Mohon tunggu...
Andri Setiawan
Andri Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aku Membaca Maka Aku Ada

Kemampuan terbesar manusia adalah bergosip dan berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akulturasi Budaya Bangsa Arab sebagai Bangsa "Jahiliyah"

26 April 2021   08:43 Diperbarui: 26 April 2021   09:46 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini, jika anda membicarakan Islam artinya anda juga membicarakan Timur tengah termasuk negara-negara di dalamnya. Hal ini disebabkan identifikasi dari Timur tengah adalah negara-negara basis Islam, meski tidak sinonim sulit memisahkan pembahasan antara keduanya, karena Islam berkembang di wilayah Timur tengah dan keemasan Islam pada masa lampau terletak di wilayah-wilayah Timur tengah. Tetapi menilai kebenaran ajaran Islam dan kemajuannya pada Timur tengah tentu bukan penilaian yang tepat, karena Islam tidak hanya berkomunikasi dengan bangsa Timur tengah, Islam berkomunikasi dengan bangsa manapun dan melakukan sebuah proses akulturasi budaya yang sangat menarik. Islam membaur dengan budaya Persia Iran, membaur dengan peradaban Mesir kuno, berkomunikasi dengan kekuatan Mesopotamia kuno di dataran rendah Irak atau berkonsultasi dengan Hellenisme yang disebarkan Alexander Agung dan melebur mendekati Eropa bersama pemikiran Yunani. 

Peleburan budaya dan akulturasi ini takkan pernah terrealisasi tanpa kekuatan Bangsa Arab. Islam takkan pernah berjaya dan mencapai masa keemasan jika Bangsa Arab memilih untuk mengeksklusifkannya. Ekspansi Islam keluar dari Jazirah Arab dan merambah wilayah-wilayah lainnya berhasil mempopulerkan Islam dan ajaran-ajarannya serta berhasil menunjukkan identitas Bangsa Arab. 

Tetapi masa lalu bangsa Arab sebagai bangsa Jahiliyah cukup menghantui penilaian-penilaian di luar Arab terhadap bangsa Arab itu sendiri. Kondisi Bangsa Arab sebelum Islam datang, dikisahkan merupakan Bangsa Jahiliyah, bangsa yang seakan-akan tidak punya norma dan aturan. Bangsa yang seakan-akan tidak punya intelektualitas dan berada dalam titik nadir.

Adalah Abdurrahman al-Bazzaz yang dengan lantang menyatakan bahwa kondisi jahiliyyah yang digambarkan sejarahwan dengan kondisi yang begitu nista tersebut adalah kesalahan besar, gambaran keburukan- keburukan yang bertubi-tubi dengan maksud mengagungkan dan menunjukkan kehebatan Nabi itu terlalu didramatisir. Akibatnya, setelah Nabi Muhammad wafat, bangsa lain dapat dengan mudah menyerang bangsa Arab dan menuding sebagai bangsa yang tidak beradab.

Al-Bazzaz bahkan beranggapan bahwa penulisan sejarah tersebut ditulis oleh orang-orang Persia untuk melegitimasi politiknya, yang didasari oleh semangat golongan (shu'ubiyah), yaitu suatu gerakan dari orang-orang muslim non Arab untuk menangkal kecenderungan Arabisasi. Perlu diketahui dalam sejarah politik Islam, ada semangat-semangat primordialisme yang melakukan tarik-menarik untuk menguasai pemerintahan. Semangat primordialisme suku Quraisy yang diwakili oleh Dinasti Abbasiyah, primordialisme Arab non Quraisy yang diwakili oleh kekuatan keluarga Bani Umayyah, dan di luar Arab, muncul kekuatan Persia dan juga kekuatan Turki. 

