Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Slab ke Bokar, Sejarah Singkat Karet di Jambi

3 Februari 2020   23:19 Diperbarui: 3 April 2022   15:50 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uniknya, bahwa perilaku toke pengumpul sama juga dengan petani karet. Karet yang mereka kumpulkan biasanya direndam dulu hingga berbulan-bulan, kemudian diangkut dengan truk. Jika mobil pengangkut karet melintas di jalan raya, air sampai bercucuran dari bak truk tersebut serta mengeluarkan aroma khas.

Toke pengumpul melakukan itu karena mereka membeli karet dalam kondisi basah dan menjualnya dengan kondisi basah pula. Jika tidak direndam, timbangannya bisa berkurang. Di pabrik, toke juga menghadapi sistim grading, karena pabrik tidak mau merugi.

Dengan mutu karet dan tingkat kebasahannya yang berbeda-beda, sebenarnya karet yang ditransaksikan tidak pernah mengacu pada harga rillnya di pasar. Pemilik pabrik karet pada tahan awal hanya bekerja untuk membuang kotoran karet kotor itu lalu dicetak menjadi karet slabs. Hal itu tidak akan terjadi jika petani memproduksi karet kering (slab) sejak dari hulu.

Pengaruh yang lebih mendasar bagi petani adalah cash flow petani menjadi buruk. Durasi dari mulai menyadap karet sampai menjual hasilnya ke toke lokal bisa 60-90 hari. Hampir tidak ada yang menjual karet bokar setiap minggu atau setiap bulan. Kebiasaan yang berlaku adalah petani mengumpulkan dulu karet di kebunnya, setiap 3 hari dari pohonya lalu dimasukkan dalam bak pencampuran.

Setelah 2-3 bulan karet bokar dikeluarkan dari kebun untuk dijual ke toke pengumpul, jumlahnya tergantung luas kebun, namun paling tidak mereka akan keluarkan hasil dari kebun setelah 3-4 kuintal.

Masalahnya, petani tidak selalu punya cukup uang untuk menutup biaya hidup selamaa 60-90 hari/2-3 bulan. Namun petani karet selalu punya tempat untuk meminjam atau mengambil bon belanja kebutuhan sehari-hari.

Tempat mereka mengambil utangan atau bon belanja biasanya akan menjadi toke penampung karet mereka, itu semacam jaminan kepada pemilik warung yang sering merangkap toke getah juga--agar utang dan atau bon belanja petani dilunasi. 

Harga-harga barang belanja petani, karena baru akan dilunasi 2-3 bulan kemudian, dinaikan sepuluh persen, hal itu jamak berlaku di Jambi, termasuk pada petani karet di Riau dan Sumatera Selatan. Harga barang yang dibayar tunai dengan harga barang yang diutang selalu lebih murah.

Karena petani punya utang ke toke, hal itu membuat posisi tawarnya menjadi lemah. Jika sang petani menjual ke tempat lain, mungkin selisih keseluruhannya hanya beberapa puluh ribu saja.

Namun, konsekuensinya Ia tidak dapat meminjam lagi uang atau mengambil barang dengan cara bon ke toke yang sama. Petani pasti akan membutuhkan toke karena hasil bersih penjualan karet tidak akan cukup menutup biaya 60-90 hari kerja berikutnya.

Jika petani mengubah bokar menjadi karet slab sekarang, perlu upaya besar untuk melakukannya karena sistemnya sudah hilang. Hanya pabrik karet yang memperoduksi slab, toke pengumpul di desa tidak membeli lagi karet slab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun