Siapa Orang Polahi? Â Mereka banyak dibicarakan atau diberitakan, namun masih tergolong minim penelitian tentang mereka. Banyak berita di media cetak maupun situs online membicarakan praktik kawin inses atau boleh menikahi saudara kandung sendiri.Â
Saya sendiri penasaran. Apa betul ada masyarakat macam itu? Komunitas yang kawin-mawin dengan sesama saudaranya sendiri?
Melacak Keberadaan Polahi
Sekira percakapan publik tentang kawin inses atau kawin-mawin dengan saudara kandung sendiri adalah hoax, maka salah satu cara untuk membersihkan hoax dari ruang publik adalah dengan bertemu langsung dengan komunitas Polahi.Â
Meneliti kebenarannya dari sumber pertama, masyarakat Polahi itu sendiri.
Saya membuat ekspedisi kecil akhir tahun 2016. Tujuan utama ekspedisi ini antara lain untuk melacak kebaradaan komunitas Polahi serta persebarannya di hutan Gorontalo. Memastikan apakah mereka ada di kelompok hutan Popayato-Paguat.
Kelompok hutan Popayato-Paguat adalah hutan produksi bekas HPH (hak penguasaan hutan) yang bersambung dengan Cagar Alam Panua--tempat Burung Maleo, Suaka Margasatwa Nantu--suaka Babi Rusa serta Anoa, serta sembilan hutan lindung dalam satu kesatuan di bagian barat Propinsi Gorontalo.Â
Hutan bekas tebangan HPH itu ingin dipulihkan agar dapat mendukung penghidupan masyarakat yang ada disekitarnya serta rumah bagi keragaman hayati, termasuk burung dan fauna langka Indonesia.
**
Setahun sebelum kami melakukan ekspedisi, saya mengumpulkan serta mempelajari bahan dari sumber sekunder serta menanyai penduduk yang bermukim di sekitar hutan blok Popayato-Paguat.
Mengapa Keterangan dari Penduduk Desa Diperlukan?
Hampir mustahil ada sukubangsa yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, termasuk masyarakat yang masih nomaden atau berpindah-pindah.Â
Masyarakat yang hidupnya dengan cara berburu dan meramu. Â Memenuhi kebutuhannya dengan menggali umbi-umbian liar, humbut rotan, memungut jamur, madu, buah liar, memancing ikan, serta berburu hewan liar lainnya.
Sebagian besar kebutuhan mereka dapat tercukupi dengan cara itu, namun mereka tetap butuh barang dari dunia luar yang tidak dapat mereka buat sendiri. Garam misalnya, adalah mineral penting diperlukan tubuh manusia untuk hidup.Â
Hewan mamalia (hewan menyusui) mendapatkannya dari salt lick- air asin alami dari kubangan air di hutan atau menjilati tanah yang mengandung garam.Â
Manusia tidak mungkin melakukan hal yang sama-- mejilati tanah yang mengandung garam atau meminum air dari salt lick yang mengandung garam.
Kemungkinannya ada dua. Polahi mendapatkan garam serta barang-barang lain yang tidak bisa mereka buat melalui pihak perantara--jika mereka menghindari banyak kontak dengan masyarakat luar.Â
Kedua, mereka sesekali turun ke pasar melakukan barter atau membeli garam, kain, periuk, kapak, serta perkakas hidup lainnya yang mereka butuhkan di hutan namun tidak dapat mereka buat sendiri.
Di Sumatera (Jambi), peran perantara dunia luar dengan remote area (masyarakat hutan atau pedalaman) dilakukan oleh Jenang dan Waris.Â
Pada Dayak Punan di interior hutan Kalimantan, dimasa lalu melakukan barter dengan toke yang mudik ke hulu sungai membawa garam, barang-barang berbahan logam, termasuk guci atau tempayan yang berharga bagi mereka. Barang dari luar itu di barter oleh toke dengan hasil hutan seperti gaharu yang bernilai tinggi di pasar.
**
Penelusuran pertama 2016, saya bertemu dengan seorang Polahi bernama Toleya. Ia tinggal bersama orang desa di Desa Tamilo Kecamatan Saritani Kabupaten Boalemo Propinsi Gorontalo--kawasan ini juga dikenal dengan nama Daerah Paguyaman.Â
Terpisah dari kelompoknya, induk semang Toleya menuturkan, sekelompok Polahi dulu ada di dekat Desa Tamilo.Â
Penduduk curiga mereka mencuri dan memakan sapi penduduk lokal. Penduduk lokal yang kesal lantas mengumpani mereka dengan makanan berisi pupuk. Konon satu kelompok Polahi itu mati, Toleya tidak.
Saya mendapat keterangan tambahan dari Toleya mengenai kelompok-kelompok Polahi yang masih di hutan serta yang sudah dimukimkan oleh pemerintah melalui program (Komunitas Adat Terpencil). Dengan keterangan tambahan tersebut, saya membuat peta orientasi pelacakan.
Pangahu 67 Mdpl
Kami berangkat dengan tim beranggotakan 11 orang dari Desa Pangahu. Desa Pangahu Kecamatan Asparaga Kabupaten Boalemo Propinsi Gorontalo berbatasan dengan hutan Suaka Marga Satwa Nantu. Saya mengambil titik koordinatnya dan melihat ketinggiannya hanya 67 m di atas permukaan laut. Cukup rendah batin saya, maklum perokok pasti akan ngos-ngosan kalau mendaki bukit apalagi gunung.
Kami melewati petak-petak kebun jagung masyarakat. Terpapar terik matahari karena berangkat pagi menjelang siang. Baru lima ratus meter berjalan kaki, keringat mulai bercucuran, tenggorokan kering, mulai haus.
Berjalan sekitar 1.5 kilo meter, jalan sudah mulai dipayungi pepohonan. Meniti jalan setapak yang dilindungi pepohonan menguntungkan. Bekal air mineral kami tidak akan cepat habis. Kami mengaso sebentar, mengambil beberapa foto dokumentasi.
Dua jam lagi sebenarnya masih mungkin berjalan tanpa bantuan cahaya senter, namun ada resikonya. Bisa-bisa kami tidak dapat tempat yang cocok untuk bermalam. Kami perlu sungai yang airnya untuk dipakai memasak dan mandi.
Kami putuskan istirahat. Perlu menyimpan tenaga untuk melanjutkan perjalanan esok harinya. Â
Makan malam kami cukup buruk. Berasnya kebanyakan, airnya kurang. Nasi tidak tertanak dengan baik. Tapi tidak mengapalah. Masih bisa dimakan daripada menanggung lapar.Â
Besok paginya yang "urusan periuk" ganti orang, semua bisa sarapan dengan baik. Masing-masing sudah mengisi air minumnya, dicampur energy drink warnanya hijau seperti pertalite.
Menjelang siang, kami melihat satu keluarga Polahi, diantarai oleh Sungai Hatibi. Dari kejauhan tampak ada 2 anak kecil, 2 remaja, dan sepasang orangtua.Â
Ladin, nama salah satu dari 3 mahasiswa sosiologi yang berjajalan beriringan berada persis di dapan saya. Melihat ada Polahi, Ia setengah tidak percaya, Lalu  setengah berlari Ia melewati sungai yang penuh dengan berbatuan licin. Terpleset beberapa kali namun Ia mencapai seberang sungai.
Polahi (memang) Kawin Inses
Tahilu dengan Ipa melahirkan 4 orang anak yakni; Maulya, Dewi, Leni, dan dan Galang. Sementara perkawinannya dengan Ipa melahirkan 3 orang anak yakni; Yuli, Dadung, Juli.
Keluarga kedua terbentuk dari perkawinan Mauliya degan Ipa. Perkawinan ini adalah perkawinan sedarah (inses) antara anak dengan ibu kandung sendiri.
Mauliya adalah anak laki-laki tertua dari Tahilu sedangkan Ipa adalah istri pertama Tahilu. Perkawinan ini menciptakan sistem pemanggilan yang sumbang menurut ukuran orang luar: "anakku suamiku' bagi Ipa atau "ibuku istriku" bagi Maulya. Sementara bagi Tahilu, mantan istrinya menjadi menantunya. Adik-adik Maulya memanggilnya Bapak (tiri) tapi juga abang atau kakak.
Ada keterangan yang menarik, saat wawancara dengan Tahilu. Â Tahilu bilang, kalau cucunya Polahi sudah lahir, si kakek harus ke luar dari kelompok. Saya coba tanya lebih jauh, namun Tahilu hanya bilang itu adat mereka. Kalau dianalisis, mungkin mekanisme budaya mereka untuk menghindari inses antara cucu dengan kakek.
Perkawinan cucu dengan kakek bisa terjadi dalam rentang usia 15 dengan 65 tahun, sebab laki-laki memiliki kemampuan reproduktif lebih panjang. Berbeda dengan perempuan yang ada masa monopouse atau masa tidak subur lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H