Kemajuan dinasti Abbasiyah di awal periode pemerintahannya yakni sekitar tahun 132 H/750 M sampai dengan 232 H/ 945 M, berada dalam pengaruh Persia. Pengaruh ini didapat melalui pernikahan asimilasi antara bangsa Persia dan Arab, Juga karena ibu kota pemerintahan terletak di Baghdad dekat Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Adapun Dinasti Turki Utsmani menurut Bernard Lewis merupakan dinasti terakhir Islam, dalam hal ini dinasti dimaknai dengan kepemimpinan atas nama Khalifah atau Sultan yang berbentuk monarchi. Setelah Turki praktis dunia kekuasaan Islam terpecah belah menjadi dinasti-dinasti kecil atau menjadi Negara-negara berdaulat dengan sistem pemerintahan yang berbeda dengan dinasti.

Khilafah merupakan salah satu tema pokok yang dikaji dan diperbincangkan. Bahkan, wacana khilafah telah menjadi topik khusus yang diperdebatkan di kalangan politisi hingga saat ini. Pengusung gerakan Khilafah selalu dianggap sebagai kelompok radikal, ekstremis, atau fundamentalis yang anti-nasionalis dan anti demokrasi. Khilafah dipandang sebagai ancaman terhadap kekuasaan negara-negara bangsa. Hal ini dapat dimaklumi karena institusi Khilafah Islamiyah atau Kerajaan Allah adalah institusi kekuasaan yang trans-nasional, rahmatan lil 'lamn. Ketakutan dan kecurigaan terhadap konsep Khilafah muncul akibat gagal memahami Din Al-Islam dan gagal memahami ayat-ayat Allah tentang Khilafah. Mereka --orang-orang yang fobia Khilafah, berpandangan bahwa Islam adalah sebuah agama yang tidak mengatur soal politik (kekuasaan). Mereka menyangka Al-Quran tidak berbicara soal politik (kekuasaan) dan tidak ada penjelasan rinci tentang tata aturan bernegara di dalamnya.

Mereka berpandangan sekuler dalam melihat hubungan Islam dan kekuasaan (negara). Dalam pemikiran politik Islam, sejak zaman klasik hingga zaman modern, berkembang tiga paradigma tentang relasi agama (Islam) dan politik (negara; khilafah). Pertama, kesatuan konsep agama (Islam) dan politik (negara; khilafah). Islam dipandang sebagai agama dan politik sekaligus atau yang sering disebut dengan ungkapan, "Islam adalah agama dan negara" (al-Islm dn wa daulah). Kelompok ini melihat Islam sebagai dn totalitas --dalam pengertian meliputi segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik (kekuasaan). Khilafah adalah institusi politik dan keagamaan sekaligus. Kedua, agama (Islam) dan politik (dalam wujud negara) memiliki hubungan simbiosis, yakni berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Ketiga, bersifat sekularitas. Paradigma ini menolak, baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiosis antara agama dan khilafah atau negara. Islam dan politik adalah dua aktivitas yang terpisah dan tidak ada relasi di antara keduanya. Paradigma ini memandang tidak adanya aturan baku soal teori negara dan sistem kekhalifahan dalam Islam, sembari mengingkari fakta-fakta sejarah peradaban Islam dan menolak pendasaran negara pada Islam (negara Islam).

Seperti halnya al-Bazzaz, Muhib al-Din al-Khatib seorang muhaqqiq dan penulis syarh buku-buku Islam klasik berpandangan bahwa bangsa Arab memang berada dalam kondisi "jahiliyyah", tetapi mereka juga punya peradaban. Untuk memperkuat asumsinya ini, al- Khatib mengutip hadis oleh Bukhari; Rasulullah bersabda, "Kamu mendapati manusia itu seperti barang; mereka yang terbaik pada masa jahiliah adalah juga yang terbaik pada masa Islam, kalau mereka mengerti". Yang dapat dipahami dari sabda Nabi itu ialah bahwa orang-orang Arab itu memang memiliki kualitas yang tinggi, bagaikan seperti emas, sehingga jika mereka berharga sebelum, maka mereka pun berharga pula sesudah Islam. Kemudian al- khatib menjelaskan, tidak dapat diragukan bahwa Bangsa Arab adalah penyembah berhala. Tetapi, mana dari kalangan bangsa-bangsa yang ada pada waktu Islam muncul, yang bukan penyembah berhala dalam berbagai pengertiannya? Bahkan sesungguhnya orang-orang Arab adalah yang paling akhir menjadi penyembah berhala. 

Adapun sebelum menyembah berhala, al-Khatib berpendapat bahwa bangsa Arab menganut faham al-Hanifiyyah, yakni ajaran monotheisme Arab peninggalan Nabi Ibrahim. Sedangkan praktek menyembah berhala yang terjadi kemudian pada mereka itu tidak menghasilkan kuil, pendeta atau pun benda-benda ornamental keagamaan, sehingga dari kalangan semua bangsa di muka bumi orang-orang Arab itulah yang paling dekat kepada agama fitrah. Karena itulah mereka berhak atas pujian Tuhan kepada mereka dalam surah al-Baqarah ayat 143, "Demikianlah Kami jadikan kamu sekalian ini golongan penengah, agar supaya kamu menjadi saksi atas sekalian ummat manusia, sebagaimana Rasul menjadi saksi atas kamu ..."

Wincler-Caetani mengatakan bahwa Jazirah Arab hakikatnya adalah daerah yang subur dan merupakan tanah air pertama bangsa Semit. Namun setelah ribuan tahun, kekeringan melanda daerah tersebut dan menyebabkan timbulnya krisis kelebihan penduduk tanpa hasil alam yang mencukupi, konsekuensinya berulang kali terjadi keadaaan saling serbu antar negeri tetangga suku bangsa Semit ini. Krisis-krisis ini yang mendorong bangsa Syria, Aramaik, Kan'an dan bangsa Arab sendiri memasuki daerah 'bulan tsabit yang subur'. 

Jadi, bangsa Arab menurut Wincler dalam sejarahnya, adalah residu dan tidak terpisahkan dari proses invasi besar-besaran yang terjadi di masa lalu. Beberapa bukti yang membenarkan teori Wincler ini menurut Bernard Lewis adalah ditemukan sejumlah bukti dalam bentuk saluran air yang telah mengering dan tanda-tanda kehidupan di wilayah tersebut di masa lalu. 

Ira M. Lapidus menuturkan bahwa secara keseluruhan kini, hanya sedikit saja wilayah di Arabia merupakan wilayah yang subur, sebagian besar daerah merupakan wilayah yang sangat gersang dan tandus. Dan bangsa Arab yang hidup di beberapa wilayah subur menjalin pola kebersamaan politik, kesamaan keyakinan, hubungan ekonomi dan perdamaian dengan masyarakat sekitarnya. Philip K. Hitti mengemukakan bahwa wilayah padang tandus Arabia merupakan cikal bakal lahirnya masyarakat Badui yang mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat nomaden.

Tradisi nasional Bangsa Arab membagi bangsa itu menjadi dua cabang yakni Arab Utara dan Arab Selatan. Pemisahan wilayah itu secara geografis oleh gurun tanpa jejak ke dalam wilayah utara dan selatan terungkap dalam karakter orang-orang yang mendiami masing- masing wilayah itu. Menurut Lewis Bahasa Arab saat ini adalah Bahasa Arab Selatan yang banyak dipengaruhi dari Bahasa Etiopia, kebanyakan penduduk Arab selatan adalah bangsa penetap. Salah satu kehebatan yang diketahui berasal dari Arab Selatan adalah kerajaan Saba', wilayah ini menurut Lewis juga pernah berada dalam kekuasaan Persia. Suku Badui diyakini merupakan orang-orang dari Arab Utara, karena tempat subur dan pertanian adalah wilayah Arab Selatan. Orang-orang Badui menunggang unta dan secara musiman berpindah-pindah untuk mencari padang rumput yang hijau. Mereka memperlengkapi karavan dengan binatang, juru penunjuk dan pengawal. Mereka menghabiskan musim gugur dengan bertahan di padang pasir dan ketika terdapat tanda-tanda turun hujan pertama, mereka berpindah untuk mencari padang rumput. Pada musim panas mereka biasanya memasang tenda-tenda di dekat kampung dan oasis, di tempat ini mereka menukar produk ternak untuk mendapatkan padi, kurma, perkakas rumah tangga, senjata dan pakaian. 

Bagi masyarakat kuno, Imperium melambangkan wilayah peradaban. Fungsi Imperium adalah untuk mempertahankan peradaban mereka dari serangan pihak luar, "barbarian" dan untuk mengasimilasikan mereka ke dalam lingkungan budaya yang lebih besar. Imperium memerintahkan sumpah setia disebabkan mereka adalah sebuah koalisi masyarakat budaya untuk mengusir kegelapan. Kesetiaan yang ditujukan untuk seorang raja yang diyakini merupakan titisan dewa. Penguasa adalah agen Tuhan, penghubung antara alam dunia dan alam surgawi yang ditunjukan Tuhan untuk menjamin kesejahteraan hidup warganya dan secara magis menata kehidupan semesta agar terhindar dari kekacauan.

Imperium-imperium ini melahirkan kerajaan-kerajaan besar atau kecil yang secara silih berganti terbentuk tetapi kemudian tenggelam. Perkembangan yang menentukan imperium dan peradaban kerajaan seirama dengan transformasi keagamaan. Terbentuk kepercayaan terhadap dewa-dewa yang didefinisi untuk kebutuhan masyarakat terhadapnya. Dewa-dewa masyarakat Timur tengah merupakan dewa-dewa keluarga, suku, kampung dan dewa kota, tetapi lantaran pertumbuhan hubungan antar masyarakat, muncullah dewa universal yang diakui bersama.

Seluruh dewa ini dideskripsikan melalui materi-materi di alam, beberapa mendeskripsikan melalui patung-patung berhala dan beberapa lainnya seperti Zorostrian, Manicheanisme dan Mazdaisme menunjuk Matahari, Api dan Bulan sebagai deskripsi dewa mereka. 

Di sisi lain, terdapat masyarakat-masyarakat keagamaan monotheisme, yang memuja Tuhan dalam arti satu dan esa. Judaisme dan Nasrani merupakan agama yang diminati Imperium Bizantium, yakni sekitar wilayah lraq. Namun, ide monotheisme tetap melahirkan deskripsi-deskripsi lain yang berkaitan dengan penghubung dunia dan Tuhan seperti konsep trinitas yang diyakini sebagai upaya pembebasan diri, melalui keimanan pada Kristus sebagai Tuhan Esa.

Dan Arabia, menjelang era Islam merupakan wilayah yang mengisolasikan diri dari hiruk-pikuk kerajaan dan Imperium. Arabia bertahan hidup menjadi penggembala di saat wilayah Imperium menjadi masyarakat agrikultur, Arabia benar-benar terasing dari wilayah pergaulan meski mereka bergaul bersama masyarakat Timur tengah. Arabia hidup dengan ras dan primordialisme, mereka terdiri dari berbagai suku, dan Quraisy adalah suku terhormat di kalangan mereka. 

Tidak ada kerajaan kecil atau bahkan Imperium yang mengatur arah kepemimpinan dan peradaban mereka. Maka, tak pelak lagi, peperangan dan adu kekuatan antar suku seringkali terjadi.

Makkah merupakan kota suci di Arabia, dan hanya Makkah yang menentang trend perpecahan politik dan social, dan tetap memperhatikan urusan social dan ekonomi. Ka'bah adalah pusat ekonomi Makkah, karena menjadi tujuan penziarahan (haji) tahunan, maka Makkah menjadi pusat penyimpanan berbagai macam berhala dan dewa-dewa kesukuan dari penjuru wilayah jazirah ini. Masa haji ini menjadi semacam perayaan karena ekonomi bergeliat dan memakmurkan kota makkah. 

Namun, bersamaan dengan semakin pesatnya kekuatan ekonomi, gerakan perdagangan mulai disabotase 'bajak laut' sehingga para penguasa menggunakan jasa orang-orang Badui yang telah dikenal ketangguhannya. Secara perlahan masyarakat Badui memasuki wilayah social-ekonomi dan kekuatan politik Arab. Secara perlahan pula beberapa kebudayaan Badui menjadi bagian dari kebudayaan Arab. 

Ouraisy adalah elemen sentral kota Mekkah, mereka terdiri i m '.ekolompok saudagar bisnis yang aristokratis, bankir, pedagang dan wiraswasta. Di sisi lain, terdapat pula Ouraisy of the Outsider mereka adalah kelompok Badui diluar suku Ouraisy yakni sejumlah penduduk kecil, terdiri dari pedagang-pedagang, kelompok proletar, atau orang-orang Badui nomaden. 

Daya tahan dan ketangguhan orang-orang Badui yang sangat tinggi ini adalah mental orang-orang Arab. Sebagai suku yang hidup berpindah-pindah, seorang Arab dan seorang Badui khususnya adalah seorang demokrat tulen. Mereka memandang bahwa semua masyarakat atau setiap orang yang ditemuinya adalah sama, tidak ada kasta atau perbedaan dalam memandang orang lain. Namun, di saat yang sama, mereka sering menjadikan diri mereka Aristokrat, beranggapan bahwa mereka adalah yang terbaik dan hasil penjelmaan yang sempurna. Gaya aristokrat ini memicu mereka untuk memamerkan silsilah mereka sampai dengan Nabi Adam. 

Kebanggaan terhadap silsilah ini adalah bagian patriarkal mereka, termasuk di dalamnya pandangan sebelah mata terhadap wanita. Wanita tidak punya daya dan kuasa, ia bak budak dan hidup diantara poligami, la tak berhak meminta dan menuntut, suami adalah penguasa tunggal. Namun, wanita diizinkan untuk meninggalkan suaminya apabila ia diperlakukan tidak semestinya. Artinya, dalam kebebasan terbatas, bangsa Arab tidak dapat dikatakan telah 'sangat' semena-mena. Mereka tetap menunjukkan rasa hormat pada wanita meski dalam skala kecil. 

 

Hakikatnya, Bangsa Arab adalah bangsa yang unik, bertahan diantara padang tandus dan membangun komunikasi yang baik untuk mencapai kesatuan sebagai sebuah clan dan membesar menjadi suku. Bangsa ini telah belajar banyak tentang nasionalisme, kasih sayang bahkan persatuan dan kesatuan. Bangsa Arab juga telah memiliki kompetensi di bidang ekonomi serta pemahaman yang baik tentang Tuhan meski dengan cara yang berbeda. Adapun makna "jahiliyah" dalam hal ini, tidak dapat hanya disematkan pada Bangsa Arab, tetapi pada setiap kondisi saat itu. Dimana tak ada penyembah Tuhan monotheisme, kaum Nasrani dan Yahudi (ahlul kitab) menjadi terpinggirkan dan seluruhnya menyembah berhala atau dewa-dewa yang dideskripsikan melalui materi. Dan secara keseluruhan tidak ada data yang menunjukkan bahwa perempuan di wilayah lain memiliki posisi yang baik. Bahkan cerita kerajaan Saba' yang dikenal makmur oleh kekuatan konstruksi bendungannya Sadd Ma'rib merupakan pemerintahan yang terdapat di Arabia Selatan.

Dakwah Muhammad di Makkah kurang digemari penduduk diwilayah tersebut, tetapi menarik perhatian para pendatang yang setiap tahun berkunjung ke Makkah. Kepribadian Muhammad yang santun terlihat bak mutiara di tengah dekadensi moral yang melanda Makkah, dan penduduk Yatsrib merupakan salah satu pendatang yang kemudian membai'at diri menjadi pengikut Muhammad. 

Banyak faktor kegagalan dakwah terjadi di Makkah, penduduk Makkah tidak terbiasa menerima kepemimpinan atas nama individu, mereka selalu mengatasnamakan kelompok dengan banyak tokoh ulamnya. Adapun Madinah adalah wilayah yang telah memiliki struktur dan tatanan social yang baik. Madinah merupakan wilayah yang dekat dengan Arabia Selatan, penduduknya hidup dari pertanian.

Melalui Madinah, Muhammad melakukan langkah-langkah pembinaan umat sebagai "contoh" bagi keberlangsungan Islam selanjutnya. Disinilah lahir ideologi Islam dan secara perlahan menggeser 'ideologi' Badui. Islam juga mengilhami Bangsa Arab mengenai fungsi persatuan tanpa tersekat oleh suku, seperti peleburan Muhajirin dan Anshar. Menghapus tradisi Badui mengenai klan dan suku, Islam juga mengarahkan fungsi perang tidak untuk menghancurkan bangsa yang lemah dan melebihkan satu bangsa dengan bangsa lainnya tetapi untuk menjaga keamanan negara dan keselamatan umat.

Di Madinah Islam mendapatkan posisi terbaiknya sekaligus menemukan eksistensinya sebagai agama yang sempurna. Dengan demikian, perpindahan dari Mekkah ke Madinah bukan sekedar pindah tempat belaka, tetapi merupakan satu pemindahan tuntas merata yang mencakup seluruh sikap hidup, tata adab dan tata hukum yang penuh dengan Renaissance Spirit dan Spirit of Nationatism. Menuju pembentukan umat baru, yakni umat Islam dengan Islam sebagai pedoman kehidupan sosial masyarakat, politik dan arah ekonomi.

Seperti sebuah episiklus yang menjalin keterkaitan-keterkaitan ajaib di dalamnya, Islam lahir dan berkembang di Jazirah Arab dengan seni yang sempurna. Komunikasi Islam terhadap berbagai peristiwa bersama penduduk Makkah telah melahirkan asbab nuzul al-Qur'an dan asbab wurud hadis. Ayat-ayat Makkiyah menunjukkan perintah dalam bentuk "ajakan" tanpa sikap memerintah dan menggurui, sangat berhati- hati dalam merubah tradisi yang telah sekian lama tertanam. Tetapi di Madinah, Tuhan begitu keras mengingatkan dan menjelaskan setiap pokok permasalahan dengan solusi yang jelas tidak tawar menawar. 

Makkah adalah gambaran menjadi pendakwah di wilayah yang tidak mengenal Islam, gambaran bagaimana menjadi seorang pendakwah dengan penduduk berdaya fikir "seadanya" akibat telah bertahun-tahun terkungkung dalam kesalahan. Adapun Madinah adalah deskripsi mendidik orang-orang yang telah mengetahui benar dan salah, menunjukkan kewajiban bagi setiap muslim untuk bertanggung jawab terhadap dirinya, perbuatannya, lingkungannya bahkan negaranya dan juga pada dunia. Maka, Madinah adalah proyek percontohan yang berisi orang-orang shaleh, yang menjaga identitas keislaman dalam berbagai sisi. 

Karena Madinah sebuah percontohan, Madinah menjadi kota primadona dengan kedamaian, keteraturan dan kehidupan masyarakatnya yang tenteram nan damai. Kepopuleran Madinah mulai memukau para penduduk Makkah dan menegur kekeliruan mereka selama ini pada Muhammad. Secara perlahan, Islam mulai diakui di jazirah Arab khususnya Makkah, proses-proses penyadaran mewabah di Arab dan menggeser "ideologi badui" mereka. Melalui kota madani Madinah, Islam menunjukkan eksistensinya, yang diikuti dengan pengakuan Islam di seluruh jazirah Arab dan menjadi sebuah kekuatan kebenaran yang menakjubkan. 

Dilandasi semangat keagamaan, bangsa Arab tergerak untuk membangun Imperium, melakukan ekspansi sampai ke benua Eropa. Secara realistis, meski bukan penentu peradaban Islam karena sulit sekali menemukan periode kemodernan keilmuan dalam kehidupan bangsa Arab. Bangsa Arab merupakan tokoh utama yang memperkenalkan Islam terhadap dunia. Kontribusi terbaik bangsa Arab adalah bahasa, penyampaian bahasa dan kekuatan sya'ir Arab menjadi daya tarik tersendiri yang kemudian menjadi sangat agung karena al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Artinya walau tidak ditemukan kekuatan keilmuan baik astronomi, filsafat, dan tata administrasi hukum dari sejarah semenanjung Arabia, tetapi selalu ditemukan konsep-konsep kebahasaan yang pada akhirnya mampu memberi implikasi yang signifikan dalam proses persatuan dan penyebaran Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun