Air Hitam, Sarolangun, Jambi, 2003
Pagi masih menggantung di pucuk para (karet), kera bergantungan dari satu dahan ke dahan yang lain mencari sinar matahari untuk menghangatkan punggungnya.
Pagi itu tidak seperti pagi sebelumnya. Seorang patih dari  sukubangsa Talang Mamak, Desa Durian Cacar,  Riau, sedang menyusuri pedalaman Bukit Duabelas bersama tujuh Talang Mamak lainya.Â
Saya dan Salam, seorang sahabat aktivis LSM di Riau--pendamping Talang Mamak, telah mempersiapkan pertemuan itu sebelumnya, agar hajat patih dan temenggung untuk bersua dapat terlaksana.
Pagi itu, Patih Cuan terlihat sangat gundah, seperti tak sabar untuk bertemu sang temenggung dari komunitas Orang Rimba. Menurut kabar yang sampai ditelinganya, Ia sangat gigih mempertahankan hutan beserta adatnya.
Layaran, juga seorang patih, turut mengiringi kerabatnya itu untuk bertemu sang temenggung. Sedikit kikuk ketika tapak-tapak kaki mereka semakin mendekati pemukiman Orang Rimba.Â
Dari kejauahan, kira-kira 300 meter, saya bersesalung (berteriak-cara yang lajim dipakai sebelum mendekati komunitas Orang Rimba).Â
"Oi..., Oi...". saya berteriak keras sebagai tanda bahwa kami telah tiba. Lalu, dari balik pohon-pohon, seorang jenton (laki-laki) Orang Rimba menyahut, "siapo...?". "Ka Halimmmm, kami a lah tibaaaa, bepak...", saya membalas.Â
Ia pun bergegas menghampiri kami. Tetapi, anak-anak kecil yang mengenakan cawat mungil, berlari mendahului barisan laki-laki yang menyertai temenggung. Bertemu mata, terlihat mereka sedikit ketakutan, lalu mengambil dua tiga langkah mundur. Mungkin karena tidak terbiasa didatangi oleh orang sebanyak itu.Â
Namun, kehadiran saya diantara rombongan itu membuyarkan ketakutan mereka. Saya memang telah hidup dengan mereka selama empat tahun. Membangun hubungan dari nol, dari mulai ditolak dan diusir hingga dirindukan, mereka sepertinya yakin bahwa orang-orang yang sedang bersama saya, adalah orang-orang baik.