Dengan menerima, menghargai dan belajar dari berbagai hal yang kurang ideal itu, maka aspek feminin atau inner character kita justru memperoleh kesempatan emas untuk mencapai pertumbuhan puncaknya.
Jelaslah kiranya, bahwa penerimaan adalah kekuatan, dan kerinduan-akan-kesempurnaan itu adalah sebuah kelemahan yang berpotensi mendatangkan lebih banyak kegelapan.
.
Bahkan Matahari, sang raja di tata-surya kita itupun bukanlah sosok yang sempurna. Ia hanya berkuasa atas segala hal yang terjangkau pancaran cahayanya. Begitu pula Samson, lelaki Matahari yang hanya menguasai dunia sebatas yang terlihat oleh matanya, namun tidak mengenali lorong-lorong batinnya yang gelap dan berliku.
Lihatlah, betapa besar bahaya tidak kenal diri ini !
Ia tidak tahu ada gejolak kerinduan-akan-kesempurnaan di dalam lorong batinnya.
Ia tidak tahu bahwa gemuruh perasaan ini mematikan potensi menerima, satu-satunya cara untuk mengurangi kegelapan dan menerangi lorong-lorong itu.
Sebagai gantinya, muncul sebuah hasrat pemenuhan. Hanya saja hasrat pemenuhan yang tak dikenali ini menyesatkan, karena diiringi gejolak tak terpuaskan. Paduan antara hasrat pemenuhan dan gemuruh inilah yang diam-diam ‘mengundang’ ... seorang Delilah dalam hidupnya ! .
Kisah senada juga terjadi pada Sangkuriang, Malin Kundang, bahkan berulang pada ... kita !
Kita beramai-ramai menjadi manusia Matahari, yang lebih mengutamakan kompetisi dan pertumbuhan menjulang, demi menuju apa yang kita kira sebagai hari depan. Kita mendewa-dewakan orientasi maskulin yang hingar-bingar, dan menampik ‘bahasa ibu’ untuk mendengar hal-hal yang tak terucap, serta berkata-kata dalam diam. Padahal apalah artinya menjulang tinggi, jika tidak diimbangi dengan pemurnian ke dalam dan kembali ke akar ?