**
Dalam budaya Orang Rimba--khususnya kelompok yang masih hidup di hutan, semua proses perkawinan yang wajar dimulai dari diterimanya berbagai bentuk pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Intensitasnya akan meningkat dengan diterimanya lamaran laki-laki. Sampai tahap itu, si laki-laki telah menapak satu tahap lebih maju sebagai calon suami, oleh karena itu si laki-laki memperoleh hak untuk mengunjungi lebih sering calon istrinya atau dapat tinggal sementara di kelompok calon istrinya, hal seperti ini lazim disebut dengan urang semendo (calon menantu).
Dalam kedudukannya yang demikian, si laki-laki akan terlibat dalam kegiatan sehari-hari dengan keluarga besar calon istrinya. Sedapat mungkin calon menantu harus menunjukkan kecakapannya dalam mencari nafkah di depan calon mertua dan calon ipar-iparnya. Bila tidak cakap mencari makanan, ia dapat ditolak secara terang-terangan, dengan mengatakan misalnya, "kamu tidak cakap mencari lauk, bagaimana kamu akan menafkahi istrimu nanti?".
Si laki-laki dapat memperbaiki reputasinya dengan bekerja lebih keras lagi, namun akan makan dalam porsi sedikit. Cara semacam itu dinilai baik, menunjukkan bahwa ia lebih peduli pada istrinya dibanding pada dirinya sendiri.
Dalam masa melakoni perannya sebagai orang semendo (calon menantu) laki-laki Orang Rimba bisa menghabiskan 2-5 tahun. Kalau ia tetap ditolak, akan timbul perkara diantara mereka dan seringkali berujung pada perhitungan berapa nilai  jasa dan barang yang telah ia berikan pada keluarga perempuan. Perkara seperti ini akan diputuskan dalam sidang adat. Bila pihak laki-laki dapat memenangkan perkara, mereka berhak menerima ganti rugi dalam bentuk sejumlah kain.
Di luar cara semendo, laki-laki dapat melarikan kekasihnya agar mereka kelak bisa menikah. Perbuatan seperti itu disebut "menyentak putus" atau tarik rentok. Tindakan seperti yang demikian dianggap mempermalukan/menghina keluarga perempuan, oleh karena itu sedapat mungkin mereka akan berusaha sekeras-kerasnya mencari pasangan yang melalarikan diri itu. Setelah dapat, merela diperhadapkan pada sidang adat.
Aturan adat untuk kasus yang demikian adalah cambuk, ditambah sejumlah denda yang harus dibayar oleh pihak laki-laki. Hukuman cambuk atau yang disebut adat bunuh-bunuhon dipertontonkan di depan umum. Dimaksudkan untuk "membayar" atau menghapus rasa malu pihak perempuan. Dalam acara penghukuman, keluarga pihak laki-laki diberikan hak untuk melindungi orang hukuman dengan resiko terkena cambuk.
Acara penghukuman sepintas mirip seperti sandiwara; ada tokoh antagonis, tokoh protogonis, penonton (audiens) dan orang hukuman.
Para eksekutor yang diperankan keluarga perempuan di dalam aksinya tidak boleh menyebabkan orang terhukum sampai cacat apalagi meninggal dunia. Maka, walaupun mereka mencambuk dengan ranting atau dahan dengan ekspresi marah, setiap lecutan haruslah terukur.
Cambuk memang memproduksi rasa sakit, tetapi itu bukan tujuan utamanya, melainkan-seperti yang sudah disebutkan di muka, tujuannya untuk mengembalikan martabat keluarga perempuan.
Dalam kasus seperti ini, perempuan tidak pernah salah, walaupun IDE UNTUK LARI darinya. Seloka adat mengatakan, anjing nyalak babi berani, artinya lebih kurang, tidak mungkinlah perempuan berani mengajak lari laki-laki. Maka, laki-lakilah yang harus bertanggung jawab atas pelarian itu, perempuan hayanlah korban.