Barangkali itu alasan mengapa negara dan dunia usaha terlambat serta masih sedikit yang berivestasi di energi terbarukan. Menggusur orang agar bisa menyekopi batu bara masih lebih menguntungkan dalam jangka pendek bagi pengusaha.
Industri daur ulang ---kita sebut komunitas 3R (reuse, reduce, recycle) sejatinya masih menyumbang sedikit dalam upaya memperkecil gap menuju ekonomi melingkar atau ekonomi sirkular.Â
Inisiatif masyarakat ini yang sebagian besar tumbuh dalam bingkai idealisme menjaga lingkungan dan nilai ekonomi dari sampah. Namun, pemerintah belum hadir seperti yang seharusnya serta dunia usaha (produsen) tidak peduli dengan sampah produknya.
Pemerintah, alih-alih meregulasi kemasan produk ini, malah hanya menargetkan adanya pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga sebesar 30 persen yang diterjemahkan oleh pemerintah daerah dalam Jakstrada Persampahan.Â
Sudah adakah daerah tingkat dua dan provinsi yang mampu mencapai ini?Â
Kalaupun sudah ada, dua atau tiga daerah di Indonesia, sebagian besar daerah tingkat (kabupaten/kota madya dan propinsi) belum sanggup mencapai pengurangan 30 persen sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga melalui fasilitas pemrosesan.
Umumnya masih dengan paradigma lama: sampah diangkut lalu disembunyikan ke ke TPA (tempat pembuangan akhir). Indutri-industri pemrosesan belum didorong agar dapat tumbuh lebih banyak serta mandiri.
Sementara itu, pelaku 3R berkutat soal modal yang kurang, alat dan teknologi yang minim, pengembangan kapasitas yang lambat  dan dalam keadaan itu, mereka berupaya melakukan usaha pendaurulangan sampah yang sebetulnya cukup rumit.
Cicinya terlalu kecil serta menghabiskan banyak waktu untuk melepaskannya. Tutupnya cukup kecil serta ringan. Memerlukan waktu agar dapat diproses dengan volume yang cukup untuk selanjutnya didaur-ulang.