Mohon tunggu...
Mappa Sikra
Mappa Sikra Mohon Tunggu... Jurnalis - One Life, live it

pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ada 'Coco de Mer' di Museum Batiwakkal, Berau

13 Maret 2020   00:07 Diperbarui: 13 Maret 2020   00:12 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bokong yang indah atau nama botaninya Lodoicea calliyge atau Coco de mer. Memang mirip bokong perempuan. Inilah salah satu yang menjadi kebanggaan Seychelles,  negeri yang mengandalkan penghasilannya dari pariwisata.

Beberapa bulan lalu, Wabup Berau Agus Tantomo, mendapat undangan berkunjung ke Republik Seychelles. Melihat bagaimana pengelolaan negara yang punya 115 pulau kecil, berhasil dalam pengelolaan wisata.

Banyak tempat yang dikunjungi. Salah satunya, berkunjung ke kawasan tumbuhnya kelapa 'Coco de mer' itu. Karena unik, Pak Agus mengirimkan beberapa foto. Salah satu foto yang dikirim, tempurung 'Coco de mar' berada di pundak kirinya. Memang betul mirip bokong wanita.

Ceritera yang dikumpulkan Pak Agus,  selama berada di Seychelles, buah kelapa itu banyak yang jatuh ke laut. Dan, tenggelam.  Setelah pembusukan, kemudian buah muncul kepermukaan laut. Pelaut, mengira ada tumbuhan di dasar laut Samudera Hindia. Karena proses itulah, sehingga kelapa ini dinamai Coco de mer, dari bahasa Prancis 'Kelapa Laut'.

Pada masa itu, buah atau biji coco de mer bernilai besar dan semua yang ditemukan di laut atau di pantai langsung menjadi milik raja, yang menjualnya dengan harga sangat tinggi. Buah ini bahkan bisa menjadi hadiah agung yang sangat berharga. Para Pangeran Timur Tengah bahkan Kaisar Romawi Suci, Rudolf II menawarkan banyak uang untuk harta langka ini.

Sumber coco de mer akhirnya ditelusuri kembali ke Seychelles, sekitar pertengahan abad ke-18, dimana para penjelajah menemukan kejutan lain. Berbeda dengan kelapa sawit yang memiliki bunga jantan dan betina terpisah, proses penyerbukan coco de mer sulit dipahami. Namun inilah yang juga menambah daya pikatnya.

Coco de mer yang menakjubkan ini memiliki beberapa keunggulan antara lain, menghasilkan buah liar terbesar dengan berat sampai 42 kg; bijinya berbobor hingga 17,6 kg, yang paling berat di dunia; menghasilkan kotiledon terpanjang, sampai 4 meter; bunga betinanya adalah yang terbesar, lebih besar dari telapak tangan.

Inilah salah satu yang unik, yang dimiliki Seychelles. Keunikan yang mampu menyedot datangnya wisatawan. Dan, banyak lagi keunikan lainnya.

Saya pernah berbincang dengan Pak Nico Barito, Dubes Seychelles untuk Indonesia, katanya banyak yang berusaha membawa buah 'Coco de mer' keluar Seychelles. Tapi ada larang keras.  Kalau juga ada yang berhasil, tidak akan bisa ditumbuh di luar tanah Seychelles.

Ketika Pak Agus memperlihatkan foto 'Coco de mer' dipundaknya, tiba-tiba ingatan saya ke Museum Batiwakkal, di Gunung Tabur, Berau, Kalimantan Timur. Rasanya saya pernah melihat bentuk seperti itu, di salah satu ruangan yang ada di museum.

Saya penasaran. Saya mengunjungi Museum Batiwakkal. Kebetulan sepi pengunjung.  Saya sedikit leluasa, untuk masuk ke semua ruangan.

Akhirnya terjawab juga penasaran saya. Warnanya gelap.  Sama dengan warna yang dipegang Pak Wabup. Bentuk 'bokong' juga sama yang dipegang Pak Wabup. Tak semontok yang ditangan Pak wabup.

Kalau di Seychelles, namanya 'Coco de mar' alias Kelapa Laut. Keterangan yang ada di museum Gunung Tabur namanya buah 'Paung Janggi'.

Diletakkan disebelah kanan 'Sulimbar'. 'Paung Janggi' sebetulnya dalam kondisi utuh. Hanya, dibelah dua, dan belahan itu berfungsi sebagai penutup. "Sudah lama berada di museum dan ditempatkan dekat 'Sulimbar itu. Soal manfaatnya, ada penjelasan tertulis disekitar 'sulimbar',"kata petugas museum.

'Paung Janggi' ini, bagian dari properti saat wanita akan melahirkan.  Makanya 'Coco de mar' atau 'Paung Janggi' berada tak jauh dari 'Sulimbar', ranjang yang digunakan selama proses melahirkan.  Ada juga tembikar dari kuningan, untuk menempatkan Tembuni (Ari-ari).

Yang menarik, dalam keterangan itu disebutkan bahwa buah 'Paung Janggi' pernah tumbuh di sekitar Sungai Birang, kecamatan Gunung Tabur. Namun sudah punah.

Saya beberapa kali melewati Sungai Birang, anak sungai Segah. Banyak buayanya.  Sungai yang sering membuat pekerja sarang Walet, terserang sakit Malaria. Kira-kira disebelah mana pohon 'Paung Janggi' pernah tumbuh dan sekarang sudah punah.

Kalaulah, 'Coco de mar' juga adalah 'Paung Janggi', sama dengan yang ada di Seychelles, yang di pundak Pak Agus Tantomo, kira-kira bagaimana ceriteranya hingga bisa berada di kerabat keraton Sultan Gunung Tabur.

Apakah juga, menjadi salah satu cinderamata yang diberikan kepada Sultan waktu itu, karena buah ini memang dianggap buah langka dan memiliki nilai yang tinggi. Sebagai bagian dari diplomasi antar kesultanan.

Rasa penasaran saya belum terjawab seluruhnya.  Saya masih harus mencari tokoh masyarakat ataupun kerabat kesultanan Gunung Tabur, yang tahu ceritera hadirnya buah 'Paung Janggi' di museum Batiwakkal. Buah yang di Seychelles, namanya 'Coco de mer'.

 Keterangan foto: Kolase Foto Pak Agus Tantomo memegang tempurung  kelapa 'Coco de mer' saat berkunjung ke Republik Seychelles. Ditangan penulis (kiri), dengan bentuk tempurung yang mirip, menemukan saat berkunjung ke Museum Batiwakkal, Gunung Tabur, Berau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun