Foto ini kemukinan dicetak di Pasar Bawah Kota Bangko Kabupaten Merangin Jambi medio November 2001, 19 tahun yang lalu. Diambil menggunakan kamera saku resolusi rendah lalu di cetak dalam kertas foto. Setelah sekian lama direpro (lagi) maka kualiatasnya sudah sangat merosot menjadi 'mirip foto'. Ini namanya ngotot...
Foto ini membangunkan memori saya tentang maraknya kegiatan 'bebalok'/'bebetong' (bahasa Melayu) atau kegiatan pembalakan hutan di masa, katakanlah jaman 'jahiliyah'.
Ongkak adalah ikon kuat dari kegiatan 'bebalok' atau pembalakan hutan itu.
**
'Bebalok' atau 'bebetong' (pembalakan hutan) masih menjadi fenomena umum yang ditemukan di bagian utara Taman Nasional Bukit 12. di usiannya yang ke dua tahun.
Menarik melihat pola ini bisa terus berjalan, bukan hanya Melayu dan warga transmigran, sekarang usaha ini menarik bagi Orang Rimba.
Di Sungai Makekal bagian tengah saya merubah cara pendekatan. Saya melibatkan diri dalam kegiatan ini dan merasakan kehilangan tenaga karena beratnya pekerjaan bebalok. Hal ini lebih memungkinkan saya memahami mereka dan mengetahui motivasi serta manfaat lain yang mungkin tidak pernah saya lihat.
Saya mengakrabkan diri dan mendapatkan hiburan tambahan dari cara saya menarik balok yang menurut mereka lucu. Dari sana saya mendapatkan banyak informasi tentang perkayuan dan bursa kayu, dan semakin luas dengan kesediaan mereka menceritakan prilaku para jenang (toke) mengukur balok/ kayu mereka serta keisengan mereka membuat merek-mereka kayu dengan menuliskan nama gadis tokenya.
Ini bermula dari uang Rp 1.000.000,00 yang harus cukup digunakan dalam tiga bulan, di bagi tiga orang dalam satu keluarga. Ketiga orang ini telah bekerja selama tiga hari dari 21 hari kerja efektif di bulan pertama.Â
Survey kayu telah dilakukan sebelumnya, dilanjutkan dengan memanca jalan ongkok lalu membersihkan jalan ongkak sepanjang 1-1,3 km. Membuat rel ongkak selama lima hari, menyetel ongkak selama tiga hari, mencari kayu untuk galang rel selama lima hari, mikul 'cemplong' (membuat jembatan pada jalan yang ber air atau melewati jalan yang berlubang) selama dua hari, menghubungi tukang tebang dengan tanda jadi Rp.100.000,-
Keluarga ini mengasuransikan keberhasilan semua kegiatan ini kepada anak tertuannya. Ia akan berada di depan memberikan dadanya untuk seutas tali yang akan dia gunakan menarik kayu sepanjang enam meter. Ia juga harus terus melakukan itu tanpa harus memperdulikan besarnya kayu, tapi ia bahagia karena sedang jatuh cinta.
Ia telah memberikan sepuluh ribu rupiah kepada pacarnya, dan membagikan 'louq' (lauk/makanan) pada calon mertuannya, kendatipun ia belum resmi diterima keluarga gadis. Imbalannya gadis tersebut membantu secara tidak mencolok pekerjaan mereka dengan turut membantu mendorong balok .
Semua tenaga harus dikerahkan. Tidak ada yang memudahkan balok kecuali minyak ongkak dari campuran getah karet dan minyak lampu yang dimasak dengan air hingga berbuih.Â
Orang yang di depan mengandalkan kekuatan betisnya, sedangkan yang dibelakang menjaga agar balok tidak keluar dari rel, mereka akan lebih waspada lagi jika sedang menuruni jalan.
Tumit menjadi tumpuan untuk menahan laju balok yang bisa membahayakan orang yang di depan. Jelas, mereka kekurangan tenaga, dan harus menutupinya dengan lebih bekerja keras lagi. Tidak ada yang benar-benar bisa melakukan ini sepanjang minggu, mereka biasannya mengambil waktu istirahat sesuai dengan volume pekerjaan yang telah diselesaikan.
Mereka mengeluhkan punggungnya, yang lebih tua merasakan ngilu pada tulang-tulangnya. Pekerjaan ini sangat menguras tenaga, tidak mengherankan jika konsumsi gula pada keluarga ini dalam bulan pertama mencapai 9 kg, dan beras 30 kg.
*) Dicuplik dari laporan kegiatan "Melempar Dadu di Bukit Dua Belas", Marahalim Siagian, laporan internal, KKI-Warsi, November 2001.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H