Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Masuk Surga, Tapi Mulailah "Membuat Surga"!

1 Maret 2014   22:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:20 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadav Mulai Payeng adalah seorang remaja berusia 16 tahun saat itu (1979), dan ia tertegun menyaksikan pemandangan memilukan di hadapannya. Luapan banjir dari sungai Bramaputra telah menyapu pohon-pohon peneduh di Aruna Chapori, membuat ribuan ular-ular liar tergeletak mati kepanasan. Pemuda India dari suku Mishing itu hanya bisa duduk menangis sambil meratapi pemandangan tak bernyawa di mana-mana. "Ini pembantaian !", katanya putus asa.  "Jika hancurnya pohon-pohon membuat ular-ular itu mati, bukankah suatu hari seluruh umat manusia juga akan mati seperti itu?", demikian ia memulai bujukannya kepada para tetua di kampungnya agar segera melakukan sesuatu. Tapi ia hanya mendapat cemooh. Tak ada yang mempercayai kata-kata sebesar itu dari mulut seorang remaja.

Merasa tak didengar oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya, Payeng lalu mendatangi departemen kehutanan untuk maksud yang sama. Sayangnya keinginan Payeng untuk bersama-sama 'menyelamatkan umat manusia' itu tidak ditanggapi serius, malah mereka mengaku tidak melihat ada harapan di tempat setandus itu. Namun mereka "menghibur" Payeng dengan benih-benih bambu yang harus ditanamnya di tanah itu, setidaknya supaya tak ada lagi ular-ular yang mati sia-sia. Tanggapan para pamong yang minimal ini begitu mengecewakan Payeng, hingga ia pulang dengan sebuah keputusan terpenting dalam hidupnya.

"Jika orang tidak meyakini kata-kata besar, barangkali orang akan meyakininya jika kata-kata itu menjadi perbuatan !" Dan di atas lahan gersang dan terpencil itulah Payeng bertekad mulai memahat sebuah kisah - yang kelak terbukti luar biasa indah.

Payeng yang masih belia itu lalu meninggalkan dunia yang dikenalnya, juga hari-hari menyenangkan selama di sekolah. Seorang diri ia memulai hidup barunya di atas tanah yang "tak menjanjikan", dengan kesibukan menanam, menyirami tanamannya pagi dan petang, dan memangkasnya secara teratur. Setelah rumpun bambu bertumbuhan, ia pun mulai menanam pohon-pohon yang lain. Ia bahkan melakukan transplantasi semut-semut merah untuk mengubah kondisi pasir menjadi tanah yang subur. Kenangan tentang sengatan semut yang diangkutnya dengan susah payah dari desanya itu kini membuatnya tertawa, lebih-lebih upayanya itu akhirnya membuahkan hasil.

Dunia mungkin tidak akan pernah mendengar ada sebuah hutan garapan Payeng di Jorhat, jika tidak ada berita tentang 100 ekor kawanan gajah yang merusak sebuah pemukiman dan diburu oleh penghuninya yang marah (tahun 2008). Gajah-gajah yang sedang bermigrasi itu menuju hutan Payeng untuk singgah, namun rombongan besar itu -tanpa sengaja- telah menginjak-injak sawah dan merobohkan rumah-rumah. Penduduk yang murka itu lalu menuding hutan Payeng sebagai penyebab kerusakan, dan beramai-ramai mereka menuntut Payeng untuk menebang pohon-pohonnya. Namun dengan gagah berani Payeng menghadapi mereka, bahkan menantang mereka untuk mengambil nyawanya terlebih dahulu.

Konflik antara manusia dan gajah itu akhirnya memaksa petugas dari departemen kehutanan Assam untuk datang, namun mereka malah terheran-heran menemukan adanya hutan lebat di atas hamparan pasir. Itu adalah tanah gersang yang pernah mereka "kutuk" sebagai tanah tanpa harapan, dan kini di atasnya ada seorang bernama Payeng yang membelanya mati-matian, seakan-akan seluruh hamparan hijau itu anak kandungnya sendiri.

[caption id="attachment_314604" align="aligncenter" width="564" caption="Halaman depan "][/caption]

Tidak mudah mencapai hutan yang sangat terpencil ini, karena ada 400 kilometer jalan darat yang harus dilalui, belum termasuk jalan sungai. Namun siapapun akan terpesona menyaksikan keindahan di atas 1360 hektar lahan itu, dengan keragaman flora yang telah mengundang berbagai fauna. Burung-burung singgah secara teratur selama musim bermigrasi, para kijang dan sapi pun ikut "mengundang" para karnivora. Hutan yang dinamai Mulai Kathoni -untuk menghormati Jadav Mulai Payeng- itu bahkan dihuni oleh hewan-hewan langka seperti badak bercula satu, juga beberapa ekor harimau Bengal yang telah beranak-pinak.

"Alam telah menciptakan rantai makanan, mengapa kita tidak bisa menaatinya ? Siapa yang akan melindungi hewan-hewan ini, jika makhluk superior seperti kita memburu mereka ?", demikian ucapan Payeng saat seekor badak bercula dibunuh oleh penduduk. Pembunuhan itu membuatnya begitu sedih hingga ia kehilangan selera makannya selama 3 hari. Ia sendiri telah kehilangan 100 ekor ternak sapi dan kerbau, karena dijadikan makan malam oleh macan-macan yang "mengungsi" di hutannya. Namun Payeng -yang sehari-harinya menghidupi anak istrinya dengan susu sapi perah itu- sangat memaklumi "kenakalan" macan-macan itu. Ia justru menyalahkan manusia yang telah merusak hutan-hutan lain yang merupakan rumah hewan-hewan malang tersebut sebelumnya.

"Jika kalian menebangi pohon-pohon ini, kelak kalian harus membeli oksigen seperti orang-orang kota membeli air minum dalam botol", katanya setiap kali  ada warga sekitar yang mengganggu pohon-pohon kesayangannya. Sebagaimana proses menanamnya yang begitu memakan waktu, membuat suaranya "terdengar" oleh orang lain pun memakan waktu.  Namun lelaki berumur lima puluh tahunan yang memiliki sorot mata seperti "a man on mission" itu kini telah membuktikan bahwa mission impossiblenya telah berubah menjadi possible. Bahkan saat Payeng mulai bosan pada pemerintah - yang tidak mau mendengar itu, orang-orang dari berbagai penjuru dunia justru berdatangan untuk memberi dukungan kepadanya. Tak ada yang lebih menyenangkan bagi Payeng selain bercengkerama dengan hewan, juga dengan sesama konservatoris dan pecinta lingkungan.

[caption id="attachment_314605" align="aligncenter" width="606" caption="Rumah Payeng yang bersahaja. Bagian kanan adalah pondok yang reot karena ulah gajah. "]

1393656223489503411
1393656223489503411
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun