Mohon tunggu...
Afriyanto
Afriyanto Mohon Tunggu... Akuntan - Sang pemimpi amatir.

Berbuat kebajikan sesama makhluk hidup dan melangkah depan naik turun belakang hingga raga tak bisa lagi berdaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akankah Ada Babak Baru bagi Sistem Pendidikan di Indonesia Pasca Covid-19?

10 April 2020   21:32 Diperbarui: 10 April 2020   21:54 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak dua warga Indonesia asal Depok dinyatakan positif terjangkit covid-19 pada 02 Maret 2020, kepanikan dan ketakutan  di tengah masyarakat pun kian mencuat terkait penyebaran virus tersebut.

Hingga pada 15 Maret 2020, Pemerintah Pusat sigap menyerukan social distancing sebagai upaya memperlambat laju penyebaran virus yang sangat masiv penyebarannya ini dengan cara mengurangi mobilitas  massa diluar rumah. Mulai dari instansi pemerintah, swasta hingga lembaga pendidikan bersama-sama menerapkan social distancing dengan melakukan segala aktivitas, seperti bekerja, belajar dan beribadah dari rumah.

Seiring dengan berjalannya waktu, sejak diterapkannya sistem daring sebagai alokasi aktivitas dalam dunia kerja maupun pendidikan, secara tidak sadar telah membawa impact positif, khususnya dalam penggunaan teknologi seperti smartphone atau personal computer dengan lebih bijak. 

Alih-alih memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai sarana memanjakan diri dengan game online atau aplikasi penghibur lainnya, kini kita mulai memanfaatkan teknologi sebagaimana hakekat fungsi mereka, yakni untuk membantu kita dalam beraktivitas. Mulai dari membangun literasi melalui dunia maya, belajar online hingga berkomunikasi jarak jauh dengan rekan kerja.

Namun, dengan diterapkannya sistem daring tersebut, tak luput menuai efek kejut bagi masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan. Bagaimana tidak? yang biasanya pembelajaran  dilakukan secara tatap muka diruang kelas, tiba-tiba kita dituntut untuk berkomunikasi dan berinteraksi melalui bantuan media. Dalam hal ini, orang tua pun ikut dilibatkan sebagai pengontrol kegiatan belajar dirumah bagi anak-anaknya.

Dalam banyak kasus, rata-rata pengajar hanya mengarahkan pembelajaran apa yang harus dipelajari oleh anak didiknya. Kemudian, orang tualah yang sepenuhnya mengambil kendali sebagai pengganti pengajar dirumah. Lalu, output dari apa yang dipelajari dikirimkan kembali kepada pengajar. 

Namun tidak sedikit pula, sejumlah pengajar, orang tua atau anak didik yang merasa terhambat dengan sistem ini, karena beberapa dari mereka dikatakan gagap teknologi. Itulah yang kemudian menjadi keluh kesah dari orang tua murid yang anaknya masih mengenyam bangku sekolah dasar. Tak jarang juga kita mendengar para orang tua berkata "ini sistem yang ribet".

Namun jika kita naik satu tingkat ke jenjang SMP atau hingga perkuliahan, pasti kita akan menemukan keluh kesah yang berbeda. Dikalangan SMP hingga Perguruan Tinggi, keluhan yang diperoleh dari para pelajar, berkisar pada persoalan tugas yang terlalu banyak dan sistem daring yang dirasa tidak efektif. 

Banyak dari mereka yang merasa sulit memahami berbagai tugas yang berikan karena tidak adanya penjelasan terlebih dahulu. Para tenaga pengajar ini dinilai hanya memberikan setumpuk tugas tanpa menyertakan bimbingan dalam prosesnya.

Tetapi disisi lain, adapula yang beranggapan bahwa dengan sistem ini, pelajar dituntut untuk lebih mandiri dan kreatif dalam menggali informasi dan tidak menggantungkan diri pada tenaga pengajar sebagai obejek vital pengetahuan. Selain itu dengan adanya sistem daring ini, pelajar memperoleh kesempatan untuk merasakan suasana belajar yang baru, karena kini belajar dapat dilakukan dimana saja. Tidak melulu di kelas yang sering kali dianggap membosankan. Ditambah lagi, dengan adanya alokasi sistem pembelajaran ini, melahirkan efisiensi dalam segi materi, waktu dan tenaga.

Namun kali ini, penulis ingin membuang jauh-jauh pro dan kontra terkait kebijakan daring/online yang dikeluarkan  melalui surat  ederan Kemendikbud RI Nomer 3 Tahun 2020 tentang pencegahan penyebaran virus covid-19. Kini, penulis ingin mengajak para pembaca untuk kembali memahami arti dari nilai dasar Pendidikan itu sendiri, sehingga kita dapat lebih tercerahkan dan bersemangat selama menempuh proses pendidikan ditengah pandemi ini.

Jika kita telaah, apabila kini Indonesia gempar karena adanya alokasi sistem pembelajaran yang menuntut perubahan sistem Face to Face ke sistem Daring, penulis merasa kita semua justru wajib bersyukur. Terlepas dari adanya dampak pandemi covid-19, kita juga sebenarnya tengah berada di dalam bayang bayang masa transisi Revolusi Industri 4.0 ke Revolusi Industri 5.0. 

Seharusnya kita dapat memanfaatkan pandemi ini sebagai batu loncatan untuk menyadari kebutuhan di masa mendatang yang membawa peradaban manusia ini kedalam era digitalisasi. 

Revolusi mental dan kesadaran yang tinggi dalam setiap diri individu harus terjadi, khususnya dalam hal ini mereka yang masih duduk di bangku pendidikan perlu mulai dibentuk sejak dini dalam lebih kritis, kreatif,  dan inovatif untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Revolusi mental dan kesadaran yang dimaksud ialah tiap individu dapat mengubah stigma akan hakikat dari metode pendidkan yang mengarah ke suatu ilmu dan pengetahuan, disini invidu yaitu si pembelajar dan pengajar harus bisa menempatkan posisi mereka sebagai "subjek" Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan sebagai "obejek" dari Pendidikan itu tersendiri, seperti yang di ungkapan, Paulo Freire. 

Selama ini kita selalu beranggapapan bahwa dosen atau guru itu sebagai objek vital  sehingga kita sebagai individu yang sedang menjalani proses pendidikan hanya meng-iyakan tanpa berani membantah argumen dari sang pengajar dengan pengetahuan yang kita miliki sehinggga bisa menimbulkan dialektika yang dielektis tanpa menghilangkan kenormaan kita terhadap tenaga pendidik.

Dan sang pengajar pun harus bisa membawakan agar ruang kelas penuh dengan dialog interaktif antar sesama pelajar maupun ke pengajar dengan merangsang pola berpikir kritis dan rasa skeptis pada setiap pelajar. Seperti, memberi satu objek permasalahan yang bersifat mistik namun dapat dijelakan secara rasional oleh guru dan murid, sehingga murid bisa memahami terkait objek tersebut bukan hanya pada menghafal objek-objek tersebut. Pembelajaran dengan metode ini biasa dikenal dengan pendidikan hadap masalah yang di cetuskan oleh Paulo Freire. Lalu, kita kembali lagi ke dalam masalah sistem pembelajaran daring.

Sebenarnya di  Uni Eropa, khususnya Negara Finlandia sudah sejaka lama menerapkan sistem daring. Intan Farhana salah satu mahasiswa Unsiyah Aceh yang pernah mengikuti pertukaran pelajar dengan mahasiswa University Turku Finlandia, ia menemukan banyak perbedaan menarik. Jika ditingkat perkuliahan di Indonesia memiliki sistem face to face dan lab work, disana mereka memiliki reading circles, self study dan online course. 

Pertemuan di dalam kelas mereka pun lebih ringkas, dengan hanya 90 menit untuk satu pertemuan sedangkan kita bisa 2,5 jam untuk satu pertemuan, selain itu mahasiswa hanya diberikan daftar buku dan artikel yang harus dibacanya serta dapat memlilih jadwal ujian eletronik secara online dengan flexible yang dilakukan laboratorium komputer yang sudah siapkan. Dengan model ujian yang beragam seperti written exam, essay, dan learning diary atau bisa dikatakan sebagai jurnal mahasiswa selama mengikuti mata kuliah dan dinilai sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan mata kuliah tersebut.

Dan jika dari segi informasi dan teknologi, setiap mahasiswa diberikan e-mail dengan domain universitas, hal ini sangat penting karena dosen dan mahasiswa tidak perlu menanyakan e-mail address satu persatu, tetapi cukup dengan mengetahui nama lengkap  kemudian langsung mengirimkan email, selain itu mahasiswa juga diberikan ussername dan password untuk mengakses segala fasilitas internet baik dilingkup area kampus dan dunia. 

Serta seluruh bahan kuliah, baik yang telah diberikan dan bahan bacaan tambahan akan di upload oleh dosen ke dalam sebuah website yang disebut dengan moodle. Kemudian mahasiwa cukup login dan dapat menikmati berbagai bahan pembelajaran.

Kemudian mengenai teaching system, Intan mengatakan jika dosen disini memiliki kontrol 100% terhadap kelasnya sendiri dan dosen juga tidak begitu memperdulikan kehadiran mahasiswa kecuali untuk kelas dengan metode seminar intensive course.  Bahkan dosen disini sangat terbuka untuk berdiskusi dengan mahasiwa dan tidak malu untuk menjawab tidak tahu ketika ada pertanyaan yang diajukannya.

Jadi pada kesimpulan kali ini, penulis beranggapan bahwa kemungkinan akan ada babak baru di sistem pendidikan di Indonesia dari sistem Face To Face didalam ruang kelas ke sistem dari Daring tanpa perlu adanya ruang kelas jika dilihat dari segi "Teori Evolusi Perubahan Sosial", teori ini melihat perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada pengorganisasian masyarakat dan akan terjadi dalam kurun waktu yang tidak dapat dikatakan singkat. 

Tetapi tidak menutup kemungkinan juga akan berlangsung cepat,  karena ada faktor yang membuat kita harus melangkah jauh kedepan sebagaimana yang dimaksud pada "Teori Liner Perubahan Sosial" dan jika kita bandingkan dengan keadaan sekarang tentu ada beberapa kemiripan atas teori tersebut.

Yang pertama yaitu dengan hadirnya fenomena wabah virus covid-19 membuat Indonesia mengambil keputusan social dan psycal distancing skala besar dalam waktu yang belum diketahui. Jika hal ini bisa memakan waktu 1-2 semester di dalam pendidikan kita, maka sistem daring pun otomatis mengalami perpanjangan. 

Jika hal ini dinilai berhasil dan efektif serta efisien, maka tidak menutup kemungkinan untuk segera melakukan regulasi dan revolusi dibidang sistem pendidikan, mengingat masa transisi 4.0 ke 5.0 pun yang perlahan sudah dimulai dan kita sebagai bangsa yang besar harus siap menyosong perubahan tersebut.

Namun, tentu saja  masih banyak pertimbangan yang kita kaji secara mendalam, seperti sarana prasarna pendukung, salah satunya ialah jaringan internat yanng menjadi syarat mutlak yang harus diperbaiki karena dengan kecepatan 10,5 Mbps dan dipakai beberangan yang kurang lebih 260 juta jiwa pasti akan mengalami kendala. 

Kemudian  perbaikan sarana prasarana kampus dan peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem pendidikan kita dan yang terpenting ialah kesiapan Sumber Daya Manusia itu tersendiri yaitu si peserta didik maupun tenaga pendidik yang berada di bangku sekolahan dan univerisitas untuk  memahami betul apa dan pentingnya Pendidikan bagi pembangunan bangsa melalui kematengan keterampilan tiap individunya.

Sebagai kata akhir dari penulis, jika seluruh manusia itu adalah makhluk sempurna dan mulia, bahkan dianggap sebagai wakil dan citra dari sifat Tuhan, maka sebagai manusia sudah seharusnya kita bisa mengaktualisasikan potensi yang dimiliki manusia dimuka bumi, serta mengutip dari perkataan Bapak Pendidikan Indonesia Ki hajar Dewantara "Setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah" ini menunjukkan bahwasannya Ilmu Pengetahuan itu tidak hanya pada di ruang kelas, namun terletak pada objek yang kita amati dan kita pelajari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun