam filsafat politik. Ahli filsafat seperti Isaiah Berlin dan Amartya Sen telah menyoroti pentingnya kebebasan untuk mencapai potensi penuh individu, yang tidak hanya melibatkan kebebasan dari tekanan eksternal, tetapi juga kebebasan untuk mengembangkan kemampuan dan kecakapan yang dimiliki. Dalam konteks pendidikan, ini mengarah pada pemahaman bahwa Merdeka Belajar tidak hanya tentang memberikan otonomi kepada peserta didik, tetapi juga memberi mereka akses terhadap sumber daya, kesempatan, dan dukungan yang mereka butuhkan untuk mencapai keberhasilan akademis dan pribadi.

Namun, untuk mencapai kebebasan positif ini, kita perlu mengakui bahwa tidak semua individu memiliki kesempatan yang sama. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf politik John Rawls dalam konsepnya tentang "keadilan sebagai kesetaraan kesempatan", penting bagi sistem pendidikan untuk memberikan akses yang adil terhadap pendidikan bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, atau budaya mereka. Dalam konteks Merdeka Belajar, ini mengingatkan kita akan pentingnya mengatasi disparitas dalam akses terhadap pendidikan, memastikan bahwa semua peserta didik memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kemerdekaan dalam pembelajaran.

Dalam upaya mewujudkan Merdeka Belajar yang sesungguhnya, kita juga perlu melibatkan filsafat moral. Ahli etika seperti Immanuel Kant menekankan pentingnya menghargai martabat dan otonomi individu. Dalam konteks pendidikan, ini mengarah pada pemahaman bahwa setiap peserta didik memiliki nilai sebagai individu yang unik, dan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan keterampilan akademis, tetapi juga untuk membentuk karakter dan moralitas mereka. Dalam pandangan ini, Merdeka Belajar tidak hanya tentang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka, tetapi juga tentang membantu mereka menjadi warga yang bertanggung jawab dan beretika.

Terakhir, kita perlu mengaitkan Merdeka Belajar dengan gagasan tentang pembelajaran sepanjang hayat dalam filsafat pendidikan. Ahli filsafat seperti Mortimer Adler dan John Dewey telah menyoroti pentingnya pembelajaran yang berkelanjutan dan berkelanjutan sepanjang hidup kita. Dalam konteks Merdeka Belajar, ini mengingatkan kita bahwa pendidikan bukanlah sekadar tentang mencapai hasil akademis tertentu, tetapi juga tentang proses yang berkelanjutan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan untuk sukses dalam kehidupan pribadi dan profesional.

Dan sebagai catatan akhir, Merdeka Belajar tidaklah sekadar sebuah kebijakan pendidikan, tetapi sebuah panggilan untuk merefleksikan kembali hakikat dan tujuan pendidikan dalam masyarakat kita. Dengan memahami dan mengintegrasikan konsep-konsep filosofis yang mendasarinya, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang mempromosikan kemerdekaan, tanggung jawab, kesetaraan, moralitas, dan pembelajaran sepanjang hayat. Hanya dengan cara ini kita dapat mewujudkan visi pendidikan yang sejalan dengan cita-cita besar bangsa ini, yang menghasilkan generasi yang cerdas, berwawasan luas, dan bertanggung jawab. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun