Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Segita Ajaib Karakter: Komitmen Guru dalam Pembelajaran Holistik

13 April 2024   17:00 Diperbarui: 13 April 2024   17:11 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.canva.com/newmarants

Dalam upaya membentuk karakter Peserta didik yang kokoh dan berintegritas, peran guru sangatlah penting. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing yang bertanggung jawab atas pembentukan segitiga ajaib karakter Peserta didik: spiritual, moral, dan emosional. Tiga tungku ini menjadi pondasi yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan dan situasi dalam kehidupan. Mari kita jelajahi konsep ini melalui beberapa lensa berikut yaitu Nel Noddings dan Paula Freire, Howard Gardner dan Daniel Goleman.

Pertama: Spiritual

Nel Noddings, dalam bukunya "Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education" (Nel Noddings 1984;29), menyatakan, "The first thing a teacher must do, apart from imparting knowledge, is to convince the students that they are loved, and that they are lovable." Dengan kata lain, Noddings menegaskan bahwa perhatian dan kasih sayang adalah fondasi utama dalam membentuk karakter peserta didik. Guru harus memperkuat hubungan emosional dengan peserta didik, menciptakan ikatan yang kuat yang memungkinkan peserta didik untuk merasa didukung dan dihargai. Dengan membangun hubungan yang positif, guru dapat membantu peserta didik memperkuat nilai-nilai spiritual dalam diri mereka dan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang diri, orang lain, dan alam semesta.

Sementara itu, Paulo Freire, dalam bukunya "Pedagogy of the Oppressed" (Paulo Freire, 1970;53), menulis, "Education either functions as an instrument which is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity or it becomes the practice of freedom, the means by which men and women deal critically and creatively with reality and discover how to participate in the transformation of their world." Freire menekankan bahwa pendidikan sejatinya harus membebaskan peserta didik untuk berpikir kritis dan kreatif, serta menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Guru harus menciptakan lingkungan belajar yang mempromosikan kebebasan berpikir dan eksplorasi makna hidup, di mana peserta didik merasa didukung untuk mengeksplorasi identitas spiritual mereka dan memahami peran mereka dalam menciptakan perubahan yang positif dalam dunia.

Tiga tips untuk guru dalam memfasilitasi pengembangan karakter spiritual peserta didik adalah: pertama, luangkan waktu untuk membangun hubungan yang kuat dan empatik dengan peserta didik, dengan mendengarkan dengan penuh perhatian, menunjukkan empati, dan memberikan dukungan yang positif. Kedua, libatkan peserta didik dalam diskusi dan kegiatan yang mendorong refleksi diri dan eksplorasi nilai-nilai spiritual, seperti meditasi, jurnal harian, atau kegiatan keagamaan. Ketiga, menjadi teladan dalam kebijaksanaan spiritual dan kesadaran diri, dengan menunjukkan integritas, ketabahan, dan ketenangan dalam menghadapi tantangan hidup. Dengan menerapkan tips-tips ini secara konsisten, guru dapat membantu peserta didik memperkuat karakter spiritual mereka dan tumbuh menjadi individu yang berintegritas dan bermakna.

Kedua: Moral

Howard Gardner, dalam bukunya "Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences" (Howard Gardner, 1983, halaman 76), mengungkapkan, "The first intelligence comes in the form of... the capacity to distinguish among kinds of moral issues, to weigh the relative importance of a given moral issue, and to assess the appropriateness of various actions." Gardner menekankan bahwa kecerdasan moral melibatkan kemampuan untuk memahami, menilai, dan bertindak dalam situasi-situasi moral. Untuk mendorong perkembangan kecerdasan moral peserta didik, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang mempromosikan refleksi moral, diskusi nilai-nilai, dan analisis dilema etis. Melalui pendekatan ini, peserta didik akan terbiasa dengan proses pemikiran moral yang kritis dan terampil dalam mengambil keputusan yang etis.

