Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Orang Polahi Boleh Kawin-mawin dengan Saudara Sendiri?

30 November 2019   18:34 Diperbarui: 8 Desember 2019   03:48 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidat atau 'sogili' salah satu makanan kesukaan Polahi (Doc. Marahalim Siagian)

Siapa Orang Polahi?  Mereka banyak dibicarakan atau diberitakan, namun masih tergolong minim penelitian tentang mereka. Banyak berita di media cetak maupun situs online membicarakan praktik kawin inses atau boleh menikahi saudara kandung sendiri. 

Saya sendiri penasaran. Apa betul ada masyarakat macam itu? Komunitas yang kawin-mawin dengan sesama saudaranya sendiri?

Penulis di pondok Polahi. Pondok seperti ini digunakan Polahi jika sedang berburu dan meramu (Doc. Pribadi)
Penulis di pondok Polahi. Pondok seperti ini digunakan Polahi jika sedang berburu dan meramu (Doc. Pribadi)
Antara tahun 2000-2017, ada selusin lebih sukubangsa berbeda yang saya kunjungi dan teliti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Batak Toba, Orang Rimba atau Suku Anak Dalam, Batin Sembilan, Melayu Jambi, Talang Mamak, Orang Laut di Selat Malaka, Orang Bakumpai di Barito Kuala, Dayak Punan di Sungai Malinau dan Tubu, Orang Mandar di Mamuju,  Kaili Bunggu di pengungan Donggala, Irarutu, Sumuri, dan beberapa kelompok sukubangsa di "kepala burung" Papua Barat. Tak satupun dari suku bangsa itu yang punya budaya kawin inses, adat yang membolehkan bapak boleh mengawini anaknya, anak laki-laki dengan ibunya, sasama saudara kandung saling mengawini.

Melacak Keberadaan Polahi

Sekira percakapan publik tentang kawin inses atau kawin-mawin dengan saudara kandung sendiri adalah hoax, maka salah satu cara untuk membersihkan hoax dari ruang publik adalah dengan bertemu langsung dengan komunitas Polahi. 

Meneliti kebenarannya dari sumber pertama, masyarakat Polahi itu sendiri.

Saya membuat ekspedisi kecil akhir tahun 2016. Tujuan utama ekspedisi ini antara lain untuk melacak kebaradaan komunitas Polahi serta persebarannya di hutan Gorontalo. Memastikan apakah mereka ada di kelompok hutan Popayato-Paguat.

Kelompok hutan Popayato-Paguat adalah hutan produksi bekas HPH (hak penguasaan hutan) yang bersambung dengan Cagar Alam Panua--tempat Burung Maleo, Suaka Margasatwa Nantu--suaka Babi Rusa serta Anoa, serta sembilan hutan lindung dalam satu kesatuan di bagian barat Propinsi Gorontalo. 

Hutan bekas tebangan HPH itu ingin dipulihkan agar dapat mendukung penghidupan masyarakat yang ada disekitarnya serta rumah bagi keragaman hayati, termasuk burung dan fauna langka Indonesia.

**

Setahun sebelum kami melakukan ekspedisi, saya mengumpulkan serta mempelajari bahan dari sumber sekunder serta menanyai penduduk yang bermukim di sekitar hutan blok Popayato-Paguat.

Mengapa Keterangan dari Penduduk Desa Diperlukan?

Hampir mustahil ada sukubangsa yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, termasuk masyarakat yang masih nomaden atau berpindah-pindah. 

Masyarakat yang hidupnya dengan cara berburu dan meramu.  Memenuhi kebutuhannya dengan menggali umbi-umbian liar, humbut rotan, memungut jamur, madu, buah liar, memancing ikan, serta berburu hewan liar lainnya.

Sebagian besar kebutuhan mereka dapat tercukupi dengan cara itu, namun mereka tetap butuh barang dari dunia luar yang tidak dapat mereka buat sendiri. Garam misalnya, adalah mineral penting diperlukan tubuh manusia untuk hidup. 

Hewan mamalia (hewan menyusui) mendapatkannya dari salt lick- air asin alami dari kubangan air di hutan atau menjilati tanah yang mengandung garam. 

Manusia tidak mungkin melakukan hal yang sama-- mejilati tanah yang mengandung garam atau meminum air dari salt lick yang mengandung garam.

Kemungkinannya ada dua. Polahi mendapatkan garam serta barang-barang lain yang tidak bisa mereka buat melalui pihak perantara--jika mereka menghindari banyak kontak dengan masyarakat luar. 

Kedua, mereka sesekali turun ke pasar melakukan barter atau membeli garam, kain, periuk, kapak, serta perkakas hidup lainnya yang mereka butuhkan di hutan namun tidak dapat mereka buat sendiri.

Di Sumatera (Jambi), peran perantara dunia luar dengan remote area (masyarakat hutan atau pedalaman) dilakukan oleh Jenang dan Waris. 

Pada Dayak Punan di interior hutan Kalimantan, dimasa lalu melakukan barter dengan toke yang mudik ke hulu sungai membawa garam, barang-barang berbahan logam, termasuk guci atau tempayan yang berharga bagi mereka. Barang dari luar itu di barter oleh toke dengan hasil hutan seperti gaharu yang bernilai tinggi di pasar.

**

Penelusuran pertama 2016, saya bertemu dengan seorang Polahi bernama Toleya. Ia tinggal bersama orang desa di Desa Tamilo Kecamatan Saritani Kabupaten Boalemo Propinsi Gorontalo--kawasan ini juga dikenal dengan nama Daerah Paguyaman. 

Terpisah dari kelompoknya, induk semang Toleya menuturkan, sekelompok Polahi dulu ada di dekat Desa Tamilo. 

Penduduk curiga mereka mencuri dan memakan sapi penduduk lokal. Penduduk lokal yang kesal lantas mengumpani mereka dengan makanan berisi pupuk. Konon satu kelompok Polahi itu mati, Toleya tidak.

Bersama Toleya, Orang Polahi yang tinggal bersama orang desa di Paguyaman. Jari kaki Polahi umumnya bengkok diduga hal itu berkaitan dengan adaptasi fisik mereka dengan medan yang berbukit dan bergunung (Docpri)
Bersama Toleya, Orang Polahi yang tinggal bersama orang desa di Paguyaman. Jari kaki Polahi umumnya bengkok diduga hal itu berkaitan dengan adaptasi fisik mereka dengan medan yang berbukit dan bergunung (Docpri)
Jika cerita itu benar, apakah Toleya tidak punya lagi saudara? Barangkali dari garis bapak atau garis ibunya?

Saya mendapat keterangan tambahan dari Toleya mengenai kelompok-kelompok Polahi yang masih di hutan serta yang sudah dimukimkan oleh pemerintah melalui program (Komunitas Adat Terpencil). Dengan keterangan tambahan tersebut, saya membuat peta orientasi pelacakan.

Peta orientasi Polahi yang dibuat pra ekspedisi tahun 2016 (Dokpri)
Peta orientasi Polahi yang dibuat pra ekspedisi tahun 2016 (Dokpri)
**

Pangahu 67 Mdpl

Kami berangkat dengan tim beranggotakan 11 orang dari Desa Pangahu. Desa Pangahu Kecamatan Asparaga Kabupaten Boalemo Propinsi Gorontalo berbatasan dengan hutan Suaka Marga Satwa Nantu. Saya mengambil titik koordinatnya dan melihat ketinggiannya hanya 67 m di atas permukaan laut. Cukup rendah batin saya, maklum perokok pasti akan ngos-ngosan kalau mendaki bukit apalagi gunung.

Kami melewati petak-petak kebun jagung masyarakat. Terpapar terik matahari karena berangkat pagi menjelang siang. Baru lima ratus meter berjalan kaki, keringat mulai bercucuran, tenggorokan kering, mulai haus.

Berjalan sekitar 1.5 kilo meter, jalan sudah mulai dipayungi pepohonan. Meniti jalan setapak yang dilindungi pepohonan menguntungkan. Bekal air mineral kami tidak akan cepat habis. Kami mengaso sebentar, mengambil beberapa foto dokumentasi.

Tim ekspedisi bertolak dari Pangahu menuju Suaka Margasatwa Nantu-Pegunungan Bolyohuto (Doc. Marahalim Siagian)
Tim ekspedisi bertolak dari Pangahu menuju Suaka Margasatwa Nantu-Pegunungan Bolyohuto (Doc. Marahalim Siagian)
Kami melanjutkan perjalanan. Mula-mula dari ketinggiaan 67 mdpl lalu 100 mdpl, 200 mdpl, 300 mdpl, 400 mdpl, elevasinya sekitar 45 derajat. Mendaki bukit dengan ransel posisi dibelakang menguras tenaga. Pinggang rasa mau patah, nafas ngos-ngosan. Di ketinggian 400 mdpl tim berkumpul, beberapa anjing tenaga lokal menyertai kami.

Tim ekspedisi setelah melewati medan terjal (Dokpri)
Tim ekspedisi setelah melewati medan terjal (Dokpri)
Perjalanan selanjutnya mulai landai, hanya turun naik di ketinggian 400 mdpl hingga 500 mdpl. Sebelum gelap, kami memilih tempat untuk bermalam. Perjalanan masih jauh. 

Dua jam lagi sebenarnya masih mungkin berjalan tanpa bantuan cahaya senter, namun ada resikonya. Bisa-bisa kami tidak dapat tempat yang cocok untuk bermalam. Kami perlu sungai yang airnya untuk dipakai memasak dan mandi.

Kami putuskan istirahat. Perlu menyimpan tenaga untuk melanjutkan perjalanan esok harinya.  

Perjalanan ke lokasi komunitas Polahi tidak bisa ditempuh dalam perjalanan satu hari, tim mendirikan tenda dan bivak untuk bermalam (Doc. Marahalim Siagian)
Perjalanan ke lokasi komunitas Polahi tidak bisa ditempuh dalam perjalanan satu hari, tim mendirikan tenda dan bivak untuk bermalam (Doc. Marahalim Siagian)
Kami berbagi tugas. Empat orang mendirikan bivak dan tenda. Ada yang mencari kayu bakar, menyalakan api, mengeluarkan alat masak dan bahan makanan dari tas ransel untuk kebutuhan makan malam 11 orang.   

Makan malam kami cukup buruk. Berasnya kebanyakan, airnya kurang. Nasi tidak tertanak dengan baik. Tapi tidak mengapalah. Masih bisa dimakan daripada menanggung lapar. 

Besok paginya yang "urusan periuk" ganti orang, semua bisa sarapan dengan baik. Masing-masing sudah mengisi air minumnya, dicampur energy drink warnanya hijau seperti pertalite.

Menjelang siang, kami melihat satu keluarga Polahi, diantarai oleh Sungai Hatibi. Dari kejauhan tampak ada 2 anak kecil, 2 remaja, dan sepasang orangtua. 

Ladin, nama salah satu dari 3 mahasiswa sosiologi yang berjajalan beriringan berada persis di dapan saya. Melihat ada Polahi, Ia setengah tidak percaya, Lalu  setengah berlari Ia melewati sungai yang penuh dengan berbatuan licin. Terpleset beberapa kali namun Ia mencapai seberang sungai.

Polahi (memang) Kawin Inses

Sungai Hatibi, saat tim ekspedisi bertemu dengan komunitas Polahi (Doc. Marahalim Siagian)
Sungai Hatibi, saat tim ekspedisi bertemu dengan komunitas Polahi (Doc. Marahalim Siagian)
Kami menghabiskan sepekan di kelompok ini. Mencari jawaban beberapa pertanyaan penelitian. Hasil studi ini kami presentasikan ke publik di Universitas Negeri Gorontalo serta menjadi bahan dan rujukan untuk beberapa berita di media masa lokal dan internasional dalam 2 tahun terakhir.

