Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Highlanders yang Ini Tak Mungkin Saling Membunuh!

7 Agustus 2011   04:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:01 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_127448" align="aligncenter" width="640" caption="Mardiah : Foto ke 2 ki-ka, deret ke 3."][/caption] JAKARTA.

Mardiah mengerang-ngerang, tubuhnya nyaris telanjang. Aku hanya bisa mengusap wajahnya yang pucat, sambil mengalirkan doa lewat helai-helai rambutnya yang coklat.

"Allaahu Akbar ... Allaahu Akbar ...", rintihnya.

Para perawat bertindak sekuat tenaga, tapi sakit itu terlalu hebat untuknya.

Aku pejamkan mataku. Aku genggam tangannya, sambil nekad mencoba menghadirkan ... Tuhan.  Habis siapa lagi ? Koneksi itu akan berhasil atau tidak, urusan belakangan. Yang penting nekad, itu yang kudengar dari para bijak ;-).

Sesudah atmosfer yang khas itu kurasakan, aku 'sapa' tubuhnya dengan bahasa batin. Lalu aku 'bujuk' seluruh sel yang sedang kocar-kacir itu untuk fokus pada satu hal, yaitu penyembuhan. Tentu saja 'sapa' dan 'bujuk' ini lebih terasa sebagai adegan yang berada di luar kendaliku. Sebab entah bagaimana, aku merasa diriku sedang menjadi 'bukan milikku'.

Seberkas cahaya lalu 'terlihat' mengaliri semacam pipa di bagian tengah tubuh Mardiah.

Dan .....ajaib, setiap kali gumpalan cahaya itu terhisap oleh jantungnya, mulut Mardiah menggumamkan suara 'aaaaah' yang penuh nikmat. Tahu-tahu nafasnya yang tersengal-sengal itu melambat mengikuti lambatnya nafasku. Tahu-tahu seruan Allahu Akbarnya itu berubah menjadi "Allah ... Allah", dengan irama yang senada dengan zikirku pula.

Tak ada lagi rintihan menyayat.

Hanya ada senyum Mardiah, bisikan 'Allah', dan sekali-sekali ... 'aaaah'.

...............................................

Setelah 'badai' di klinik itu mereda, Mardiah memandangiku dengan tatapan yang mengandung pesan : "Thank you. I knew what you did."

Akupun membalas tatapannya, juga dengan sebuah pesan tersembunyi : "You are welcome. But I really don't know what was happening. The mantra took over me, then it took over you, too" *).

***

BANDUNG.

Beberapa minggu kemudian kami dipertemukan lagi, dan aku senang karena ada kesempatan untuk menuntaskan rasa penasaran itu :

"Boleh aku tahu mengapa Allahu Akbar, Mardiah ?"

Penting bagiku untuk mengetahuinya, karena setahuku Mardiah bukan muslim.  At least theoritically.

Dan ini yang Mardiah katakan :

"Waktu itu aku berdua dengan temanku jalan-jalan di sebuah hutan di Kalimantan. Menjelang senja tiba-tiba hujan turun amat deras, ditambah badai dan petir pula ... Kami tak bisa bergerak, karena jalan di sekeliling kami begitu mustahil dilewati. Gelap, tapi kami tidak membawa lampu. Juga tak bisa minta pertolongan ke basecamp, karena henpon kami basah. Dalam keadaan basah kuyup, kami terpaksa memutuskan untuk berteduh. Kami duduk begitu saja di tempat yang menyedihkan, dalam kegelapan yang amat mencekam pula".

"Dalam ketakutan dan kedinginan, aku mencoba bermeditasi dan menghadirkan Tuhan. Mungkin karena tak ada siapa-siapa lagi yang bisa kuharapkan, maka aku menggantungkan harapan hanya kepadaNya, seolah sebentar lagi aku akan mati. Tiba-tiba ruang di dadaku serasa membesar dan membesar, seberkas sinar di dalamnya menyala makin terang dan terang, diiringi suara sejumlah besar orang -entah dari mana- yang menggemakan mantra : "Allaahu Akbar... Allahu Akbar".

"Aku ingat Bapak**) sering mengucapkannya, tapi tak kukira aku akan mendengarnya di tengah hutan rimba. Permukaan tubuhku dingin, tapi di dalam rasanya hangat. Sekelilingku masih hutan yang gelap, tapi rasanya lapang, terang, aman dan terlindungi. Sejak itu, meski tidak selalu berhasil, aku selalu mengucapkan Allaahu Akbar untuk menghadirkan perasaan aman yang sama seperti waktu itu."

"Baru keesokan harinya aku tahu, bahwa malam ketika kami terdampar di hutan itu ternyata merupakan malam pertama Ramadhan".

*

Sungguh terpana aku mendengar cerita itu.

Pasti bukan merupakan kebetulan aku bertemu denganmu, Mardiah.

Juga bukan kebetulan jika aku sampai mendengar kisah yang ajaib itu !

***

CHRISTCHURCH, NEW ZEALAND.

"Siapa nama aslimu, Mardiah ? Dan mengapa memilih nama Mardiah ?", tanyaku pada perempuan asal Amerika itu.

"My maiden name is Penelope. Mardiah itu artinya  'orang yang dicintai dan dihormati', nama pemberian Bapak **). Aku suka nama ini, karena ketika diucapkan hampir terdengar seperti My Dear ...", jawab Mardiah dengan kecentilan yang hampir menandingi remaja ;-).

Sejenak terbayang Hamidah, teman Mardiah yang lebih mirip Dewi klasik Yunani daripada Dewi Drupadi. Terkenang juga aku pada si Romli, teman mereka yang lain, yang wajah Latinonya mirip Antonio Banderas. Kombinasi nama Romli dan wajah ganteng ini sungguh membuatku geli, karena aku sudah terlanjur terbiasa dengan Romli udik yang bulat, berkulit gelap, dan beraroma ... angkot ;-).

"Bagaimana denganmu Max ? ", kataku pada seorang laki-laki kelahiran Australia yang pertama kali memperkenalkan Mardiah pada kami. "Mengapa namamu tetap Maximilian ?"

"Aku sedang mempertimbangkan nama Muhammad", jawab Max sambil tersenyum. "Aku fans berat Nabi kalian. Aku membaca banyak buku tentangnya."

"Jangan, ah. Nama ayahku, suamiku, juga anakku, semua mengandung Muhammad. Sepertinya hampir setiap jalan di Indonesia ini memiliki sedikitnya satu Muhammad", kataku sok tahu.

"Tapi baru kali ini aku punya teman bernama Maximilian. Dan kurasa aku menyukai nama itu, meski aku tidak terlalu menyukai orangnya", kali ini aku akhiri kata-kataku dengan seringai.

Melihat itu, bule separuh baya yang bersahaja itu hanya membalas dengan tarikan bibirnya yang angkuh dan menjengkelkan. Aku tahu dia sengaja begitu, agar aku berhenti mengorek-ngorek berbagai 'peran rahasianya' dalam menggerakkan kawan-kawannya untuk melakukan semacam 'misi kecil tapi mulia' bagi negeri ini.

***

ITULAH SEKELUMMIT KISAHKU tentang orang-orang bule yang tak biasa, baik ketakbiasaan karena perbuatannya maupun ketakbiasaan berkat nama udik...eh ...eksotiknya ;-)). Mereka melintas sejenak dalam hidupku, seperti meteor yang melintas di ujung malam. Tak jarang perjumpaan pertama di antara kami diawali dengan situasi terkesima yang terjadi selama beberapa detik, dimana akhirnya salah satu di antara kami akan menutup pembicaraan dengan kalimat berikut :

"Have we met before ? Your face is so familiar ..."

"You remind me of someone ..."

"I feel like I know you all my life ..."

"I don't know why, but I think I can trust you ..."

Ketika keanehan semacam ini kubahas bersama Max, ia berkata :

Max : "Because you are old ..."

Aku : "What ...? " :-(

Max : "You are old, they are old... All of you are old soul ...That's why you "see" each other ..."

Aku : "Wait. Are we vampires ...or ...highlanders ***) ?"

Max : "Whatever. But... does it feel sweet ? A glimpse of eternity ?" ****)

Aku tidak menjawab ucapannya dengan kata-kata. Hanya mata menyipit dan seringai seperti biasa yang kuyakin sangat dia ketahui artinya, yaitu :

"Berisik, ah. Kamu memang keren. Tapi kurasa kau lebih keren kalau diam..." ;-)

Keterangan :

*) "You are welcome. But I really don't know what was happening. The mantra took over me, then it took over you, too"  :  Terimakasih kembali. Tapi sesungguhnya aku tak tahu apa yang telah terjadi. Mantranya (baca: zikir) mengambil-alih diriku, dan selanjutnya ia mengambil-alih dirimu juga.

**) Bapak adalah panggilan hormat mereka pada seorang pemandu spiritual asal Solo bernama Muhammad Subuh (almarhum). Bapak ini telah memulai sebuah brotherhood yang dikenal dengan nama SUBUD, dengan puluhan cabang yang tersebar di hampir seluruh dunia.

***) Highlander, sebuah gambaran fiktif tentang manusia yang hidup abadi.  Konon kekuatan keabadian semacam itu diperoleh setelah memenggal kepala seorang highlander. Nafsu terhadap keabadian ini digambarkan hanya akan menyisakan seorang highlander di akhir cerita.

(Namun dalam artikel ini, istilah highlander itu saya pinjam untuk menunjuk pada kita semua. Kita adalah para highlanders yang lupa ...)

****) A glimpse of eternity : sekilas gambaran tentang keabadian.

*****) Tokoh dalam artikel ini asli, hanya nama mereka disamarkan ...kecuali aku dan Mardiah ;-).

[Telkomsel Ramadhanku]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun