Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

[Puasa] Return to the Origin *)

26 Juli 2011   01:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:23 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan puasa sebentar lagi.

Setiap puasa saya selalu mengenang Jean dan Garry, penganut ajaran Mormonisme, sebuah sekte Kristiani, yang saya kenal di tahun 2001. Pasangan dari Idaho-USA ini rajin puasa seminggu sekali. Selama puasa, sejumlah pengeluaran yang biasa digunakan untuk makan itu mereka sumbangkan untuk kegiatan bakti sosial di seluruh dunia. Kami berjumpa ketika mereka sedang bertugas mengalokasikan dana sekitar 6 milyar rupiah ke Indonesia, dana yang terkumpul dari ibadah puasa umat Mormon -yang konon minoritas- di negerinya, Amerika itu.

“Mengapa memilih Indonesia?”, tanya saya.

“Tidak hanya Indonesia. Kami juga melakukan bakti sosial ke negara-negara lain. Bagi kami semua manusia sama, karena kita tinggal di planet yang sama,” jawab Garry.

Bulan Ramadhan tahun berikutnya kami bertemu lagi. Dengan penuh hormat Jean menggenggam tangan saya dan berkata: “Alangkah hebatnya kalian, umat muslim, melakukan puasa selama 30 hari... Pasti banyak sekali dana yang bisa dibagikan pada orang yang kurang beruntung...”

Saya merasa sedikit malu mengenang sinar mata Jean ketika mengucapkan kekaguman yang salah alamat itu. Barangkali karena saya tidak pernah mengkritisi ritual bulan puasa kita yang lucu. Misalnya: Kita memang tidak makan apa-apa sepanjang siang, tapi pengeluaran untuk makan selama bulan puasamalah lebih banyak dari biasanya. Ketika puasa baru berjalan setengah putaran, kita malah belanja lebih banyak lagi demi persiapan merayakan ‘kemenangan’ -yang belum tentu kita pahami- di akhir puasananti. Jika sebelum puasa mungkin ada sedikit uang, pada akhir puasa tampaknya harus ada tekad besar untuk ‘menambal galian lubang’ di kocek kita, supaya bisa bikin lubang dengan tenang di bulan puasa tahun berikutnya.

Dan itu masih belum apa-apa. Di daerah tapal kuda Jawa Timur dikenal istilah “telasan” yang berarti “habis-habisan belanja”, yang dilakukan selama seminggu setelah puasa berakhir. Tampaknya memang begitu cara kita menjalani bulan puasa. (“Kita?”, tanya seorang teman. “Elo aja kalee...”)

“Tuhan sendiri yang merancang dan memerintahkan puasa, jadi mestinya puasa lebih dari sekedar menghilangkan atau menggeser jadwal makan siang”, begitu kata teman saya lainnya.

Puasa membuat tubuh belajar mengenali perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Keinginan memang bisa macam-macam sekali; maunya ada nasi soto, sate, lotek, atau burger. Padahal kebutuhan di baliknya ya cuma mengisi perut. Perhatian pada kebutuhan, bukan keinginan, akan membuat kita mengenali kembali kata ‘cukup’, kata yang sudah lama kita abaikan. Memahami kata ‘cukup’ justru akan membuat kita makan seperlunya, belanja seperlunya, beraktivitas seperlunya, dan ber-apasaja seperlunya...

Keinginan juga bisa membuat kita tidak merasa cukup dengan rasa asli makanan yang diolah sekedarnya. Kita terbiasa dengan ekstra garam, gula, dan zat tambahan lain, yang semua itu fungsinya hanya memperdaya lidah dan ‘tombol lapar’ kita, membuat kita terjebak dalam urusan perut. Kini terbukti bahwa kita merupakan generasi yang tubuhnya tak perlu dilemahkan oleh penyakit aneh-aneh dari luar. Gaya hidup kita saja sudah cukup untuk menyakiti diri kita sendiri. Beruntung ada bulan puasa, bulan yang bisa dimanfaatkan untuk mengenal kembali rasa asli makanan alami. “Setelah seharian menahan lapar, mestinya tidak sulit untuk merasa cukup dengan menyantap pisang tanpa zat tambahan sebagai makanan pembuka, sebagaimana Rasul menyantap buah kurma segar”, begitu kata teman saya. (Saya jadi bertanya-tanya dalam hati, bagaimana kalau puasa malah membuat kita menjadi ‘pendendam’ yang ingin menebus keterbatasan di siang hari dengan pelampiasan yang hebat di malam hari?)

Tapi memang rasa cukup itu hal yang paling mewah di dunia. Konon kata para sufi, rasa cukup itu identik dengan merasa kaya, bahkan bisa menjadikan kita lebih kaya harta dari sebelumnya. (Tentu saja, karena rasa cukup ini membuat kita tidak perlu ganti hape, ganti mobil, atau ganti pacar tiap tahun kan? “Iya, tidak perlu tiap tahun. Cukup tiap 2-3 tahun”, celetuk teman saya yang lain lagi.)