Daun 'woka' dulu dipakai Polahi untuk menutup aurat. Pakain sejenis cawat. Biasanya diganti setelah 3 hari karena daun woka yang mengeras karena kering tidak nyaman dipakai. (Doc. Marahalim Siagian)
Daun 'woka' dulu dipakai Polahi untuk menutup aurat. Pakain sejenis cawat. Biasanya diganti setelah 3 hari karena daun woka yang mengeras karena kering tidak nyaman dipakai. (Doc. Marahalim Siagian)
Kelompok Polahi ini dipimpin seorang bernama Tahilu. Inti kelompok ini dibentuk oleh perkawinan Tahilu dengan dua perempuan kakak beradik bernama Lumaye dan Ipa. 

Tahilu dengan Ipa melahirkan 4 orang anak yakni; Maulya, Dewi, Leni, dan dan Galang. Sementara perkawinannya dengan Ipa melahirkan 3 orang anak yakni; Yuli, Dadung, Juli.

Keluarga kedua terbentuk dari perkawinan Mauliya degan Ipa. Perkawinan ini adalah perkawinan sedarah (inses) antara anak dengan ibu kandung sendiri.

Mauliya adalah anak laki-laki tertua dari Tahilu sedangkan Ipa adalah istri pertama Tahilu. Perkawinan ini menciptakan sistem pemanggilan yang sumbang menurut ukuran orang luar: "anakku suamiku' bagi Ipa atau "ibuku istriku" bagi Maulya. Sementara bagi Tahilu, mantan istrinya menjadi menantunya. Adik-adik Maulya memanggilnya Bapak (tiri) tapi juga abang atau kakak.

Galang (14 thn) anak Tahilu pemimpin kelompok (Doc. Marahalim Siagian)T
Galang (14 thn) anak Tahilu pemimpin kelompok (Doc. Marahalim Siagian)T
Apakah ini satu kasus yang kebetulan? Tidak. Penelitian ini mengkofirmasi kebenaran berita sebelumnya, bahwa tradisi kawin inses pada komunitas Polahi memang benar, bukan hoax.

Ada keterangan yang menarik, saat wawancara dengan Tahilu.  Tahilu bilang, kalau cucunya Polahi sudah lahir, si kakek harus ke luar dari kelompok. Saya coba tanya lebih jauh, namun Tahilu hanya bilang itu adat mereka. Kalau dianalisis, mungkin mekanisme budaya mereka untuk menghindari inses antara cucu dengan kakek.

Sidat atau 'sogili' salah satu makanan kesukaan Polahi (Doc. Marahalim Siagian)
Sidat atau 'sogili' salah satu makanan kesukaan Polahi (Doc. Marahalim Siagian)
Perlu diketahui bahwa proporsi antara laki-laki dengan perempuan tidak selalu seimbang. Dalam kasus perempuan lebih sedikit dibanding jumlah laki-laki, maka yang terjadi 1-2 perempuan akan berbagi dengan sejumlah laki-laki dewasa melalui mekanisme kawin cerai.

Perkawinan cucu dengan kakek bisa terjadi dalam rentang usia 15 dengan 65 tahun, sebab laki-laki memiliki kemampuan reproduktif lebih panjang. Berbeda dengan perempuan yang ada masa monopouse atau masa tidak subur lagi.

Daun 'woka' memiliki maafaat bagi Polahi. Dahulu selain untuk atap, daun muda dipakai untuk cawat (Doc. Marahalim Siagian)
Daun 'woka' memiliki maafaat bagi Polahi. Dahulu selain untuk atap, daun muda dipakai untuk cawat (Doc. Marahalim Siagian)
Dari anggota keluarga Tahilu kami mendapati seorang anak yang bisu bernama Dadung. Namun di luar aspek moral bahwa perkawinan yang demikian sumbang.  Mungkin perlu meneliti lebih lanjut dampak perkawinan inses (inbreeding) pada Polahi. Lembaga seperti Eijkman Institute perlu menelitinya lebih jauh agar kita tahu apa dampak kawin dengan saudara kandung bagi manusia secara genetik serta dampaknya bagi kesinambungan populasi Polahi itu sendiri.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun