Tim ekspedisi setelah melewati medan terjal (Dokpri)
Perjalanan selanjutnya mulai landai, hanya turun naik di ketinggian 400 mdpl hingga 500 mdpl. Sebelum gelap, kami memilih tempat untuk bermalam. Perjalanan masih jauh.Â
Dua jam lagi sebenarnya masih mungkin berjalan tanpa bantuan cahaya senter, namun ada resikonya. Bisa-bisa kami tidak dapat tempat yang cocok untuk bermalam. Kami perlu sungai yang airnya untuk dipakai memasak dan mandi.
Kami putuskan istirahat. Perlu menyimpan tenaga untuk melanjutkan perjalanan esok harinya. Â
Perjalanan ke lokasi komunitas Polahi tidak bisa ditempuh dalam perjalanan satu hari, tim mendirikan tenda dan bivak untuk bermalam (Doc. Marahalim Siagian)
Kami berbagi tugas. Empat orang mendirikan bivak dan tenda. Ada yang mencari kayu bakar, menyalakan api, mengeluarkan alat masak dan bahan makanan dari tas ransel
 untuk kebutuhan makan malam 11 orang.  Â
Makan malam kami cukup buruk. Berasnya kebanyakan, airnya kurang. Nasi tidak tertanak dengan baik. Tapi tidak mengapalah. Masih bisa dimakan daripada menanggung lapar.Â
Besok paginya yang "urusan periuk" ganti orang, semua bisa sarapan dengan baik. Masing-masing sudah mengisi air minumnya, dicampur energy drink warnanya hijau seperti pertalite.
Menjelang siang, kami melihat satu keluarga Polahi, diantarai oleh Sungai Hatibi. Dari kejauhan tampak ada 2 anak kecil, 2 remaja, dan sepasang orangtua.Â
Ladin, nama salah satu dari 3 mahasiswa sosiologi yang berjajalan beriringan berada persis di dapan saya. Melihat ada Polahi, Ia setengah tidak percaya, Lalu  setengah berlari Ia melewati sungai yang penuh dengan berbatuan licin. Terpleset beberapa kali namun Ia mencapai seberang sungai.
Polahi (memang) Kawin Inses
Sungai Hatibi, saat tim ekspedisi bertemu dengan komunitas Polahi (Doc. Marahalim Siagian)
Kami menghabiskan sepekan di kelompok ini. Mencari jawaban beberapa pertanyaan penelitian. Hasil studi ini kami presentasikan ke publik di Universitas Negeri Gorontalo serta menjadi bahan dan rujukan untuk beberapa berita di media masa lokal dan internasional dalam 2 tahun terakhir.
Daun 'woka' dulu dipakai Polahi untuk menutup aurat. Pakain sejenis cawat. Biasanya diganti setelah 3 hari karena daun woka yang mengeras karena kering tidak nyaman dipakai. (Doc. Marahalim Siagian)
Kelompok Polahi ini dipimpin seorang bernama Tahilu. Inti kelompok ini dibentuk oleh perkawinan Tahilu dengan dua perempuan kakak beradik bernama Lumaye dan Ipa.Â
Lihat Humaniora Selengkapnya