Rasa cukup itu bahasa Inggrisnya ‘contented’ alias puas dan hepi. “Enough is equal to a feast”, kata pepatah bule. (Rasa cukup itu sepadan dengan kepuasan besar.) “He who knows not when he has enough is poor,” kata pepatah Jepang. (Orang yang tidak tahu arti cukup adalah orang miskin.) Orang yang tidak merasa cukup akan menjadi ... p.e.r.u.s.a.k , kata seorang teman. Lho, kok bisa?

Rasa tidak cukup itu akan membuat kita sibuk menginginkan hal-hal yang tidak kita miliki, sehingga mengabaikan hal-hal yang kita miliki. Pengabaian itu membuat apa yang sebenarnya kita miliki itu ‘memberontak’, menjauh, melemah, hingga menghilang. Ada perempuan yang sibuk memoles diri agar bisa secantik selebriti, hingga mereka lupa memberi dukungan pada pesona uniknya sendiri. Ada orang tua yang sibuk mengejar kekuasaan dan kekayaan materi, hingga melupakan investasinya yang paling berharga, yaitu kekayaan batin si buah hati. Lebih buruk lagi, orang tua dengan rasa tidak cukup juga akan mewariskan rasa tidak cukup pada anak-anak mereka.

Cukupkah?

Belum. Ulasan ini belum cukup kalau saya belum mengaitkannya dengan isu global. Kerusakan lingkungan ternyata juga merupakan dampak dari rasa tidak cukup kita. Perusakan Bumi masih berlangsung, pelakunya yang paling banyak justru orang-orang yang perutnya hampir tak pernah lapar seperti kita. Mereka (maksudnya kita juga sih...) ada di belakang pemborosan hutan, air, ikan liar, minyak bumi dan sebagainya. Semua pemborosan itu merusak kualitas tanah, air dan udara dalam tingkat yang paling tinggi selama 400 tahun belakangan ini, bahkan pencemaran udara kita terburuk sepanjang 650.000 tahun terakhir ini. Pemborosan dan pencemaran itu begitu besarnya, seolah mereka (juga kita) memiliki cadangan kekayaan sebanyak enam planet Bumi !

Kini Bumi sedang melangkah pasti menuju sejarah baru, sejarah kerusakan dan kepunahan massal yang dilakukan oleh manusia, bukan oleh proses alami yang terjadi setiap periode puluhan juta tahun. Sungguh hebat spesies kita ini, hadir di Bumi ‘baru’ sekitar 1,8 juta tahun lalu, tapi bisa mengubah sejarah Bumi ‘hanya’ dalam 400 tahun saja. (Dalam hitungan geologis, 400 tahun itu jauh lebih singkat dari sekedipan mata!)

Jika umur Bumi dilukiskan sebagai 5000 tumpukan bata yang disusun secara vertikal, dimana setiap batanya mewakili masa 900.000 tahun, maka usia manusia modern ini ‘baru’ 2 tumpuk bata saja. Tapi hebatnya, ‘bayi’ berumur 2 bata ini bisa membuat perubahan yang akan meruntuhkan ribuan tumpuk bata yang menjadi asal-usulnya hanya dalam waktu yang super singkat!

Ya, Bumi berumur kurang dari 1 bata ketika memutuskan untuk melahirkan kehidupan. Selama ratusan juta tahun berikutnya, berbagai generasi tumbuhan dan hewan dilahirkan. Mereka jalin-menjalin menopang, membentuk, dan mempersiapkan kelahiran kita, umat manusia. Tapi lucunya, spesies paling muda ini justru merasa paling berhak menentukan hidup-matinya penghuni Bumi lain yang menjadi leluhur dan penopangnya...

Padahal sudah jelas, kita tidak punya enam planet Bumi !

Andai enam planet sebagus Bumi itu memang ada, jumlah itu tidak akan cukup untuk melayani orang yang tidak tahu arti cukup. Gandhi dari India dan Sitting Bull dari Indian sama-sama mengisyaratkan, kitalah yang seharusnya menyesuaikan diri dengan irama dan kondisi Bumi, bukannya memaksa Bumi mengikuti hasrat kita yang sulit dicukupkan. Saatnya kembali ke titik awal, dimana makan dan belanja kita untuk pemenuhan kebutuhan, bukan pelampiasan nafsu. Karena cukup berarti menginginkan apa yang kita miliki. Dan di antara kekayaan kita itu adalah Bumi beserta interdependensi di antara seluruh penghuninya.

(Saya jadi kangen Jean dan Garry yang ibadah puasanya digunakan untuk mengingat dan mengingatkan kita akan kesalingtergantungan itu. God bless you always, J & G...!)

Mudah-mudahan puasa dan ritme tubuh baru yang dibentuknya akan menjadikan kita diri yang baru di akhir puasa, tepatnya diri yang penuh rasa hormat terhadap asal-usul kita sendiri.

Selamat berpuasa.

Salmon Alaska yang sedang bermigrasi dari laut ke hulu sungai ini berpuasa selama berminggu-minggu. Perjalanan mereka amat jauh, terjal, menanjak, dan penuh bahaya. Dan semua susah-payah ini mereka lakukan demi proses re-generasi, re-creation, re-born.

*) First published : someday before Ramadhan, 2008 (lupa tepatnya ;-))

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun