Rasa cukup itu bahasa Inggrisnya ‘contented’ alias puas dan hepi. “Enough is equal to a feast”, kata pepatah bule. (Rasa cukup itu sepadan dengan kepuasan besar.) “He who knows not when he has enough is poor,” kata pepatah Jepang. (Orang yang tidak tahu arti cukup adalah orang miskin.) Orang yang tidak merasa cukup akan menjadi ... p.e.r.u.s.a.k , kata seorang teman. Lho, kok bisa?
Rasa tidak cukup itu akan membuat kita sibuk menginginkan hal-hal yang tidak kita miliki, sehingga mengabaikan hal-hal yang kita miliki. Pengabaian itu membuat apa yang sebenarnya kita miliki itu ‘memberontak’, menjauh, melemah, hingga menghilang. Ada perempuan yang sibuk memoles diri agar bisa secantik selebriti, hingga mereka lupa memberi dukungan pada pesona uniknya sendiri. Ada orang tua yang sibuk mengejar kekuasaan dan kekayaan materi, hingga melupakan investasinya yang paling berharga, yaitu kekayaan batin si buah hati. Lebih buruk lagi, orang tua dengan rasa tidak cukup juga akan mewariskan rasa tidak cukup pada anak-anak mereka.
Cukupkah?
Belum. Ulasan ini belum cukup kalau saya belum mengaitkannya dengan isu global. Kerusakan lingkungan ternyata juga merupakan dampak dari rasa tidak cukup kita. Perusakan Bumi masih berlangsung, pelakunya yang paling banyak justru orang-orang yang perutnya hampir tak pernah lapar seperti kita. Mereka (maksudnya kita juga sih...) ada di belakang pemborosan hutan, air, ikan liar, minyak bumi dan sebagainya. Semua pemborosan itu merusak kualitas tanah, air dan udara dalam tingkat yang paling tinggi selama 400 tahun belakangan ini, bahkan pencemaran udara kita terburuk sepanjang 650.000 tahun terakhir ini. Pemborosan dan pencemaran itu begitu besarnya, seolah mereka (juga kita) memiliki cadangan kekayaan sebanyak enam planet Bumi !
Kini Bumi sedang melangkah pasti menuju sejarah baru, sejarah kerusakan dan kepunahan massal yang dilakukan oleh manusia, bukan oleh proses alami yang terjadi setiap periode puluhan juta tahun. Sungguh hebat spesies kita ini, hadir di Bumi ‘baru’ sekitar 1,8 juta tahun lalu, tapi bisa mengubah sejarah Bumi ‘hanya’ dalam 400 tahun saja. (Dalam hitungan geologis, 400 tahun itu jauh lebih singkat dari sekedipan mata!)
Jika umur Bumi dilukiskan sebagai 5000 tumpukan bata yang disusun secara vertikal, dimana setiap batanya mewakili masa 900.000 tahun, maka usia manusia modern ini ‘baru’ 2 tumpuk bata saja. Tapi hebatnya, ‘bayi’ berumur 2 bata ini bisa membuat perubahan yang akan meruntuhkan ribuan tumpuk bata yang menjadi asal-usulnya hanya dalam waktu yang super singkat!
Ya, Bumi berumur kurang dari 1 bata ketika memutuskan untuk melahirkan kehidupan. Selama ratusan juta tahun berikutnya, berbagai generasi tumbuhan dan hewan dilahirkan. Mereka jalin-menjalin menopang, membentuk, dan mempersiapkan kelahiran kita, umat manusia. Tapi lucunya, spesies paling muda ini justru merasa paling berhak menentukan hidup-matinya penghuni Bumi lain yang menjadi leluhur dan penopangnya...
Padahal sudah jelas, kita tidak punya enam planet Bumi !
Andai enam planet sebagus Bumi itu memang ada, jumlah itu tidak akan cukup untuk melayani orang yang tidak tahu arti cukup. Gandhi dari India dan Sitting Bull dari Indian sama-sama mengisyaratkan, kitalah yang seharusnya menyesuaikan diri dengan irama dan kondisi Bumi, bukannya memaksa Bumi mengikuti hasrat kita yang sulit dicukupkan. Saatnya kembali ke titik awal, dimana makan dan belanja kita untuk pemenuhan kebutuhan, bukan pelampiasan nafsu. Karena cukup berarti menginginkan apa yang kita miliki. Dan di antara kekayaan kita itu adalah Bumi beserta interdependensi di antara seluruh penghuninya.
(Saya jadi kangen Jean dan Garry yang ibadah puasanya digunakan untuk mengingat dan mengingatkan kita akan kesalingtergantungan itu. God bless you always, J & G...!)
Mudah-mudahan puasa dan ritme tubuh baru yang dibentuknya akan menjadikan kita diri yang baru di akhir puasa, tepatnya diri yang penuh rasa hormat terhadap asal-usul kita sendiri.
Selamat berpuasa.