Mohon tunggu...
Melta AprilliaPerdhani
Melta AprilliaPerdhani Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Saya adalah Ibu dari dua anak balita yang sangat mencintai dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ekonomi Digital Sebagai Solusi Keberlangsungan Pemberdayaan Kelompok Rentan

26 Juli 2022   12:22 Diperbarui: 26 Juli 2022   13:18 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ini, Indonesia tercatat sebagai pemegang Presidensi Group of 20 (G20) 2022, yaitu kerjasama multilateral yang sebagian besar anggotanya merupakan pemegang kekuatan ekonomi terbesar di dunia.  Serah terima secara resmi telah dilaksanakan pada KTT G20 di Roma, Italia pada 31 Oktober 2021 yang lalu. Sementara itu, Indonesia akan mengetuai berbagai pertemuan tingkat menteri dan deputi, kelompok kerja, dan engagement group selama setahun terhitung sejak 01 Desember 2021. Sebagai puncaknya, akan diselenggarakan pertemuan para kepala negara atau pemerintahan di Bali pada tanggal 15-16 November 2022 mendatang.

Mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger", Indonesia mengajak seluruh negara di dunia untuk bahu-membahu bangkit dari keterpurukan akibat hantaman pandemi Covid-19. Mengingat dunia saat ini masih dalam kondisi pemulihan pasca pandemi Covid-19 yang membawa imbas multisektor, kerjasama dan solidaritas global mutlak dibutuhkan. Untuk itulah, Indonesia menerapkan prinsip inklusivitas dan leave no one behind, Indonesia membawa visi kebermanfaatan bagi seluruh lapisan dan kelompok masyarakat di seluruh dunia, termasuk kelompok masyarakat rentan (undeserved community), baik dari negara anggota maupun negara bukan anggota.

Ekonomi di Masa Pandemi Covid-19

Transmisi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang sangat cepat menyebabkan pemerintah harus bergerak ekstra cepat dalam mencegah dan mengendalikan penyebarannya. Pasca Presiden Joko Widodo mengumumkan identifikasi pertama kasus Covid-19 pada tanggal 02 Maret 2020, berbagai kebijakan diambil pemerintah, salah satunya adalah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilanjutkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Meskipun memiliki perbedaan mendasar terkait wewenang, cakupan wilayah, dan keketatan, namun secara prinsip kedua instrumen kebijakan ini mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk membatasi kegiatan masyarakat guna mencegah dan mengendalikan penyebaran Covid-19.

Tidak hanya pada sektor kesehatan, Covid-19 juga membawa dampak negatif yang signifikan pada sektor ekonomi, pendidikan, dan sosial. Di bidang ekonomi, kontraksi ekonomi terjadi imbas dari penerapan PSBB dan PPKM. Menurut data BPS, pada tahun 2020 kontraksi ekonomi Indonesia mencapai minus 2,07. Kontraksi ekonomi kala itu diakibatkan oleh adanya penurunan signifikan di beberapa komponen, yaitu konsumsi rumah tangga, konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga, investasi, ekspor, dan impor.

Di sisi lain, ekonomi digital menunjukkan progress yang berarti di masa pandemi Covid-19. Hal ini tak lain karena sebagian besar aktivitas masyarakat migrasi ke dalam jaringan (internet), tak terkecuali aktivitas ekonomi. Kegiatan jual beli misalnya, yang dahulu menuntut pertemuan antara penjual dan pembeli secara langsung, kini dapat dilakukan hanya dengan menggunakan komputer dan handphone dari rumah. Tuntutan untuk dapat bertahan di tengah himpitan kebutuhan hidup selama pandemi mendorong masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas yang bersifat ekonomis tanpa meninggalkan rumah.

Ekonomi Inklusif bagi Perempuan, Pemuda, dan Penyandang Disabilitas

Sejatinya, perempuan sebagai bagian dari warga negara harus ikut aktif dalam pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Pembangunan berkelanjutan harus melibatkan seluruh sumber daya yang ada, tanpa memandang ras, agama, gender, maupun usia.  Jumlah perempuan di Indonesia yang mencapai 49,5 persen bukanlah jumlah yang sedikit, keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan, terutama sektor ekonomi.

Laporan McKinsey Global Institutes pada tahun 2016 menunjukkan bahwa peningkatan kesetaraan gender akan meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) sebesar US$12 triliun atau 11 persen  pada tahun 2025 secara global. Hasil penelitian ini menarik perhatian para pemimpin negara atau pemerintahan di dunia, sehingga mereka berbondong-bondong untuk menggalakkan peran serta perempuan dalam kegiatan ekonomi di negara masing-masing. Demikian juga berbagai kerja sama antar negara yang beberapa tahun terakhir banyak menyoroti keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebut saja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadikan kesetaraan gender sebagai salah satu dari tujuh belas tujuan yang diberlakukan secara global melalui Sustainable Development Goals (SDGs). Sementara itu, Group of Twenty (G20) dan Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) telah meratifikasi agreement berkaitan dengan peran serta perempuan dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi.

Namun, tidak dapat dipungkiri, masih tumbuh suburnya ketidaksetaraan gender yang memandang perempuan sebagai warga negara second class akan menjadi penghambat yang sangat berarti, mengingat menghapuskan budaya patriarki di masyarakat tidaklah semudah membalikkan kedua tangan. Preseden buruk tak jarang diterima perempuan yang bekerja atau berkarya di luar rumah. Setali dua uang, pemahaman agama yang dangkal tak jarang dijadikan landasan tak mendasar budaya patriarki ini. Menurut data International Labour Organization (ILO) dan Gallup, 34 persen laki-laki dan 30 persen perempuan dari populasi dunia masih memegang kepercayaan kultural bahwa perempuan tidak semestinya bekerja di luar rumah. Sehingga, literasi kesetaraan gender sangat dibutuhkan.

Di pasar tenaga kerja sendiri banyak ditemukan kebijakan yang tidak berpihak kepada tenaga kerja perempuan, sehingga kebanyakan perempuan bekerja di sektor informal yang identik dengan upah rendah, lingkungan kerja yang tidak aman atau tidak sehat, serta tidak memberikan jaminan kesehatan dan kesejahteraan. Menurut data International Labour Organizatation (ILO), di negara berkembang seperti Indonesia, hampir 90% perempuan bekerja di sektor informal. Hal ini kemudian berbuntut pada ketimpangan upah antara laki-laki dan perempuan, penurunan kesejahteraan hidup perempuan, dan pada akhirnya membawa dampak pada hasil pembangunan yang tidak maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun