Malam itu aku sempat mendengar perbincangan mereka. Di sudut kanan masjid mereka larut dalam diskusi soal negara. Mereka ada lima orang. Usai salat isya salah satu dari mereka, yang berpakaian serba putih membuka pembicaraan. Empat lainnya menanggapi yang disampaikan si baju putih dengan antusiasme yang tak terbendung.Â
Sinar benderang lampu masjid seakan turut dalam perbincangan. Satu-dua serangga yang bertamu di masjid, seolah mengerti arah pembahasan mereka. Sudah setengah jam diskusi mereka berlangsung. Mendengar semua yang mereka bicarakan, sepertinya diskusi tersebut akan berlanjut lama. Setelah menuntaskan doa, kelompok diskusi itu kuhampiri.
 Awalnya, aku hanya pendengar biasa. Aku terlanjur mendengar topik menarik yang mereka omongkan. Tentu saja, setelah meminta izin pada mereka, aku bergabung dan larut dalam obrolan kenegaraan itu. Membincangkan soal negara, membuat siapa saja mendadak jadi negarawan. Begitu juga membahas soal politik, semua orang spontan jadi politikus. Untungnya, objek malam itu adalah ibu pertiwi, bukan soal para pemilik dasi.
      "Apa kabar negara ini?" kuberanikan diri bertanya pada semua. Diskusi hening sejenak.
      "Seperti yang kau tahu, nak. Kurang baik." Sahut bapak baju putih yang ternyata memiliki nama Supeno. Sejurus ia menghela napas dalam-dalam. Dari raut wajahnya guratan kekecewaan terlihat mengitari isi kepalanya. Apa yang ia pikirkan?
      "Bukankah negara kita baik-baik saja, Pak?" kucoba meyakinkan semua yang hadir bahwa Indonesia baik-baik saja.
      "Seharusnya baik-baik saja. Tidak ada yang kurang dari negara ini. Yang jadi masalah adalah warga negara kita. Mungkin termasuk kita di sini, ikut bermasalah." Tukasnya tegas. Kali ini aku yang menghela napas dalam-dalam. Benakku bertanya-tanya; apa mungkin aku ikut bermasalah? Masalah apa? Sungguh, deretan kalimat terakhir yang terucap dari pak Supeno membuatku mengernyitkan kening berkali-kali.
      "Maaf Pak, boleh diperjelas masalah apa yang Bapak maksudkan yang ditimbulkan warga negara kita?" akhirnya aku berani juga mengungkapkan pertanyaan itu. Pak Supeno menolehkan wajah kepadaku. Matanya menatap mataku dalam-dalam. Aku jadi salah tingkah. Mungkinkah pertanyaanku menyinggung perasaannya, atau kurang sopan?
      "Hahahahaha. Kamu ini aneh anak muda. Kamu hidup di zaman kapan, nak?" tawa dan tanyanya membuatku semakin kikuk. Aku malu sekaligus merasa menyesal atas pertanyaan yang terlanjur aku lontar.
      "Zaman sekarang sih, Pak. Kenapa ya, Pak?" tanyaku meminta penjelasan.
      "Begini nak. Era internet sekarang membuat kita semakin mudah mengakses informasi dan berita." Timpal pak Fairin, lelaki berbaju cokelat di samping kanan pak Supeno. Aku masih bingung, ada hubungan apa internet dengan kesalahan warga negara Indonesia? Sepertinya memang diskusi ini harus panjang untuk mendapat informasi lengkap.