Jong Islamieten Bond (JIB) adalah sebuah organisasi pemuda Islam yang didirikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Pada awal abad ke-20, terjadi kebangkitan nasionalisme di Indonesia yang memunculkan berbagai organisasi pergerakan. Di sisi lain, juga muncul kesadaran untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni dan menolak pengaruh budaya Barat yang dianggap merusak. Pemuda pada masa itu mulai menyadari pentingnya peran mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan dan perubahan sosial. Mereka ingin memiliki wadah untuk mengekspresikan aspirasi mereka, terutama yang berkaitan dengan keislaman dan kebangsaan.
Sebelum terbentuknya JIB, sudah ada beberapa organisasi Islam seperti Sarekat Islam yang menjadi inspirasi bagi pembentukan organisasi yang lebih fokus pada pemuda.Adanya diskriminasi dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia, termasuk umat Islam, memicu semangat untuk berorganisasi dan melawan ketidakadilan.
JIB didirikan pada 1 Januari 1925 oleh sekelompok pemuda Muslim dengan tujuan utama untuk membina dan mengembangkan potensi pemuda Muslim, baik dalam aspek keagamaan, sosial, maupun politik. Mereka juga bertujuan untuk memupuk semangat persatuan dan kesatuan di kalangan pemuda Muslim serta memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia dalam rangka mencapai kemerdekaan.
Jong Islamieten Bond (JIB) memainkan peran penting dalam pergerakan nasional Indonesia pada masa penjajahan Belanda. JIB berfokus pada pembinaan dan pengembangan pemuda Muslim. Mereka memberikan pendidikan dan pelatihan dalam bidang keagamaan, sosial, dan politik, yang membantu membentuk generasi pemimpin yang sadar akan identitas keislaman dan kebangsaan mereka.JIB turut menyebarkan semangat nasionalisme di kalangan pemuda Muslim. Mereka mengajarkan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam melawan penjajahan serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Anggota JIB aktif berpartisipasi dalam Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, yang menyatakan tekad para pemuda untuk bersatu dalam satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia.
Melalui berbagai aktivitas dan peran tersebut, JIB berhasil membentuk kader-kader pemuda yang bersemangat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan memajukan umat Islam di tanah air. Berikut "Peran Jong Islamieten Bond sebagai Bagian dari Organisasi Pemuda Islam Dalam Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1925-1942"
1. Menggagas Nasionalisme Indonesia
Pandangan JIB mengenai nasionalisme atau jati diri bangsa adalah para intelektual muda muslim mempunyai pandangan yang lebih luas mengenai kebangsaan dan mengemban tugas berjuang tidak hanya  untuk tanah airnya (di mana Islam menjadi agama mayoritas penduduknya) namun juga untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. Inilah jiwa  organisasi JIB,  Islam dan kebangsaan atau patriotisme harus berjalan beriringan dan tidak bisa dipisahkan. Yang diharapkan JIB adalah JIB dapat menjadi organisasi yang dapat menjadi wadah pemersatu generasi muda Indonesia, karena basisnya menawarkan kemungkinan yang lebih luas dibandingkan dengan  organisasi daerah lainnya (Ridwan Saidi. 1990: 23).
Konsep nasionalisme pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kohn, nasionalisme adalah kesetiaan tertinggi terhadap tanah air dan bangsa. Hal ini sangat bertentangan dengan agama Islam. Dalam agama Islam, kesetiaan terbesar hanya  kepada Tuhan. Salah satu topik yang menjadi perbincangan hangat pada tahun 1920-an adalah nasionalisme atau cinta tanah air. JIB yang berbasis Islam dianggap tidak memiliki nasionalisme (Darmansyah, dkk. 2006: 49).
JIB mencoba mencari hubungan  antara kedua belah pihak dengan merumuskan nasionalisme sebagai cinta tanah air, tetapi  juga cinta umat Islam di luar negeri dan cinta seluruh umat manusia. Seorang muslim mengakui bahwa membela tanah air dan membantu negara adalah  amal yang wajib dilaksanakan.
Seorang muslim mempunyai tugas yang sulit untuk mencari  kekuatan jiwa, raga, harta dan jiwa untuk membebaskan negaranya dari segala  belenggu tanpa mengharapkan gaji atau mencari ketenaran yang besar. JIB menolak konsep nasionalisme yang hanya mengedepankan rasa cinta tanah air dan menawarkan alternatif  nasionalisme sekuler dengan nasionalisme Islam. Hanya melalui Islam, kontak yang hilang antara kaum intelektual dan masyarakat dapat dibangun kembali. Jawanisme Jong Java dalam hal ini dinilai kurang tepat. Nasionalisme tanpa dasar agama bisa berbahaya, seperti nasionalisme yang dikembangkan oleh Hitler yang memulai perang dunia (Darmansyah, dkk. 2006: 50-51).
Pada Kongres JIB ke-4  di Bandung, 22-25 Desember 1928, dibahas secara khusus  nasionalisme. JIB selalu diserang, seringkali di bawah arahan organisasi keagamaan Indonesia. Penyerangan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pihak asing saja namun juga dilakukan oleh pihak Indonesia sendiri. Dalam hal ini, Wiwoho (Ketua JIB), membedakan tiga arah perkembangan umat Islam yang telah beranjak dewasa, yaitu mereka yang mengabdi hanya  kepada Tuhan, mereka yang mengabdikan diri pada pekerjaan sosial, dan mereka yang menggunakan Islam dalam arti politik. Wiwoho juga berkata dengan tegas, "Nyala nasio na lisme merupakan ancaman bagi kita". Dengan mengutip sebuah ayat Al-Qur`an, pembicara berkata, Islam memuji nasionalisme namun dengan internasionalisme sebagai latar belakangnya. Nasionalisme ini tidak akan bangkit menjadi kebencian atau perjuangan, melainkan mengarah pada kasih dan pengertian. Bukan nasionalisme yang akan mengarah pada perpecahan atau permusuhan atau hubungan kolonial, yang selalu bertentangan dengan kata-kata dalam Al-Qur'an: "Kami menyatukan kalian dalam suku dan bangsa agar kalian bisa saling mengakui dan mengenali" (Darmansyah, dkk. 2006: 52-53).
Upaya nasional ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan  kemandirian bagi semua bangsa dengan tujuan keharmonisan internasional. Sudah menjadi kewajiban setiap umat Islam untuk berupaya menempatkan nasionalisme pada jalur yang benar. Sebagai pemimpin negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga keharmonisan antar bangsa, kita harus memahami jiwa dan semangat masyarakat. Kewajibannya adalah percaya penuh pada kekuatan diri sendiri untuk melaksanakan perjuangan nasional. Tidak ada nasihat dari luar, tidak ada intervensi asing.
Setelah menyinggung kesulitan besar khususnya finansial sepanjang tahun ini, Wiwoho selaku Ketua JIB menyimpulkan dengan menyatakan bahwa keempat cabang tersebut telah saling bekerjasama dan kini telah memiliki 2.500 Â anggota (Darmansyah, dkk. 2006: 53).
Menyangkut masalah yang berkaitan dengan kelompok nasionalis Indonesia, JIB tidak akan tertarik sedikitpun Menanggapi masalah nasionalisme tersebut di kalangan anggota JIB muncul pernyataan, Orang Indonesia yang mengaku nasionalisme itu sebetulnya kurang mengetahui kepentingannya bersatu di bawah Islam. Prof. Snouck Hurgronje sendiri menyatakan bahwa bahaya yang mengancam Pemerintahan Belanda adalah jika rakyat Indonesia bersatu dalam Islam. Nasionalisme tanpa Islam di Indonesia tidak akan merugikan kerajaan Belanda, karena hanya akan berdampak pada bangunan-bangunan di kota-kota besar saja, itupun belum semuanya.
Petani, nelayan, dan masyarakat luar kota tentu tidak akan tertarik dengan nasionalisme sekuler. Gerakan nasional yang netral secara agama tidak mungkin terjadi di Indonesia. Suatu gerakan harus mempunyai landasan ketahanan, kemauan mengorbankan kesenangan dan dunia. Orang yang tekadnya didasari oleh satu faktor saja adalah keyakinan terhadap agama. Bagi Indonesia, fondasinya adalah Islam. Kemenangan hanya dapat diraih melalui persatuan  bangsa Indonesia melawan penjajah.
2. Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ)
Â
Pada masa kepemimpinan JIB Wiwoho, dibentuklah tim pengintai JIB yang disebut Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ). Selain organisasi kepemudaan, kepanduan juga menjadi pilar penting gerakan kepemudaan. Mereka berpartisipasi aktif dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan gerakan pemuda. Organisasi pengintai tertua adalah Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) yang didirikan di Surakarta pada tahun 1916 oleh S.P. Mangkunegoro VII dan digunakan sebagai tempat latihan dan pembinaan prajurit dan personel Mangkunegaran.
Untuk mendidik anak tentang Islam perlu dibentuk forum tersendiri. Terdorong untuk mewujudkan gagasan tersebut, Kasman, pengurus JIB cabang Batavia, mendirikan organisasi pengintai di dalam JIB dengan nama Batavia Nationale Indonesiasische Padvinderij (NATIPIJ). Menurut Kasman, pendidikan anak di bawah 14 tahun tidak boleh diabaikan. Tentu saja, pendidikan anak-anak tidak tercakup dalam undang-undang JIB (AD) karena keanggotaan JIB diprioritaskan kepada pelajar Muslim yang lebih tua. Bagi Kasman, organisasi kepanduan harus menciptakan rasa persatuan dalam berbangsa dalam ketaatan Islam, sekaligus membangun rasa cinta kepada Allah dan agama-Nya (Darmansyah, dkk. 2006: -55). Ketika JIB mendirikan Pramuka (NATIPIJ), ketua umum pertama adalah Mohammad Roem. Sidang Umum NATIPIJ yang pertama berlangsung pada tanggal 24 Desember 1929. Tuan Sjuaib, guru besar agama HIS di Batavia, mengawali dengan membaca Al-Qur'an dan membahas NATIPIJ. KemudiN dengan harapan kelangsungan hidup NATIPIJ adalah :
- Mendidik anggota sebagai Muslim yang taat sehingga bisa membawa warganya menuju kesejahteraan yang lebih tinggi;
- Memperbaiki kondisi sosial dan kesatuan antar-klas. Perkembangan bisa berlangsung semakin jauh dari rakyat dan kita tidak bisa melangkah lebih jauh tanpa kerjasama antara kelompok cendekiawan dengan rakyat. Ketakutan dari kaum cendekiawan bahwa Islam akan berarti penolakan terhadap pendidikan, dianggap tidak berdasar oleh pembicara. Sebaliknya, Islam mengajarkan kemandirian;
- Cintailah Islam dengan penuh penghormatan kepada agama lain seperti yang dituntut oleh Islam. Pembaca berkata tidak bisa dibantahkan bahwa kita apabila diserang harus menolak serangan itu juga harus membalasnya;
- Lakukan sembahyang, puasa, dan lainnya juga oleh kalangan intelektual kita;
- Perbaiki hubungan dengan kelompok lain di Indonesia atas dasar Islam (Darmansyah, dkk. 2006: 56).
Berdasarkan gerakan NATIPIJ diatas dapat disimpulkan bahwa gerakan NATIPIJ tidak hanya menggunakan Anggaran Dasar dan Peraturan Daerah (AD/ART) saja tetapi juga menggunakan Al-Quran sebagai pedomannya.
Pada kesempatan kongres ini, Mohammad Roem, Presiden NATIPIJ, menyampaikan tentang cita-citanya untuk kebaikan, menyampaikan laporan tentang NATIPIJ dan juga menceritakan banyak hal baik serta kesulitan keuangan besar yang dialami anggota NATIPIJ. Sementara itu, Tjaja berbicara mengenai Komite Informasi Pemagangan. Bagi para orang tua yang belum pernah mengenyam pendidikan di Barat, sulit menilai pendidikan Barat bagi anak-anaknya yang sudah pindah dari Barat. Namun ada kemungkinan untuk mendidik rakyat tanpa membedakan orangtua. Komisi ini memberikan informasi tentang:
- Pendidikan Barat di Hinda
- Pendidikan Barat di Belanda
- Pendidikan Timur di Hindia
- Pendidikan agama, yakni berupa sekolah calon guru Muhammadiyah
- Pendidikan Timur di luar Hindia
- Biaya dan tempat tinggal
Dalam perjalanannya, terbukti bahwa komisi ini belum banyak melakukan tugasnya. Surowijono mengatakan bahwa hanya iman yang mampu memberikan kekuatan batin Kepanduan harus memberikan kesibukkan kepada anak-anak yang sering nampak berkeliaran di jalanan kota". Sedangkan Kasman menyatakan, "Penggunaan bahasa Belanda dalam JIB bertujuan untuk menjangkau dan menarik kaum intelektual agar dekat dengan Islam, cara terbaik menuju kesatuan Indonesia". Organisasi kepanduan ini menjadi sarana penting untuk mendidik para pemuda agar menjadi manusia yang mandiri dan bersifat nasionalis dengan perasaan bagi persaudaraan intemasional serta tidak bisa bersifat nasionalis dengan kebencian namun harus dengan menghargai bangsa hin.
Dalam rapatnya tanggal 25 Desember 1928, pimpinan pusat menyatakan bahwa NATIPIJ harus ditata ulang dan mencakup kantor pendidikan, kantor teknis, kantor redaksi, dan tempat pelatihan. Komisi Urusan Perempuan akan membuka cabang (Darmansyah, dkk. 2006: 59). Keinginan untuk mempersatukan seluruh organisasi Pramuka Indonesia saat itu bermula dari berdirinya Persaudaraan Pramuka Indonesia (PAPI), yang merupakan federasi Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP, NATIPIJ dan PPS, pada tanggal 23 Mei 1928.
Namun hal ini Federasi ini tidak bertahan lama karena pada tahun 1930 berdirilah Gerakan Pramuka Nasional Indonesia (KBI), yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Jong Java Padvinders/Padu Kebangsaan (JJP/PK), INPO dan PPS (Jong Java Pavinderij/JJP); Panduan Nasional (PK). Sedangkan PAPI kemudian menjadi badan pusat Persaudaraan Pramuka Indonesia (BPPKI) pada bulan April 1938. Antara tahun 1928 dan 1935, muncul gerakan kepanduan Indonesia, terutama yang bersifat nasional dan keagamaan. Pramuka yang berjiwa kebangsaan antara lain Pandu Indonesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK), Sinar Pandu Kita (SPK) dan Pramuka Rakyat Indonesia (KRI). Sedangkan agamanya adalah Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathon, Pimpinan Islam Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organization (IPO), Tri Darma (Kristen), Pramuka Katolik Indonesia (KAKI), Pramuka Muslim Indonesia (KMI). Dalam upaya meningkatkan persatuan dan kesatuan, Badan Pusat Persaudaraan Pramuka Indonesia (BPPKI) merencanakan Jambore Indonesia.
3. Meningkatkan Derajat Pendidikan
Dalam upaya meningkatkan standar pendidikan, JIB menyelenggarakan kursus di setiap cabang. JIB menyelenggarakan pemberantasan buta huruf. Ada cabang yang menyelenggarakan kelas untuk anggotanya setiap hari. Anggota memilih bidang kursus yang sesuai dengan minat mereka. Mengenai bahasa, ditawarkan kursus misahya, Inggris, Belanda dan Arab (Darmansyah, dkk. 2006 63). Selain itu, JIB juga menggalang dana untuk beasiswa. Dana yang dihimpun JIB dikelola untuk didistribusikan di bursa efek oleh organisasi yang terafiliasi dengan JIB bernama Algemeene Steunfonds (Darmansyah, dkk. 2006: 65).
Tanpa putus asa menghadapi tantangan yang ada, mereka berusaha mendirikan sekolah dengan sistem dan metode yang meniru sekolah yang didirikan pemerintah Belanda, namun tetap menjaga semangat dan isi pendidikan Islam. Tujuannya adalah untuk mempertemukan masyarakat dan mendidik mereka sesuai dengan kebutuhan zaman dengan memasukkan banyak mata pelajaran non-agama ke dalam kurikulum sekolah. Mereka berusaha menghilangkan segala macam tambahan yang melekat pada ajaran Islam yang menurut mereka tidak sesuai dengan dasar Alquran dan Hadits. Mereka menyerukan kembalinya ajaran dasar Islam (Deliar Noer.1987: 10). Menyaksikan prestasi Kasman yang berhasil meningkatkan keanggotaan JIB, pada Kongres ke-7 di Madiun pada bulan Desember 1931, Kasman terpilih kembali menjadi presiden JIB. Sepanjang tahun pemerintahannya, berbagai kegiatan dilakukan sesuai keputusan kongres, salah satunya adalah pendirian sekolah HIS di cabang JIB (Darmansyah, dkk.2006: 69).
Pada bulan Oktober 1931, JIB membangun sekolahnya di Tegal dan pada bulan November tahun yang sama, dibuka lagi sekolah HIS di Tanah Tinggi, Batavia. JIB bahkan berencana membangun percetakan (Ridwan Saidi 1990 31) JIB juga memiliki departemen informasi pendidikan bernama Centraal Commissie Studye Informatie Commissie (CCSIC) di setiap cabang.
CCSIC bertanggung jawab untuk memberikan informasi mengenai sektor pendidikan dan akomodasi, membimbing orang tua dalam memilih sekolah, memperkirakan biaya pendidikan dan memberikan beberapa bentuk bimbingan karir. Selain berlokasi di setiap cabang, CCSIC juga memiliki sekretariat pusat di Jalan Sabangan I No.33, Weltevreden. Ketua CCSIC adalah Johan Mohammad Tjaya (Darmansyah, dkk 2006: 64).
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7536/1/JAMALUDIN-FUF.pdf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI