Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Romeo Tetap Salah!

28 November 2019   17:32 Diperbarui: 29 November 2019   08:58 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu waktu saya menceritakan kisah Romeo dan Juliet pada sekelompok laki-laki Orang Rimba yang bermukim di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Mereka belum pernah mendengar kisah percintaan yang tragis itu sebelumnya, baik melalui tontonan maupun bacaan.

Tujuan saya menceritakan kisah Romeo dan Juliet kepada mereka sebenarnya hanya ingin mendapatkan pandangan mereka tentang moral cerita itu. Berdongeng adalah bagian dari kebudayaan Orang Rimba, biasa dilakukan malam hari menjelang tidur. Masyarakat dengan tradisi lisan menggunakan cerita untuk mensosialisasikan suatu hal pada anggota komunitasnya.

Jangan bayangkan suasana saat saya menceritakan kisah Romeo dan Juliet ini seperti yang ada di film-film, dimana ada 6-7 orang laki-laki berkumpul mengelilingi api unggun di malam hari.  Seorang diantara mereka dengan mimik meyakinkan, bertelanjang dada, yang wajahnya sesekali disapu cahaya api unggun. Menyimak si pendongeng penuh hikmat dalam posisi duduk santai atau selonjoran, sambil menyenderkan punggungnya ke batang kayu.

Tidak. Saya menceritakan kisah ini disebuah pondok bekas pebalok (balak liar/illegal logging) yang sudah ditinggalkan, dalam suatu kerja lapangan. Ada 4 orang laki-laki menemani saya malam itu. Setelah bekerja seharian, mereka mampir ke pondok saya sambil merokok, mengisi waktu menjelang mereka mengantuk, lalu pulang satu persatu.

Sebagian mereka baring-baring. Meringkuk dalam sarung agar kakinya terbungkus dari nyamuk dan agas yang tak henti-hentinya menggangku kami. Dua bekas botol energy drink kami jadikan lampu teplok. Diisi minyak tanah. Penutupnya dilubangi lalu kain lap yang paling busuk yang tertinggal di jemuran bertali rotan, kami sobek, lalu diplintir sebagai sumbunya. Kertas timah rokok dipakai melilit ujungnya (kepala sumbu) agar nyala api tidak menyebar serta menyerap minyak tanah perlahan-lahan. 

**

Romeo dan Juliet ditulis oleh pujangga Inggris bernama William Shakespeare lebih dari 500 tahun yang lalu. Di belahan dunia berbeda, zona waktu yang berlainan, zaman berbeda, ribuan mil jauhnya dari Avon, Britania Raya (Inggris).

Saya menyesuaikan konteks cerita Romeo dan Juliet agar Orang Rimba dapat meresapi kisah ceritanya dengan baik. Misalnya, klan Kapulets dan klan Mountage menjadi rombong Kapulets dengan rombong Mountage dan beberapa yang lain.

**

Saya tidak akan mengulang cerita itu secara lengkap disini, karena saya anggap pembaca sudah tahu ceritanya. Lagipula, kisahnya panjang. Namun saya akan menggunting beberapa bagian dari kisah itu, seperti saya mendongengkannya kepada sekelompok lelaki Orang Rimba.

  • Di sebuah negeri ada dua 'rombong' yang saling bermusuhan, rombong Mountage dan 'rombong' Capulets. Perseteruan dua rombong ini sudah berlangsung lama, sudah berkarat.  Apa sebabnya, entahlah. Namun, sedikit saja ada persoalan diantara mereka, sudah cukup untuk menyulut pekerlahian jalanan. Laki-laki dari kedua rombong akan baku pukul sampai banyak yang berdarah-darah, patah mematah tulang...."

 Blangun...! Kata seseorang--sebagai reaksi tidak habis pikir bahwa ada permusuhan macam itu di luar sana.

  • Ada seorang pemuda tampan bernama Romeo, usianya kira-kira 20 tahun. Dia adalah anak pemimpin rombong Mountaqe. Ada seorang gadis berparas cantik. Rambutnya panjang berwarna pirang.  Matanya  biru. Usianya kira-kira 17 tahun. Dia anak pemimpin rombong Capulets. Romeo baru saja patah hati, karena putus cinta. Kekasihnya meninggalkannya lalu menikah dengan pria lain. 

 Oh Tuhan. Ucap seseorang

  • Suatu waktu, Romeo pergi berjalan-jalan untuk menghilangkan kesedihan hatinya. Ia berjalan tak tentu arah, hingga Ia melewati rumah pemimpin Capulets. Waktu itu, sedang ada pesta di rumah pemimpin rombong Capulets. Putrinya bernama Juliet sedang berulang tahun. Ayahnya membuat pesta perayaan untuk putrinya itu. Ia mengundang banyak orang, sekalian hendak memperkenalkan seorang pria yang akan menjadi tunangan Juliet. Banyak tamu pesta yang datang. Tanpa rencana, Romeo tertarik masuk untuk melihat-lihat keramain pesta itu. Diam-diam Ia menyusup masuk ke rumah pemimpin rombong Capulets. 

 Aih..., kata seseorang

  • Saat Romeo ditengah-tengah keramaian pesta, Ia melihat seorang gadis cantik. Ia menghampirinya dan mereka berkenalan. Perempuan itu bernama Juliet. Mereka lalu jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah pertemua singkat itu, rupa-rupanya Juliet dan Romeo sering menanggung rindu. Mereka dimabuk cinta.

 Mati..!, Reaksi beberapa orang. Artinya kira-kira "bisa celaka Romeo". 

  •  Sejak pertemuan pertama itu, karena hati mereka diliputi perasaan cinta yang dalam. Makan rasa tak enak, tidur rasa tak nyenyak, kalau sehari saja tak bertemu. Jadi, diam-diam Romeo dan Juliet mencari-cari cara untuk bisa bertemu. 

 Yeei...

  • Suatu waktu, rombong Mountage dan rombong Capulets berkelahi, baku hantam. Perkelahian itu membuat sahabat baik Romeo meninggal. Tidak terima sahabatnya mati dibunuh, Romeo balas dendam. Dia mencari tahu siapa yang membunuh sahabat baiknya itu, lalu membunuhnya balik. 

 Cacar ...!  Cacar adalah nama penyakit cacar, namun digunakan untuk menggambarkan perasaan menghadapi situasi yang tidak enak. 

  • Karena aksi balasan Romeo yang membunuh rombong Capulet, keadaannya menjadi rumit. Permusuhan diantara kedua rombong makin menjadi-jadi. Romeo pun dihukum. Hukumannya , Ia diusir jauh serta tidak boleh lagi kembali ke kampung. Selama-lamanya!! 

Piado adil. Tidak adil, kata mereka

  • Hati Romeo sedih tidak kepalang. Hancur karena kehilangan sahabat, terusir, serta akan kehilangan kekasih yang sangat dicintainya pula. Ia juga tahu bahwa ada rencana untuk menikahkan Juliet dengan laki-laki lain. Hubungan cinta kasih mereka di ujung tanduk. Juliet sapai jatuh sakit memikirkan Romeonya. Romeo juga sadar bahwa hubungan mereka pasti ditentang oleh keluarganya, ditentang pula oleh keluarga Juliet.  Permusuhan mereka sudah semakin dalam karena kejadian saling bunuh yang terakhir. 

 Ee taun! Aduh malangnya

  • Juliet mencoba cara untuk bisa bertemu dengan Romeo, sebab Juliet tidak mencintai tunangannya itu, sementara hari penikahannya sudah dekat. Tinggal 2 hari lagi !. Dengan bantuan seorang dukun (Red-dukun dipakai untuk mengkontekskannya dengan budaya Orang Rimba) Juliet memperoleh ramuan obat. Ramuan obat itu kalau diminum akan membuatnya mati suri selama 2 hari. Tujuannya agar Ia tidak jadi dinikahkan dengan lelaki yang tidak ia cintai itu. Lalu, Ia membuat rencana pelarian dengan dukun. Juliet menulis sepucuk surat kepada Romeo tentang rencananya, mereka akan bertemu disuatu tempat lalu melarikan diri.  Nasib malang, surat itu tidak pernah sampai ke tangan Romeo.  

 Semua terperanjat. Mengubah posisinya dari tadinya tidur menggulung dalam sarung, lalu duduk tak sabar menyimak kelanjutan cerita.

  • Mendengar kabar Juliet kekasihnya meninggal, Romeo kembali ke kampungnya diam-diam. Hatinya perih, rasanya tak terperi. Dicabik-cabik kesedihan. Ia menangisi pusara kekasihnya itu. Baginya, apa lagi artinya hidup. Jika tidak di dunia ini, ia ingin bersama Juliet di alam baka. Lalu Ia memutuskan bunuh diri.  Mati disamping pusara kekasihnya itu. Setelah dua hari, hilanglah pengaruh obat itu, Juliet hidup dari mati surinnya, namun Ia malah mendapati kekasihnya telah mati bunuh diri. Tak sanggup menahan kesedihan, Juliet pun memutuskan bunuh diri. Mereka mati sama-sama.

Saya menyapu pandang ke raut wajah mereka. Mencoba menangkap emosinya. Sepertinya  tragedi itu menjalari tubuh mereka, seakan merasakan kepedihannya.

Setelah suasana kembali "netral", saya mengajukan beberapa pertanyaan untuk menangkap apa moral cerita Romeo dan Juliet pada mereka. Mereka tidak membayangkan bahwa ada tragedi seperti itu. Belum pernah ada pengalaman mental dengan kisah yang sama. Namun, ada beberapa kasus pasangan kekasih yang saling mencintai, tidak direstui orang tua, kemudian mereka lari. Mereka menginstilahkannya dengan "menyentak putus".

**

Dalam budaya Orang Rimba--khususnya kelompok yang masih hidup di hutan, semua proses perkawinan yang wajar dimulai dari diterimanya berbagai bentuk pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Intensitasnya akan meningkat dengan diterimanya lamaran laki-laki. Sampai tahap itu, si laki-laki telah menapak satu tahap lebih maju sebagai calon suami, oleh karena itu si laki-laki memperoleh hak untuk mengunjungi lebih sering calon istrinya atau dapat tinggal sementara di kelompok calon istrinya, hal seperti ini lazim disebut dengan urang semendo (calon menantu).

Dalam kedudukannya yang demikian, si laki-laki akan terlibat dalam kegiatan sehari-hari dengan keluarga besar calon istrinya. Sedapat mungkin calon menantu harus menunjukkan kecakapannya dalam mencari nafkah di depan calon mertua dan calon ipar-iparnya. Bila tidak cakap mencari makanan, ia dapat ditolak secara terang-terangan, dengan mengatakan misalnya, "kamu tidak cakap mencari lauk, bagaimana kamu akan menafkahi istrimu nanti?".

Si laki-laki dapat memperbaiki reputasinya dengan bekerja lebih keras lagi, namun akan makan dalam porsi sedikit. Cara semacam itu dinilai baik, menunjukkan bahwa ia lebih peduli pada istrinya dibanding pada dirinya sendiri.

Dalam masa melakoni perannya sebagai orang semendo (calon menantu) laki-laki Orang Rimba bisa menghabiskan 2-5 tahun. Kalau ia tetap ditolak, akan timbul perkara diantara mereka dan seringkali berujung pada perhitungan berapa nilai  jasa dan barang yang telah ia berikan pada keluarga perempuan. Perkara seperti ini akan diputuskan dalam sidang adat. Bila pihak laki-laki dapat memenangkan perkara, mereka berhak menerima ganti rugi dalam bentuk sejumlah kain.

Di luar cara semendo, laki-laki dapat melarikan kekasihnya agar mereka kelak bisa menikah. Perbuatan seperti itu disebut "menyentak putus" atau tarik rentok. Tindakan seperti yang demikian dianggap mempermalukan/menghina keluarga perempuan, oleh karena itu sedapat mungkin mereka akan berusaha sekeras-kerasnya mencari pasangan yang melalarikan diri itu. Setelah dapat, merela diperhadapkan pada sidang adat.

Aturan adat untuk kasus yang demikian adalah cambuk, ditambah sejumlah denda yang harus dibayar oleh pihak laki-laki. Hukuman cambuk atau yang disebut adat bunuh-bunuhon dipertontonkan di depan umum. Dimaksudkan untuk "membayar" atau menghapus rasa malu pihak perempuan. Dalam acara penghukuman, keluarga pihak laki-laki diberikan hak untuk melindungi orang hukuman dengan resiko terkena cambuk.

Acara penghukuman sepintas mirip seperti sandiwara; ada tokoh antagonis, tokoh protogonis, penonton (audiens) dan orang hukuman.

Para eksekutor yang diperankan keluarga perempuan di dalam aksinya tidak boleh menyebabkan orang terhukum sampai cacat apalagi meninggal dunia. Maka, walaupun mereka mencambuk dengan ranting atau dahan dengan ekspresi marah, setiap lecutan haruslah terukur.

Cambuk memang memproduksi rasa sakit, tetapi itu bukan tujuan utamanya, melainkan-seperti yang sudah disebutkan di muka, tujuannya untuk mengembalikan martabat keluarga perempuan.

Dalam kasus seperti ini, perempuan tidak pernah salah, walaupun IDE UNTUK LARI darinya. Seloka adat mengatakan, anjing nyalak babi berani, artinya lebih kurang, tidak mungkinlah perempuan berani mengajak lari laki-laki. Maka, laki-lakilah yang harus bertanggung jawab atas pelarian itu, perempuan hayanlah korban.

Seloka lain juga mendukung  teori ini  'kalau durian berguling ke mentimun yang luka/tertusuk adalah mentimum, kalau mentimun yang berguling ke durian, mentimun juga yang luka' (kalu sentimun bergolek ke durian sentimun yang luka, kalau durian yang bergolek ke sentimun, sentimun juga yang luka).

Dalam perumpamaan ini, perempuan adalah mentimunya dan laki-laki adalah duriannya. Luka dalam idiom ini adalah "rusak" atau perempuan kehilangan kesuciannya (dalam nalar hukum mereka, tidak penting apakah mereka telah melakukan hubungan seksual atau tidak).

Jadi siapa yang salah dalam tragedi Romeo dan Juliet? 

Dalam sudut pandang mereka, Romeolah yang salah. Romeo tetap salah! Mengapa dia tidak berhenti. Sudah tahu kalau hubungan cinta itu terlarang, kalau diteruskan akan menimbulkan perkara besar, namun Ia masih melanjutkannya juga. Kembali ke perumpamaan mentimun dan durian. Dimana perempuan ibarat mentimun, laki-laki duriannya, kalau keduanya bertemu timunlah yang rusak. 

Romeo buta, dibutakan cinta, katanya. 

Apakah saya atau pembaca setuju dengan itu? Hemat saya, itu pertanyaan yang kurang relevan, karena budaya nisbi/relatif,  tetapi moral cerita percintaan yang berakhir tragis antara Romeo dan Juliet, sekarang kita tahu.***

*) Reposting. Mohon maaf, tidak sengaja postingan pertama terhapus (delete). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun