Mengawali paparan ini, sebaiknya perlu dipertanyakan dulu: “Ingatkah akan terminologi Colour Revolution atau Revolusi Warna?”. Jika masih paham, syukurlah. Tetapi jika lupa atau kurang memahami, semoga review ini bisa membangkitkan kembali. Hal ini diperlukan karena erat kaitanya dengan materi bahasan sesuai judul catatan ini. Inilah uraian secara sederhana.
Revolusi Warna
Bermula dari istilah media-media mainstream memotret gerakan massa di negara-negara pecahan Uni Sovyet, Pakta Warsawa atau Balkan dekade 2000-an dulu, sepertinya Colour Revolution memang bukan gejolak massa biasa. Ia tidak bersifat spontan, tak juga gerakan alami, namun merupakan setting politik tingkat tinggi mengatas-namakan gerakan rakyat. Entah kenapa, sebutan pada setiap gerakan selalu mengadopsi nama serta warna-warna bunga.
Tengok gerakan di negara-negara pecahan Uni Sovyet dulu. Ada Prague Spring di Czechoslovakia (1989), selanjutnya di Baltic (2000), Revolusi Mawar di Georgia (2003), di Serbia (2003), ataupun Revolusi Oranye di Ukraina (2004), kemudian Revolusi Rose di Georgia (2004), ataupun Revolusi Cedar di Lebanon (2005), di Uzbekistan muncul "Bolga" (Hammer) era 2006-an, di Belarus timbul Revolusi Denim atau Revolusi Vasilykovaya (2008), Revolusi Podsnezhnikov di Armenia (2009), di Moldova bernama Revolusi Kirpichey atau Revolusi Kafelynaya (2011-2012), Revolusi Tulip di Kyrgyzstan (2010-2011), bahkan Rusia terkena imbas gerakan bertajuk Revolusi Snezhnaya atau Myatezhom Hipsterov, kemudian Bulagria (2013) dan lain-lain.
Cina pun meski di luar jajaran Pakta Warsawa sempat terlanda revolusi "Tiananmen Square" (2001), termasuk Venezuela (2005) dan Negeri Para Mullah (Iran) melalui dua operasi yakni White Revolution (Operasi Ajax) dekade 1989 dan "Revolusi Hijau" (2009), kemudian Syria, Libya, dll. Jujur harus diakui, tatkala Revolusi Warna menjalar di luar kawasan Pakta Warsawa terbukti banyak gagal atau out of control, meski kenyataannya akhirnya kadar gerakan justru ditingkatkan menjadi perang sipil atau pemberontakan bersenjata, sebagaimana kejadian di Libya, di Syria, dan lain-lain.
Arab Spring
Sedangkan gerakan massa di Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara), khususnya kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang hingga tulisan ini terbit masih belum ada tanda-tanda reda. Ia dijuluki oleh media-media dengan istilah Arab Spring atau Musim Semi Arab, ataupun “Kebangkitan Dunia Arab”. Jadi tidak lagi disebut sebagai Revolusi Warna. Menarik memang. Betapa “ruh” dan esensi kedua gerakan massa (Revolusi Warna dan Arab Spring) ternyata tak jauh berbeda, artinya kemasannya terkesan tak serupa namun secara hakiki jelas sama. Kesamaan ada di logo berupa “Tangan Mengepal”, dan slogan gerakan serba singkat yang dimaknai “cukup”. Awal gerakan di Mesir misalnya, berslogan Kifaya artinya cukup, gejolak di Georgia disebut Kmara juga maknanya cukup, di Ukraina namanya Pora (waktunya), di Kyrgystan slogannya Kelkel (zaman baru) dan lain-lain.
Baik Revolusi Warna di jajaran Pakta Warsa, maupun Arab Spring yang menerjang kelompok negara Jalur Sutera, sejatinya serupa tetapi tak sama. Itulah pemaknaan mutlak yang harus dipahami bersama. Oleh sebab hampir semua gerakan memiliki ciri tanpa kekerasan (non-violent resistance), sangat berperannya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk di dalamnya ialah kelompok pemuda serta mahasiswa sebagai ujung tombak. Barangkali perbedaan gejolak massa hanya pada waktu, tempat dan nama gerakan saja!
Gerakan Non Kekerasan untuk Ganti Rezim
Tuntutan utama dalam revolusi non kekerasan ini ialah GANTI REZIM melalui langkah awal penyebaran isue-isue lazim seperti demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), pemimpin tirani, kemiskinan, korupsi dan lain-lain. Tujuannya guna menciptakan opini publik agar menggumpal rasa “ketidakpercayaan rakyat kepada elit dan pemimpinnya”. Inilah “master virus”-nya revolusi yang harus ditancapkan di benak segenap massa di negara-negara yang menjadi target. Tak bisa tidak.
Selanjutnya, adanya kesamaan pola-pola dalam gerakan ganti rezim ini, karena mereka berpedoman pada “buku wajib” berjudul From Dictatorship To Democracy-nya Gene Sharp, sarjana senior Albert Einstein Institute (AEI). Ya. Melawan rezim tanpa senjata ialah metode baku, bahkan menjadi kunci strategi demi keberhasilan atas model gerakan semacam ini. Sasarannya ialah memanipulasi dan mencuri simpati publik melalui media massa serta media sosial seperti facebook, blogger, twitter dan lain-lain.
Tak dapat dipungkiri memang, selain hampir semua logo, slogan, taktik bahkan strategi gerakan berbasis kurikulum pada bukunya Gene Sharp tadi, dari sisi pelatihan ternyata juga oleh lembaga yang sama yaitu Center for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS), pusat pelatihan unjuk rasa tanpa kekerasan. Menurut beberapa sumber, CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di antaranya ialah Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran dan lain-lain. Retorika menggelitik pun muncul: bagaimana khabar kaum demonstran di Indonesia, apakah kalian juga termasuk yang dilatihnya?
Pendapat Seputar Revolusi Warna
Adanya kesamaan pola antara gejolak politik di Jalur Sutra dengan pergolakan di Serbia sewaktu mengusir Slobodon Milosevic, membuat analis Webster G. Tarpley merasa curiga. Bukankah dalam politik, tidak ada peristiwa terjadi secara kebetulan? Niscaya karena sebab akibat ataupun proses sebelumnya, bahkan kemungkinan merupakan by design secara konseptual. Maka pagelaran politik di Serbia, bukanlah murni hajatan rakyat tetapi karena didukung oleh Amerika Serikat (AS) via Central Intellegent Agency (CIA). Tak boleh dilupakan dalam konteks ini ialah peran National Endowment for Democracy (NED), LSM “seribu proyek”-nya Pentagon yang dibiayai jutaan dolar per tahun oleh Kongres AS. Sementara CANVAS itu sendiri, sesungguhnya mata rantai atau “anak organisasi” dari NED.
Masih ingat statement Alan Weinstein? Ya. Salah satu pendiri NED itu pernah menyatakan: “Banyak dari apa yang kita (NED) kerjakan, secara diam-diam dilakukan 25 tahun lalu oleh CIA” (1991). Dan agaknya, pernyataan Weinstein dapat dijadikan asumsi pembuka guna melanjutkan catatan ini. Pertanyaannya ialah: adakah manuver NED identik dengan “silent operation”-nyaCIA?
Pendapat Prof Michel Chossudovsky, pendiri Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, semakin menebalkan pernyataan Weinstein. Ia mengatakan, bahwa Revolusi Warna adalah operasi CIA mendukung gerakan-gerakan protes dalam rangka memicu perubahan rezim di bawah gerakan pro-demokrasi. Tujuan utamanya menggulingkan pemerintahan syah melalui protes dan kerusuhan sosial.
Selanjutnya pendapat wartawan politik Ian Traymor, Frederick William Engdahl dan Ulfkotte Udo, bahwa semua pergerakan terkait Revolusi Warna ini dibiayai AS baik secara langsung ataupun melalui LSM seperti NED, Freedom House, Open Society Institute-nya George Soros dan lain-lain.
Sedang pernyataan Andrew Gavin Marshall lain lagi. Peneliti dari CRG, Kanada, pimpinan Chossudovsky menyatakan, bahwa Colour Revolution diduga sebagai awal Perang Dunia III. Menurut Marshall, ini merupakan taktik politik rahasia memperluas pengaruh Paman Sam dan Nort Atlantic Treaty Organization (NATO) menyeberang ke perbatasan Rusia dan Cina sesuai strategi dan tujuan membentuk New World Order (Tatanan Dunia Baru). Salah satu caranya dengan membatasi gerak laju Cina dan Rusia, serta mencegah munculnya tantangan apapun bagi kekuasaan AS di kawasan tersebut.
Asymmetric Warfare
Apapun motivasi Barat sesuai pendapat serta pernyataan di muka tadi, entah dalam rangka membentuk Tatanan Dunia Baru, atau berintikan redesign of power (tata ulang kekuasaan) di negara target dll, maka menelaah manuver Barat melalui aksi-aksi massa baik (Arab Spring) di Jalur Sutera maupun (Colour Revolution) di jajaran negara bekas Uni Sovyet, memang lazim disebut asymmetric warfare atau peperangan non konvesional. Tak boleh tidak.
Isyarat Wakil Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Samsoedin, (14/3), perihal model perang semacam ini layak disimak: ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara”.
Jika mem-breakdown isyarat Sjafrie Samsoedin tadi, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang mutlak dicermati terkait peperangan asimetris: (1) “terjadi tanpa disadari”; (2) “media mengumbar sensasi”; dan (3) “bukan menghadapkan senjata dengan senjata”. Inilah yang sering terjadi di depan mata, namun dianggap wajar-wajar saja.
Flu burung misalnya, dalam perang asimetris itu hanya “isue” belaka. Sekedar permulaan. Oleh karena “tema” (agenda) yang akan diangkat setelah isue ditebar ialah daging menjadi langka, atau daging mahal; sementara “skema” kolonial yang hendak ditancapkan oleh asing di republik ini adalah jerat impor. Entah membuka kran baru, penambahan kuota, dan lain-lainnya. Silahkan analogikan pada sektor-sektor lain. Pola inilah yang acapkali berulang dan berulang. Pertanyaannya: bukankah kronologis muncul flu burung hingga ke jerat impor berjalan serta berlangsung tanpa kita sadari akibat sensasi media serta tanpa melibatkan tentara dan senjata? (Lebih lengkap lagi, silahkan baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung di www.theglobal-review.com).
Sungguh ironis! Negeri dua musim kok impor daging dari negeri yang nyata-nyata empat musim (Aussie); republik yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, kok justru impor garam, ikan; mengapa negeri agraris dengan curah hujan tinggi justru impor kedelai, jagung, beras, dll? Betapa canggihnya permainan kemasan isue, tema dan skema yang dijalankan dalam perang asimetris oleh asing, sehingga banyak elemen bangsa ini melihat dan merasakan peristiwa tersebut dianggapnya hal yang wajar. Mau sampai kapan?
“Ideologi Impor” dan Paradoxial
Mudahnya asing menancapkan skema kolonialisme melalui peperangan asimetris di Tanah Air, sesungguhnya tak lepas dari “ideologi impor” yang dianut beberapa elit politik dan pejabat terkait. Inilah aspek internal yang justru melancarkan praktek penjajahan gaya baru. Namun sebelum melangkah jauh ---mungkin sekedar review--- perlu dijelaskan sekilas, bahwa skema kolonialisme ialah penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negara koloni. Itulah skema permanen apapun penjajahan di muka bumi.
Kembali ke ideologi impor, penulis mengambil hal-hal yang dicontohkan oleh Dina Y. Sulaeman, peneliti dari Global Future Institute (GFI), Jakarta. Dina menyatakan, (dalam kacamata Gita Wirjawan, Menperindag RI) pasar bebas adalah jalan mencapai kemajuan ekonomi. Pasar bebas memang memberi kesempatan kepada kita untuk mengekspor produk ke luar negeri, maupun berinvestasi dimanapun. Namun sebaliknya, juga memaksa kita untuk membuka pintu rumah lebar-lebar, mengizinkan arus modal, barang dan jasa masuk. Dalam perspektif pasar bebas, yang penting roda perekonomian berputar, tak penting siapa yang menguasai modalnya. Karena itu, dalam pandangan mereka, tak penting petani Indonesia tak berproduksi, yang penting adalah kebutuhan pangan tercukupi (meski dengan cara impor).
Gita dan para pejabat pendukung ekonomi pasar bebas lainnya, lanjut Dina, pura-pura tidak tahu bahwa pasar bebas belum pernah berhasil memajukan perekonomian negara-negara berkembang dan miskin. Indonesia misalnya, sebelum berlakunya Agreement of Agriculture –WTO, pada 1994 mengimpor beras hanya dalam angka ribuan ton. Pada 1995, impor beras melonjak menjadi 3 juta ton. Kini, 18 tahun kemudian, nilai impor pangan kita Rp 138 triliun dan ironisnya, bahan pangan yang kita impor itu adalah bahan pangan yang sebenarnya bisa tumbuh subur di tanah air, seperti beras, ubi kayu, cabe merah, atau bawang putih.
Ketika merujuk pakem nusantara, Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI hampir dalam setiap diskusi terbatas di GFI mengatakan, bahwa adanya pagelaran berarti terdapat kehendak untuk mewujudkan hajatan masyarakat, yang semestinya dihadirkan lakon/tema dan dalang guna meng-ORKESTRASI pagelaran tersebut. Hendrajit mengingatkan, apabila tidak ingin mengundang bencana/bala, maka lakon yang dipilih seyogyianya senafas dan selaras dengan hajatan itu sendiri. Itulah garis pakem nusantara.
Antara “Bala” dan Pakem Nusantara
Kenyataan pada implementasi ideologi impor, pakem (nusantara) tersebut seperti diabaikan bahkan cenderung dinihilkan. Pada gilirannya, ia mengendala serta menimbulkan kerancuan dalam proses pagelarannya. Hajatan siapa, lakonnya bagaimana, temanya entah kemana. Tak jelas. Akhirnya isue atau hajatan bangsa untuk mewujudkan kedaulatan pangan (food security) tidak bisa dijembatani oleh tema serta dalang yang selaras dengan hajatan itu sendiri. Isue bangsa dalam rangka menuju food security tak bisa ditindak-lanjuti dengan upaya riil dan nyata di berbagai program guna mencapai swasembaga pangan. Secara riil, kebutuhan pangan memang tercukupi tetapi melalui cara (instan) impor.
Sewaktu datang bencana sesuai isyarat Hendrajit, adalah keniscayaan ketika bala dimaksud ialah “keadaan paradoxial”. Maksud paradoxial disini adalah kondisi berlawanan, atau semacam situasi pertentangan, atau keadaan yang bertolak-belakang dll. Betapa negeri khatulistiwa dengan dua musim, kenapa mengimpor daging dari negara empat musim; atau negara agraris dengan curah hujan tinggi tetapi kok impor kedelai, jagung, gula, dst yang di negeri sendiri bisa tumbuh subur. Atau lebih extreem barangkali, betapa bangsa beradab yang dulu terkenal ramah, mengapa tiba-tiba saling berbunuhan hanya karena berbeda budaya dalam agama; apakah ini juga termasuk “bala nusantara”? Untuk bala terakhir mungkin perlu pendalaman lanjut. Abaikan dulu.
Sebagai catatan tambahan, selain kondisi bertolak-belakang, bala dimaksud juga dapat dimaknai semakin menguatnya“master virus” sebuah revolusi, gerakan, atau gejolak politik dimanapun. Dan virus utama itu bertajuk: “ketidakpercayaan rakyat terhadap elit dan pimpinannya”. Inilah yang kini kuat tertancap. Lalu, kapankah keadaan ini berlalu?
Sinergi Peperangan
Dua Journal terakhir terbitan GFI sesuai referensi artikel ini)* meniscayakan ‘perubahan sentral geopolitik’ atau geopolitical shift dari Jalur Sutera menuju Asia Pasifik dengan alasan dan beberapa penyebab. Sedang prakiraan lokasi, tepatnya mungkin di Perairan Cina dan sekitar. Artinya entah kelak diletuskan pada Laut Cina Selatan atau meledak di Laut Cina Timur, telah dibahas pada tulisan terdahulu (Baca: Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur? Di www.theglobal-review.com). Barangkali hanya soal pemicu atau momentum, kapan ia dihamparkan oleh sang waktu.
Yang ingin penulis bahas pada sub bab ini ini ialah sinergi peperangan. Dalam kenyataan empiris, antara perang militer (hard power atau symmetric warfare) dan peperangan non militer (smart power atau asymmetric warfare) berpola menurut karakter masing-masing (silahkan dibaca: Apa dan Bagaimana Symmetric Warfare Berlangsung, di www.theglobal-review.com). Namun sering pula keduanya bersinergi secara simultan dengan intensitas berbeda. Gejolak politik (Arab Spring) di Jalur Sutera dan “gerakan reformasi” di Jakarta era 1998-an jelas merupakan penggelaran smart power oleh Barat, karena jatuhnya Ben Ali di Tunisia, atau Abdullah Saleh di Yemen, lengsernya Pak Harto, tergusurnya Mobarak di Mesir, dll hampir-hampir tiada letusan peluru, tanpa asap mesiu dari pihak si penggusur. Polanya memang tak jauh beda. Statement Karen Brooks semakin menegaskan. Ia menyebut, bahwa gerakan dalam menjatuhkan Mobarak di Mesir sebenarnya meniru dan belajar dari pola-pola kaum reformis ketika melengserkan Pak Harto dulu. Harus diakui memang, mereka terjungkal dari tampuk kekuasaan cukup melalui gerakan massa tanpa ada manuver militer. Artinya, jika merujuk isyarat Brooks, apakah gerakan reformasi 1998 dulu boleh disebut Indonesia Spring, bukankah secara kronologis ia mendahului Arab Spring? Tolong simpan dahulu jawabannya, kita lanjutkan tulisan ini.
Lain lagi cerita symmetric warfare. Keroyokan militer model koalisi AS di Afghanistan (2001) dan Irak (2003), mutlak adalah kerja hard power-nya Barat, kendati langkah awal peperangan di kedua negara —langkah awalnya saja— mengikuti pola-pola smart power. Misalnya, isue di Afghanistan soal teroris, stigma di Irak perihal senjata pemusnah massal, sementara tebaran isue dan stigma di Jalur Sutera tentang pemimpin tirani, demokrasi, korupsi dan lainnya.
Tampaknya penerapan hard power di kedua negara (Irak dan Afghanistan), sedikit berbeda taktis sewaktu Barat membombardir Libya (2011). Tumbangnya Gaddafi dari tampuk kekuasaan jelas karena olah sinergi antara hard power dan smart power. Artinya tatkalasmart power dinilai gagal, metode gerakan massa melalui isue demokrasi dan pemimpin tirani pun seketika diubah, lalu ditingkatkan kadarnya menjadi perang sipil. Inilah hard power dalam skala terbatas, dimana para pemberontak justru dilatih, didukung dan dibiayai oleh Barat dan inner circle-nya (Baca: Memahami Sinergi antara Hard dan Smart Power di Libya, di www.theglobal-review.com dan beberapa analisis lainnya di web GFI).
Secara kasuistis, pola kolonialisme di Libya tak jauh beda dengan model penjajahan di Syria yang hingga tulisan ini terbit, masih berlangsung meski skalanya sudah mengecil atau sporadis. Ada kemiripan urut-urutan eksekusi serta tahapan di kedua negara, terutama tatkala Barat gagal menggusur Presiden Bahsar al Assad via gerakan massa (smart power),mereka pun menaikkan kualitas “tema” (agenda) menjadi perang sipil. Maka inilah contoh aktual daripada sinergi peperangan antara smart power dan hard power, atau antaraasymmetric warfare dengan symmetric warfare.
“Master Virus” Asia Spring
Betapa geopolitical shift dari Jalur Sutera ke Asia Pasifk yang titik sentralnya diprakirakan menyalak di Perairan Cina, bukanlah cuma aplikasi hard power semata, namun menyertakan pula suprastruktur lain. Terkait sinergi di atas, suprastruktur dimaksud ialahsmart power itu sendiri. Tak boleh disangkal. Bila gejolak massa di Jalur Sutera dinamaiArab Spring, besar kemungkinan asymmetric warfare yang digelar oleh AS dan sekutu di Asia Pasifik berlabel Asia Spring. Inilah yang kini berproses, hanya para awak mediamainstream sepertinya masih malu-malu menggebyarkan. Entah kenapa. Dan “ketidakpercayaan rakyat terhadap elit dan pimpinannya” adalah virus utama gejolak massa atas kedua manuver politik (Barat) di kawasan yang menjadi targetnya.
Gejolak di Thailand misalnya, ternyata master virus yang diusung pimpinan oposisi Suthep Thaugsuban ialah “ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah syah”. Kendati pemicunya seolah-olah karena kebijakan Perdana Menteri (PM) Yinluck Shinawatra yang menerbitkan Undang-Undang (UU) Amnesti. UU tersebut memang diduga sebagai siasat Yinluck dalam rangka mengembalikan kakaknya, Thaksin Shinawatra, PM 2001-2006 yang terjungkal oleh kudeta militer dan sekarang hidup dalam pengasingan.
Kembali pada asymmetric warfare yang disertakan dalam pergeseran (symmetric warfare)geopolitik global, agaknya sekarang tengah bergerak ke Kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Selain Thailand yang hampir mencapai titik klimaks, Malaysia pun menyusul. Betapa gejolak rakyat berkaos hitam dengan topeng Guy Fawkes (simbol pemberontakan terhadap pemerintah di seluruh dunia) membawa poster-poster bertuliskan “turunkan harga-harga”, “membela hak-hak kita”, “hidup rakyat”, dll. Apa boleh buat. Gejolak politik di Negeri Jiran ternyata dipicu kenaikan harga minyak 10,5% dan tarif listrik 15%. Di Kamboja tak mau ketinggalan. Agaknya bibit-bibit “musim semi” telah disebar menuntut Hun Sen, PM Kamboja, agar mundur dari kursi kekuasaan dipicu oleh tuntutan atas peningkatan kesejahteraan buruh.
Dalam kajian asimetris, apa yang terjadi di Malaysia dan Kambajo baru sebatas (isue) permulaan. Jab-jab ringan. Adapun tema atau agenda selaku kelanjutan penebaran “isue”, lazimnya berupa gelombang massa besar-besaran guna “menekan” elit atau pemerintah syah. Ya, meskipun agenda tersebut tengah berproses, namun tampaknya belum dijalankan secara optimal oleh oposisi di kedua negara (Malaysia dan Kamboja) sebagaimana upaya-upaya Suthep menekan Yinkluck di Thailand. Pertanyaan menarik: Negara mana giliran berikutnya?
Silahkan saudara-saudara mencermati!
Bacaan, Link dan Pointers Diskusi GFI:
)* The Global Review, Merobek Jalur Sutera Menerkam Asia Tenggara, Januari 2013
)* Rusia, Indonesia dan G-20, The Journal of International Studies, Mei 2013 –
- Thailand Protest Movement Plans to “Shut Down Bangkok”,http://www.globalresearch.ca/thailand-protest-movement-plans-to-shut-down-bangkok/5363297
- Webster Tarpley, http://en.wikipedia.org/wiki/Webster_Tarpley
- Karen Brooks, Indonesia's Lessons for Egypt, 17 Februsari 2011,http://www.cfr.org/indonesia/indonesias-lessons-egypt/p24156
- Memahami Ulah VOC dan PRT di Jalur Sutra (Bagian 3 - Habis), http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=4422&type=4#.UsZZI_t4yjl
- National Endowment for Democracy,http://en.wikipedia.org/wiki/National_Endowment_for_Democracy
- National Endowment for Democracy, http://www.ned.org/
- Centre for Applied Non-Violent Action and Strategies, http://www.iop.harvard.edu/centre-applied-non-violent-action-and-strategies-canvas
- Ribuan Warga Protes Kenaikan Harga di Malaysia,http://www.voaindonesia.com/content/ribuan-warga-protes-kenaikan-harga-di-malaysia/1821241.html
- PM Kamboja Hun Sen Dituntut Mundur, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14311&type=105#.UsQPBvt4yjl
- Oposisi Thailand Kembali Demonstrasi,http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/12/131222_thailand.shtml
- Kebangkitan Dunia Arab, http://id.wikipedia.org/wiki/Kebangkitan_dunia_Arab
- Arab Spring, http://en.wikipedia.org/wiki/Arab_Spring
- Laki-laki Bersenjata Tembaki Demonstran Thailand,http://www.nefosnews.com/post/internasional/laki-laki-bersenjata-tembaki-demonstran-thailand
- Revolusi Warna bakal Meruntuhkan Malaysia,http://sanggahtokjanggut.blogspot.com/2013/01/revolusi-warna-bakal-meruntuhkan.html
- Revolusi Warna, http://www.aliceswonderland.eu/Alice-colour_revolution-id.html
- Melacak Revolusi Warna, Virus Ganti Rezim di Berbagai Negara, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6300&type=4#.UsStUPt4yjk
- Geopolitics, http://en.wikipedia.org/wiki/Geopolitics
- Gita dan Jempol Kaki Soekarno http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14294&type=4#.UsfUBPt4yjk
- http://kluget.com/ekonomi/petani-tebu-mendadak-bangkrut.html
- Putin Perintahkan Penghancuran Saudi? http://cahyono-adi.blogspot.com/2014/01/putin-perintahkan-penghancuran-saudi.html#.Usj_5Pt4yjl
- Ibu Kota Thailand Kembali Diwarnai Unjuk Rasa,http://wartaharian.net/co/component/k2/item/253-ibu-kota-thailand-kembali-di-warnai-unjuk-rasa.html
- Kekerasan Warnai Pemilu Bangladesh, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14361&type=105#.Uso6b_t4yjk
- Aksi Unjuk Rasa Kembali Marak di Ukraina, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14362&type=103#.UspBBPt4yjk
- Militer Thailand membantah ingin melakukan kudeta, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14386&type=105#.Us3se_t4yjk
- China-Korut Dianggap sebagai Ancaman Besar di Asia, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14385&type=8#.Us3sfvt4yjk
- Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia dari Perspektif Geopolitik,http://politik.kompasiana.com/2013/12/18/mengkaji-ketegangan-indonesia-australia-dari-perspektif-geopolitik--620553.html
- Anwar Ibrahim: Gerakan Bersih di Malaysia akan Berlanjut,http://news.detik.com/read/2011/07/30/151032/1692908/10/anwar-ibrahim-gerakan-bersih-di-malaysia-akan-berlanjut?n991102605
- Pointers Diskusi Terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit
Catatan: artikel ini juga dimuat di www.global-review.com pada tanggal 2 Januari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H