Mohon tunggu...
M Arief Pranoto
M Arief Pranoto Mohon Tunggu... lainnya -

nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, digdaya tanpa aji

Selanjutnya

Tutup

Politik

Welcome to Asia Spring!

20 Januari 2014   17:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Flu burung misalnya, dalam perang asimetris itu hanya “isue” belaka. Sekedar permulaan. Oleh karena “tema” (agenda) yang akan diangkat setelah isue ditebar ialah daging menjadi langka, atau daging mahal; sementara “skema” kolonial yang hendak ditancapkan oleh asing di republik ini adalah jerat impor. Entah membuka kran baru, penambahan kuota, dan lain-lainnya. Silahkan analogikan pada sektor-sektor lain. Pola inilah yang acapkali berulang dan berulang. Pertanyaannya: bukankah kronologis muncul flu burung hingga ke jerat impor berjalan serta berlangsung tanpa kita sadari akibat sensasi media serta tanpa melibatkan tentara dan senjata? (Lebih lengkap lagi, silahkan baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung di www.theglobal-review.com).

Sungguh ironis! Negeri dua musim kok impor daging dari negeri yang nyata-nyata empat musim (Aussie); republik yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, kok justru impor garam, ikan; mengapa negeri agraris dengan curah hujan tinggi justru impor kedelai, jagung, beras, dll? Betapa canggihnya permainan kemasan isue, tema dan skema yang dijalankan dalam perang asimetris oleh asing, sehingga banyak elemen bangsa ini melihat dan merasakan peristiwa tersebut dianggapnya hal yang wajar. Mau sampai kapan?

“Ideologi Impor” dan Paradoxial

Mudahnya asing menancapkan skema kolonialisme melalui peperangan asimetris di Tanah Air, sesungguhnya tak lepas dari “ideologi impor” yang dianut beberapa elit politik dan pejabat terkait. Inilah aspek internal yang justru melancarkan praktek penjajahan gaya baru. Namun sebelum melangkah jauh ---mungkin sekedar review--- perlu dijelaskan sekilas, bahwa skema kolonialisme ialah penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negara koloni. Itulah skema permanen apapun penjajahan di muka bumi.

Kembali ke ideologi impor, penulis mengambil hal-hal yang dicontohkan oleh Dina Y. Sulaeman, peneliti dari Global Future Institute (GFI), Jakarta. Dina menyatakan, (dalam kacamata Gita Wirjawan, Menperindag RI) pasar bebas adalah jalan mencapai kemajuan ekonomi. Pasar bebas memang memberi kesempatan kepada kita untuk mengekspor produk ke luar negeri, maupun berinvestasi dimanapun. Namun sebaliknya, juga memaksa kita untuk membuka pintu rumah lebar-lebar, mengizinkan arus modal, barang dan jasa masuk. Dalam perspektif pasar bebas, yang penting roda perekonomian berputar, tak penting siapa yang menguasai modalnya. Karena itu, dalam pandangan mereka, tak penting petani Indonesia tak berproduksi, yang penting adalah kebutuhan pangan tercukupi (meski dengan cara impor).

Gita dan para pejabat pendukung ekonomi pasar bebas lainnya, lanjut Dina, pura-pura tidak tahu bahwa pasar bebas belum pernah berhasil memajukan perekonomian negara-negara berkembang dan miskin. Indonesia misalnya, sebelum berlakunya Agreement of Agriculture –WTO, pada 1994 mengimpor beras hanya dalam angka ribuan ton. Pada 1995, impor beras melonjak menjadi 3 juta ton. Kini, 18 tahun kemudian, nilai impor pangan kita Rp 138 triliun dan ironisnya, bahan pangan yang kita impor itu adalah bahan pangan yang sebenarnya bisa tumbuh subur di tanah air, seperti beras, ubi kayu, cabe merah, atau bawang putih.

Ketika merujuk pakem nusantara, Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI hampir dalam setiap diskusi terbatas di GFI mengatakan, bahwa adanya pagelaran berarti terdapat kehendak untuk mewujudkan hajatan masyarakat, yang semestinya dihadirkan lakon/tema dan dalang guna meng-ORKESTRASI pagelaran tersebut. Hendrajit mengingatkan, apabila tidak ingin mengundang bencana/bala, maka lakon yang dipilih seyogyianya senafas dan selaras dengan hajatan itu sendiri. Itulah garis pakem nusantara.

Antara “Bala” dan Pakem Nusantara

Kenyataan pada implementasi ideologi impor, pakem (nusantara) tersebut seperti diabaikan bahkan cenderung dinihilkan. Pada gilirannya, ia mengendala serta menimbulkan kerancuan dalam proses pagelarannya. Hajatan siapa, lakonnya bagaimana, temanya entah kemana. Tak jelas. Akhirnya isue atau hajatan bangsa untuk mewujudkan kedaulatan pangan (food security) tidak bisa dijembatani oleh tema serta dalang yang selaras dengan hajatan itu sendiri. Isue bangsa dalam rangka menuju food security tak bisa ditindak-lanjuti dengan upaya riil dan nyata di berbagai program guna mencapai swasembaga pangan. Secara riil, kebutuhan pangan memang tercukupi tetapi melalui cara (instan) impor.

Sewaktu datang bencana sesuai isyarat Hendrajit, adalah keniscayaan ketika bala dimaksud ialah “keadaan paradoxial”. Maksud paradoxial disini adalah kondisi berlawanan, atau semacam situasi pertentangan, atau keadaan yang bertolak-belakang dll. Betapa negeri khatulistiwa dengan dua musim, kenapa mengimpor daging dari negara empat musim; atau negara agraris dengan curah hujan tinggi tetapi kok impor kedelai, jagung, gula, dst yang di negeri sendiri bisa tumbuh subur. Atau lebih extreem barangkali, betapa bangsa beradab yang dulu terkenal ramah, mengapa tiba-tiba saling berbunuhan hanya karena berbeda budaya dalam agama; apakah ini juga termasuk “bala nusantara”? Untuk bala terakhir mungkin perlu pendalaman lanjut. Abaikan dulu.

Sebagai catatan tambahan, selain kondisi bertolak-belakang, bala dimaksud juga dapat dimaknai semakin menguatnya“master virus” sebuah revolusi, gerakan, atau gejolak politik dimanapun. Dan virus utama itu bertajuk: “ketidakpercayaan rakyat terhadap elit dan pimpinannya”. Inilah yang kini kuat tertancap. Lalu, kapankah keadaan ini berlalu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun