"Pancunglah ikuk pancung kepalo
anak sawo mandi berendam
turunlah siku turun segalo
orang menalo rindu dendam"
Seuntai tomboy (pantun) keluar dari mulut seorang pemuda Rimba, namanya Melabatu. Orang Rimba adalah penghuni hutan dataran rendah Sumatera pada percabangan sungai Batang Hari. Kawasan hidup mereka antara lain di Taman Nasional Bukit Duabelas, Propinsi Jambi.
Pemuda itu sudah akil balik, sudah bujang. Ia sedang bersiap memanjat pohon besar yang daun dan rantingnya disarangi lebah penghasil madu. Pohon itu tinggi, sekitar 30-40 meter tingginya. Batang bawahnya besar, perlu empat orang dewasa agar dapat memeluk banirnya.
Menurunkan madu dari pohon Sialang bukan perkara gampang. Biasanya dilakukan orang yang yang sudah terlatih disebut piawang. Ada ratusan ribu atau bahkan jutaan individu lebah bersarang di pohon Sialang.Â
Jumlah koloninya antara 30-35, menempel pada dahan serta ranting sebuah pohon Kedundung. Pohon Kedungdung dan pohon jenis lain yang biasa disarangi oleh lebah disebut pohon Sialang.
Tradisi memanjat pohon Sialang atau nyialong hanya terjadi sekali dalam setahun. Ada kalanya lebih lama, jika hutan sedang meradang karena dilanda musim kemarau. Biasanya bunga-bunga tidak menjadi, sehingga lebah enggan datang dan bersarang.
Nyialong dilakukan di kala bunga-bunga pepohonan di rimba sudah bermekaran. Bunga-bunga pepohonan itu dihinggapi lebar besar Sumatera, Apis dorsata. Apis dorsata mengambil nectar dan pollen dari beratus macam jenis bunga-bungaan di hutan, lebah-lebah pekerja membawanya berkilo-kilo meter, lalu menimbunnya dalam koloni.Â
Sarang koloni itu berisi madu yang lezat, sumber protein dari alam yang bisa langsung dimakan. Selain madu, sarang lebah itu mengandung larva dan lilin. Lilin juga bernilai. Sedikit pengolahan dapat dijual kepada pengrajin, mereka membutuhkannya untuk membuat batik tulis. Lilin olahan itu di pasar dikenal dengan nama malam.Â
Hukum adat mereka mengaturnya dengan jelas. Sama seperti manusia, jika seseorang luka maka dia harus di pampas, jika mati maka dia harus di bangun. Seloka adat menyebut 'kalau luka di pampas, kalau mati di bangun'.
Dendanya diwujudkan dalam membayar sejumlah kain, besaran dendanya tergantung tingkat kerusakan pohon Sialang. Bisa antara 60-150 lembar kain. Harga sebuah kain paling murah 50.000 rupiah.Â
Jika denda kain itu diuangkan, nilainya setara 3 juta -7.5 juta rupiah. Namun jika seseorang menebangnya--dianggap mati, dendanya setara dengan membayar satu nyawa manusia. Pelaku dapat dituntut membayar denda bangun sebanyak 500 lembar kain atau setara 25 juta rupiah.
Denda adat tersebut berlaku di kalangan Orang Rimba saja. Jika pelakukanya ternyata bukan dari kalangan mereka--nilainya bisa lebih besar, sebab tujuan hukum antara lain adalah agar orang jera melakukan perbuatan jahat.
***
Sepekan sebelumnya, Melabatu sudah mempersiapkan diri mengurusi peralatan yang Ia perlukan agar dapat menurunkan madu dari pohon Sialang itu.
Mengikuti nasehat para tetua dan rerayo (orang dewasa) Ia pun menjalani puasa mandi tidak pakai sabun, tidak boleh makan cabai, serta tidak boleh makan makanan yang bergaram.
Ketiga jenis pantangan itu dipercaya bersifat 'tajam' : berbau, pedas, serta asin (bomambu, peday, mansin), dipercaya ketiga sifat itu dapat mengundang lebah untuk menyengatnya. Jika sampai ribuan lebah mengerubunginya sementara lebah-lebah itu mengandung bio (bisa), Ia mendapat celaka.
Selain itu, makanan lain yang juga harus Ia dihindari adalah ikan baung dan lele, tikus, serta daging babi-- makanan tersebut juga dianggap memiliki sifat "tajam".
Untuk itu, Melabatu membuat paku berbahan kayu, panjangnya kira-kira 25 centi meter, terbuat dari kayu Pisang (nama kayu, bukan pohon pisang)---disebut lantak.
Agar lantak mampu menyangga tubuhnya serta tidak patah saat dipakukan ke batang pohon Sialang, Ia perlu mengasapinya. Proses pengasapan akan membuat lantak menjadi lebih kuat sekaligus lebih ringan.
Lantak yang fungsinya sebagai pijakan kaki, diperlukan untuk menjangkau sarang lebah hingga ke ujung-ujung dahan. Jumlah yang Ia butuhkan kira-kira 60-70 buah. Lantak dipakukan menggunakan pemukul serupa martil, namanya geganden. Geganden dibentuk dari akar kayu yang keras.
Melabatu juga membutuhkan beberapa tunom, alat serupa obor yang dibentuk dari kulit kayu Meranti. Kulit kayu Meranti itu setelah dipukul-pukul akan menjadi lembut serupa batang jerami.
Ujung tunom akan dibakar lalu disapukan pada sarang lebah sebagai cara untuk menghalaunya. Dengan begitu, Ia dapat mengiris sarang tanpa banyak ganguan. Tunom biasanya tidak menyala seperti halnya obor yang menggunakan bahan bakar minyak, hanya menghasilkan bunga-bunga api.
Lebah yang gusar karena sarangnya digangu akan mengejar bunga-bunga api itu hingga ke bawah, bunga -bunga api terlihat indah saat jatuh di malam hari.
Madu diturunkan menggunakan sludang, wadah penampung serupa ember berbentuk segi empat yang bahannya dari kulit kayu. Pada dua sisinya, dicantoli rotan yang telah diarit, sehingga dapat berfungsi seperti tali.
Semua persiapan-persiapan itu juga dibantu beberapa kerabat. Mantra-mantra yang Ia perlukan juga sudah Ia hafalkan di luar kepala. Pohon Sialang bukan sembarang pohon, Orang Rimba percaya bahwa pohon Sialang ada penunggunya, penunggunya setan bernama Biyuto.
***
Layaknya orang yang sedang pesta, Orang Rimba berkerumun kira-kira 20 meter dari pohon Sialang, kecuali beberapa jenton (laki-laki) yang akan membantu Melabatu memanen madu. Mereka hanya di bawah, tidak ikut naik.
Lazimnya, semua orang yang ikut akan mendapat madu, botol-botol serta jeringen mereka akan terisi. Tua dan muda semua dapat. Boleh makan madu sampai kenyang di tempat, kelebihnya dibawa pulang.
Melabatu merapalkan mantra, meminta setan Biyoto untuk pindah ke pohon lain, agar Ia dapat menaiki pohon itu.
"Bismilalhirohmanirohim
Batang beruk simbo rayo
Batang api simbo makan
Bukan Biyuto punya rumpun
Biyuto bisa Biyotu bisu
Bersisak bersisik dari rambu sialang rayo ku"
Ia jeda sejenak. Lalu tomboy (pantun) pertama pun keluar. Suaranya melengking memecah keheningan malam.
"Asalamualaiikuuuuum daun jerambang
O hoo...daun jerambang bagi kelaluuu
Aku ndok lalu kebalay panjang
Balay panjang lah melupo
Lamo lupo lamo tinggalÂ
Betiang satu bekelilingggg
Ooh ..adik ..Oiii "
Ia menaiki pohon Sialang, kakinya menaiki lantak demi lantak, beberapa menit kemudian Ia mencapai dahan pertama. Setelah menghalau lebah dengan tunom, Ia menyayat sarang lebah lalu memasukkannya ke dalam sludang, beberapa laki-laki yang berada di bawah, sudah bersiap menyambut madu pertama itu.
Ia mengulur sludang bertali rotan itu secara perlahan-lahan agar tidak tumpah. Tidak ada yang tahu, kecuali Melabatu, apakah sludang itu berisi madu atau hanya sarang kosong. Maka Ia memekikan satu lagi tomboy:
"Mandi dimana idak ingin
Hati menulak lesung batu
Hati siapo idak ingin
Susu menulak dalam baju
Adikkkk  Oiii..."
Proses seperti itu akan berlangsung hingga pemanenan madu selesai. Namun ada kalanya, sarang lebah tidak lagi berisi madu. Dengan pantun berbeda, Ia memberi petunjuk:
"Mamaklah dancak, Mamaklah dancik
Pergi ke talang mengantar gulo, kami sepantun puar masak
Diketuk tupai tinggal lagi kerompongnyeÂ
Adikkk Oiii..."
Setelah madu diturunkan, setan Biyuto dikembalikan, tunailah tugas Melabatu. Di hati para tetua dan rerayo akan terpatri bahwa pemuda itu memang layak untuk dijadikan menantu. Gadis-gasis Orang Rimba suka pemuda macam itu, sebab Ia akan mampu memberi makan anak dan istrinya. Melabatu telah membuktikan dirinya.
***
Kuliner dari Larva Lebah
Selain memanfaatkan madu dan lilin, Orang Rimba juga memanfaatan larva, menjadikannya kuliner yang enak, diantaranya;
- Di Rengka, larva lebah dipotong-potong lalu dicampur dengan madu secukupnya, kemudian dikukus.
- Di Klayot, larva lebah dicampur sedikit madu menghasilkan rasa seperti susu
- Di Kluyu, larva lebah lebah diperas, airnya dimasak hingga mendidih kemudian mengumpal, biasanya dimakan tanpa menggunakan madu.
Madu, selain untuk diminum juga digunakan sebagai obat. Obat untuk bekas sengatan lebah yang membengkak. Obat untuk ibu yang baru melahirkan dengan cara dibaluri pada perutnya. Madu juga dioleskan pada bibir bayi agar cepat menyusui.
Setelah masa pesta madu, beberapa bulan kemudian akan muncul musim buah, disebut petahunon. Pada masa petahunon, ada banyak jenis buah-buahan untuk makanan Orang Rimba.
Siklus tahunan ini (nyialong dan petahunon) memberi mereka hampir setengah tahun pasokan makanan gratis dari hutan, sisanya mereka cukupi dengan membuat ladang, menanam ubi, keladi, pisang, serta tebu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H