Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pemanfaatan Tradisional dan Mobilitas Spasial Orang Laut di Riau Kepulauan

8 Januari 2020   18:11 Diperbarui: 15 Mei 2022   19:36 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Laut yang bekerja di dapur arang (Foto: Marahalim Siagian)

Orang Laut berada di sebagian garis pantai Indonesia yang panjangnya mencapai 100.000 kilo meter. Mereka umumnya membentuk pemukiman di pesisir-pesisir pantai dengan mata pencaharian yang berorientasi ke laut. Di Selat Malaka, Kepulauan Riau, mereka bukan saja mengisi pulau-pulau tak perpenghuni tetapi melayari selat-selat dangkal yang jarang di patroli angkatan laut kita.

Orang Laut adalah nama generik, namun beberapa penggunaan nama lain adalah "sea nomads", Gipsi Laut, Orang Perahu, Bajau, Bajo, dan beberapa sebutan lain yang pada dasarnya merujuk pada suku bangsa yang lebih banyak menggarap sumber daya laut dan pesisir dibandingkan dengan sumber daya di teresterial (daratan).

Hingga abad ke-19 mereka memiliki peranan khusus di Kerajaan Melayu Lingga untuk mengamankan pelayaran yang sibuk di Selat Malaka yang sempit, dangkal, serta berkelok-kelok dari ancaman para lanum atau rompak laut Selat Malaka yang tersohor kejam.

**

Kita tidak akan tersesat di Pulau Batam, Tanjung Pinang, dan Lingga. Namun pada gugusan pulau-pulau kecil di Selat Malaka, puluhan pulau yang berpenghuni dan yang tak berpenghuni yang ukurannya kecil-kecil dan membingungkan, Orang Laut sangat paham seluk beluk pulau itu.

Pemukiman Orang Laut (Foto: Marahalim Siagian)
Pemukiman Orang Laut (Foto: Marahalim Siagian)
Di tahun 2007, penulis melakukan studi pemanfaatan sumber daya Orang Laut di Selat Malaka, guna mendapatkan gambaran bentuk pemanfaatan sumber daya mereka di darat, pesisir, dan terutama di lautan.

Rumah Orang Laut (Foto: Marahalim Siagian)
Rumah Orang Laut (Foto: Marahalim Siagian)
Orang Laut menuntun saya mengenali pulau-pulau berpenghuni maupun tak berpenghuni berikut ini: Pulau Gabah, Pulau Tekoli, Pulau Tajur Biru, Pulau Limas, Pulau Medang, Pulau Teban, Pulau Senang, Pulau Benan, Pulau Nopong, Pulau Baru, Pulau Bukit, Pulau Merondong, Pulau Mesanah, Pulau Duyung, Pulau Berjong.

Penjelajahan tak luput ke Pulau Mabong, Pulau Belubang, Pulau Cempa, Pulau Cumpa, Pulau Pasir Panjang, Pulau Tukul, Pulau Tanjung Kelit, Pulau Lipan, Pulau Mamut, Pulau Ujung Kayu, Pulau Manik, Pulau Banding, Pulau Senayang, Pulau Anak Hile, Pulau Laut, Pulau Lutung, Pulau Ujung Beting, Pulau Labah, Pulau Belakang Hutan, Pulau Cando, Pulau Kentar, Pulau Buluh, Pulau Pungguk, Pulau Kongki, Pulau Renaan, Pulau Mensuma, dan Pulau Kojang.

Perahu kajang Orang Laut (Foto Marahalim Siagian)
Perahu kajang Orang Laut (Foto Marahalim Siagian)
Perahu kajang adalah alat transportasi sekaligus rumah bagi kelompok Orang Laut yang masih nomaden (Marahalim Siagian)
Perahu kajang adalah alat transportasi sekaligus rumah bagi kelompok Orang Laut yang masih nomaden (Marahalim Siagian)
Secara administratif, pulau-pulau yang disebut di atas, diadministrasikan pada lima desa dan satu kelurahan dalam wilayah Kecamatan Senayang yakni:
  • Desa Tamiang terdiri dari Pulau Gabah, Tekoli, Tajur Biru, Limas, Pulau Medang, Teban dan Senang. Tajur Biru adalah Ibu kota Desa Tamiang.
  • Desa Pulau Medang meliputi pulau: Benan, Nopong, Baru, Bukit, Merondong, Mesanah, dan Duyung.
  • Desa Pasir Panjang terdiri dari pulau Berjong, Mabong, Belubang, Cempa, Cumpa, Pasir Panjang, dan Tukul. Sebagian dari Pulau Tukul (utara dan barat) adalah wilayah administrasi Desa Mamut.
  • Desa Mamut meliputi pulau Tanjung Kelit, Lipan, Mamut, Ujung Kayu, dan Manik.
  • Desa Rejai terdiri dari pulau Baran dan Rejai.
  • Kelurahan Senayang terdiri dari pulau Baning, Senayang, Anak Hile, Laut, Lutung, Ujung Beting, Labah, Belakang Hutan, Cando, Kentar, Buluh, Pungguk, Kongki, Renan, Mensuma, dan Kojang.

Area studi di komunitas Orang Laut, Selat Malaka, Kepualaun Riua | Dokumentasi pribadi
Area studi di komunitas Orang Laut, Selat Malaka, Kepualaun Riua | Dokumentasi pribadi
Pemanfaatan tradisional 
Dewasa ini, dengan munculnya industri perikanan, program pemukiman kembali Orang Laut (resetlemen penduduk oleh pemerintah), serta meningkatnya perebutan lahan penangkapan ikan di wilayah pemanfaatan tradisional mereka menjadi faktor yang secara serius memarginalkan Orang Laut.

Sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan Orang Laut antara lain gamat atau teripang, nos atau cumi-cumi (Foto: Marahalim Siagian)
Sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan Orang Laut antara lain gamat atau teripang, nos atau cumi-cumi (Foto: Marahalim Siagian)
Kepiting yang telah dikupas dan dipilah dijual ke Singapur (Foto: Marahalim Siagian)
Kepiting yang telah dikupas dan dipilah dijual ke Singapur (Foto: Marahalim Siagian)
Dewasa ini, semakin banyak kelompok Orang Laut yang meninggalkan nomadisme. Mereka menghadapi persaingan dalam penangkapan ikan komersial, meninggalkan gaya hidup tradisional, populasi mereka menyusut karena berasimilasi dengan budaya mayoritas.

Hanya sedikit sisa dari kelompok Orang Laut yang masih hidup dengan cara lama (nomaden). 

Kegiatan nelayan tradisional di Kepulauan Riau (Foto: Marahalim Siagian)
Kegiatan nelayan tradisional di Kepulauan Riau (Foto: Marahalim Siagian)
Dalam kasus Orang Laut yang telah hidup lebih menetap di garis pantai, kelong atau rumpon ikan mendikte sebagian besar pergerakan mereka. Sementara nelayan terumbu karang yang terlibat dalam perdagangan ikan hidup, lebih fokus pada kegiatan pengumpulan ikan.

Ikan hidup atau ikan segar hasil tangkapan mereka adalah sumber uang tunai harian yang dipergunakan untuk membeli kebutuhan sembako dan barang-barang kelontong yang mereka perlukan sehari-hari. 

Orang Laut menjalin hubungan dengan para toke lokal dalam sistem yang bercorak patron-klien.

Kelompok Orang Laut yang tidak terlalu terikat dengan perekonomian di darat, selama bulan-bulan, dimana air laut lebih tenang, Orang Laut melakukan perjalanan memancing yang lebih lama. Seringkali dalam kelompok kecil yang dapat berlangsung antara beberapa minggu hingga beberapa bulan.

Pada musim hujan dimana air laut pasang, ombak lautan menjadi tinggi, pola pergerakan spasial mereka cenderung berputar di sekitar rute penangkapan ikan tertentu yang relevan dengan kegiatan penangkapan ikan sehari-hari, pada selat-selat dangkal di belakang hutan mangrove/bakau yang dapat melindungi perahu mereka dari arus laut serta terpaan angin yang kencang.

Sementara kehidupan Orang Laut di pulau-pulau utama atau yang besar, dimana kegiatan pengawetan ikan kering berkembang, perempuan Orang Laut mengambil upah harian dengan membelah ikan teri serta dan tenaga kerja di lapak-lapak penjemuran ikan. 

Usaha-usaha pengeringan ikan itu umumnya dikendalikan oleh warga Tionghoa atau keturunan yang telah menjadi bagian dari populasi kota dan desa di Riau Kepulauan selama beberapa dekade.

Perahu tarik untuk membawa kayu bakau ke dapur arang (Foto: Marahalim Siagian)
Perahu tarik untuk membawa kayu bakau ke dapur arang (Foto: Marahalim Siagian)
Di luar sektor perikanan yang berkembang di pulau besar dan daerah-daerah pertumbuhan ekonomi, sumber-sumber pendapatan yang lebih stabil bagi Orang Laut adalah pembuatan arang. 

Pemilik dapur arang itu sebagian besar adalah warga Tionghoa. Orang Laut menjadi pemasok bahan baku arang yakni kayu dari hutan bakau serta terlibat dalam kegiatan di tungku pembakaran.

Orang Laut yang bekerja di dapur arang (Foto: Marahalim Siagian)
Orang Laut yang bekerja di dapur arang (Foto: Marahalim Siagian)
Arang bakau (Foto: Marahalim Siagian)
Arang bakau (Foto: Marahalim Siagian)
Mobilitas spasial

Ilustrasi: Peta pergerakan Orang Laut dalam The Sea Nomads 1800-1950, David E. Sopher, Plate II)
Ilustrasi: Peta pergerakan Orang Laut dalam The Sea Nomads 1800-1950, David E. Sopher, Plate II)
Wilayah pemanfaatan tradisional atau ruang hidup hidup Orang Laut yang nomaden pada peta sebaran dan mobilitas mereka hingga abad ke-19 dalam Sea Nomads (David E. Sopher, 1977) meliputi Selat Malaka, wilayah Johor, Kepulauan Riau, pantai timur Sumatra, Bangka, Belitung, Kepulauan Natuna, Kepulauan Sulu, Kalimantan Utara, Pesisir Sulawesi, hingga ke Teluk Tomini dan Kepulauan Maluku.

Sumber: Nastasha Ellen, dkk Januari 2018: Distribution of three main sea-nomad groups and sub groups in South East Asia
Sumber: Nastasha Ellen, dkk Januari 2018: Distribution of three main sea-nomad groups and sub groups in South East Asia
Studi lain yang mendukung ini adalah hasil penelitian Nastasha Ellen, dkk Distribution of three main sea-nomad groups and sub groups in South East Asia (2018). Dalam Understanding Social-Wellbeing and values of small -scale fisheries among the Sema-Bajau Archipelagic Southeast. 

Peta yang ditandai nomor 4 di atas menunjukkan bahwa Pulau Natuna adalah wilayah pemanfaatan tradisional Orang Laut.

Sumber: Peta Kemenkominfo
Sumber: Peta Kemenkominfo
Kalau dasar klaim China di Pulau Natuna adalah wilayah pemanfaatan tradisional, menurut penulis masih lebih berdasar mengatakan itu wilayah tradisional Orang Laut dan Orang Sema yang berada di pesisir Brunei Darussalam.***

Referensi:
The Sea Nomad: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Asia. David E. Sopher, 1977
Understanding Social-Wellbeing and values of small -scale fisheries among the Sema-Bajau Archipelagic Southeast, Nastasha Ellen, dkk Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun