Jangan heran kalau hati saya gusar ketika Agustus 2015 silam mendengar tuduhan miring terhadap perusahaan kami. Kami dituduh merugikan negara, mana mungkin! Perusahaan kami terus diekspos, orang-orannya dicecar, seolah pelaku kejahatan tak terampunkan.
Saya mungkin hanya orang polos dari Yapen, Papua, tapi hati saya bisa membedakan mana benar mana salah. Hati kecil saya terusik. Selama ini Pelindo II mendapat kepercayaan ari investor asing dan banyak pihak. Mereka paham bagaimana visi misi ke depan Pelindo II. Ayolah, mereka yang menuding Pelindo II berbuat yang tidak-tidak, sudah berbuat apa untuk Indonesia, khususnya untuk warga Indonesia Timur? Saya sudah banyak bertemu dan mendengar omogan orang yang hanya teori saja, realisasi tidak ada. Pimpinan kami di Pelindo II justru sebaliknya.
Banyak orang omong besar ingin membangun ini dan itu di wilayah Indonesia Timur. Itu tidak akan mungkin kalau infrastrukturnya tidak ada. Mana mungkin investor mau masuk. Selama tiga tahun saya bergabung Pelindo II, terlihat perusahaan ini punya visi hebat membangun infrastrukturnya lebih dulu. Terobosan macam inilah yang kita butuhkan, bukan omong besar seperti yang dilakukan banyak pihak.
Sayang seribu sayang, kini proyek-proyek visioner itu tersendat. Pimpinan kami diberitakan macam-macam, semua tuduhan negatif itu. Semua ini mengganggu pekerjaan kami.
Walaupun kerja di kantor cabang, semua itu juga terasa. Pengguna jasa seakan tak percaya lagi. Tatapan mata mereka selalu mengaitkan kami dengan berita-berita miring.
Saya hanya orang kecil, karyawan biasa, bukan pengambil keputusan penting. Namun hati ini terus risau, cita-cita saya perlahan memudar. Tapi belum pudar sepenuhnya. Masih ada harapan di hati kecil saya, semua kembali seperti semula. Kembali bisa fokus bekerja, mewujudkan cita-cita masa kecil saya, membangun Tanah Papua, tanah harapan saya.
Saya ingin terus membaktikan diri pada negeri ini. Agar pembangunan bisa merata. Agar semua anak-anak di Indonesia Timur bisa mengecap pendidikan tinggi seperti saya. Agar kami bisa menikmati semua kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. Ingat, Indonesia bukan hanya Tanah Jawa.
Semoga pihak-pihak yang berkuasa di luar sana sudi mendengar jeritan hati saya, jeritan hati anak Serui, Papua. Saya jadi teringat sebuah lagu, yang selalu saya nyanyikan, setiap kali rindu kampung halaman.
Wopedombe wopopedombe sawato
Aie... Daie Jau ninao
Jembai deo Jembai deo dautafo