Sementara itu, Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ" (Daniel Goleman, 1995, halaman 134) menekankan peran penting emosi dalam pembentukan moralitas. Goleman menyatakan, "Moral actions are more likely when preceded by empathetic emotions and are less likely when preceded by distress or negative emotion." Hal ini menunjukkan bahwa emosi berperan dalam pengambilan keputusan moral. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan pengelolaan emosi mereka sendiri dan membimbing peserta didik dalam mengenali dan mengelola emosi mereka secara sehat. Dengan memberikan contoh dan bimbingan yang tepat, guru dapat membantu peserta didik mengembangkan kecerdasan emosional mereka dan menggunakan emosi secara positif dalam pengambilan keputusan moral.

Tiga tips untuk guru dalam memfasilitasi pengembangan kecerdasan moral dan emosional peserta didik adalah: pertama, menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung di mana peserta didik merasa nyaman untuk berbagi pemikiran dan perasaan mereka. Kedua, memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berlatih refleksi diri tentang nilai-nilai, emosi, dan keputusan moral mereka, melalui jurnal harian, diskusi kelompok, atau meditasi. Ketiga, menjadi teladan yang baik dalam pengelolaan emosi dan tindakan moral, dengan menunjukkan empati, integritas, dan tanggung jawab dalam interaksi sehari-hari dengan peserta didik. Dengan menerapkan tips-tips ini secara konsisten, guru dapat membantu peserta didik memperkuat kecerdasan moral dan emosional mereka, sehingga menjadi individu yang berintegritas dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Ketiga: Emosional

Pilar ketiga dari artikel "Membangun Segitiga Ajaib Karakter: Komitmen Guru dalam Pembelajaran Holistik" adalah aspek emosional. Hal ini mencakup pemahaman dan pengelolaan emosi peserta didik serta pengembangan kesejahteraan emosional mereka. Emosi memainkan peran penting dalam pembentukan karakter karena dapat mempengaruhi sikap, perilaku, dan keputusan seseorang.

Nel Noddings, (1984;76), Noddings menekankan, "Feeling with, or feeling for, another is an ethical plus. The possibilities for education through empathetic encounters are immense." Hal ini menunjukkan bahwa melalui empati dan kepedulian, guru dapat menciptakan pengalaman belajar yang bermakna dan mendukung perkembangan emosional peserta didik.

Daniel Goleman, seorang psikolog yang dikenal dengan konsep kecerdasan emosional, juga menyoroti pentingnya pengembangan kesejahteraan emosional dalam pendidikan. Dalam bukunya "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ" (Daniel Goleman, 1995;134), Goleman menjelaskan, "Emotional self-awareness is the building block of the next fundamental social competence: accurately recognizing emotions in others." Ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran emosional dalam memahami diri sendiri dan orang lain, yang merupakan keterampilan kunci dalam membentuk hubungan yang sehat dan memecahkan konflik.

Tiga tips untuk guru dalam mengembangkan pilar emosional peserta didik adalah: pertama, memberikan model peran yang positif dalam pengelolaan emosi, dengan menunjukkan ketenangan dan kebijaksanaan dalam menghadapi situasi sulit. Kedua, menciptakan lingkungan belajar yang mendukung ekspresi emosi yang sehat, dengan memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berbicara tentang perasaan mereka dan mengekspresikannya melalui seni atau kegiatan kreatif. Ketiga, mengajarkan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang terkait dengan emosi, dengan membimbing peserta didik dalam mengidentifikasi perasaan mereka, menganalisis penyebabnya, dan merencanakan respons yang tepat. Dengan menerapkan tips-tips ini secara konsisten, guru dapat membantu peserta didik mengembangkan kecerdasan emosional mereka, mengelola emosi dengan efektif, dan memperkuat kesejahteraan emosional mereka secara keseluruhan.

Catatan Akhir

Dengan memadukan perspektif-perspektif ini, guru dapat membangun segitiga ajaib karakter yang kokoh dan berkelanjutan bagi Peserta didik. Melalui komitmen yang kuat untuk memperhatikan aspek spiritual, moral, dan emosional dalam setiap pembelajaran, guru mampu menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan holistik Peserta didik. Dengan demikian, mereka bukan hanya menjadi pengajar yang hebat, tetapi juga pembentuk karakter yang inspiratif dan berpengaruh bagi generasi penerus.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun