Mohon tunggu...
Dinda DavinaWiditaputri
Dinda DavinaWiditaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa yg sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Jong Islamieten Bond sebagai Bagian dari Organisasi Pemuda Islam dalam Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1925-1942

30 Juni 2024   23:39 Diperbarui: 30 Juni 2024   23:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
buku perpustakaan nasional

Pada Kongres JIB ke-4  di Bandung, 22-25 Desember 1928, dibahas secara khusus  nasionalisme. JIB selalu diserang, seringkali di bawah arahan organisasi keagamaan Indonesia. Penyerangan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pihak asing saja namun juga dilakukan oleh pihak Indonesia sendiri. Dalam hal ini, Wiwoho (Ketua JIB), membedakan tiga arah perkembangan umat Islam yang telah beranjak dewasa, yaitu mereka yang mengabdi hanya  kepada Tuhan, mereka yang mengabdikan diri pada pekerjaan sosial, dan mereka yang menggunakan Islam dalam arti politik. Wiwoho juga berkata dengan tegas, "Nyala nasio na lisme merupakan ancaman bagi kita". Dengan mengutip sebuah ayat Al-Qur`an, pembicara berkata, Islam memuji nasionalisme namun dengan internasionalisme sebagai latar belakangnya. Nasionalisme ini tidak akan bangkit menjadi kebencian atau perjuangan, melainkan mengarah pada kasih dan pengertian. Bukan nasionalisme yang akan mengarah pada perpecahan atau permusuhan atau hubungan kolonial, yang selalu bertentangan dengan kata-kata dalam Al-Qur'an: "Kami menyatukan kalian dalam suku dan bangsa agar kalian bisa saling mengakui dan mengenali" (Darmansyah, dkk. 2006: 52-53).

Upaya nasional ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan  kemandirian bagi semua bangsa dengan tujuan keharmonisan internasional. Sudah menjadi kewajiban setiap umat Islam untuk berupaya menempatkan nasionalisme pada jalur yang benar. Sebagai pemimpin negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga keharmonisan antar bangsa, kita harus memahami jiwa dan semangat masyarakat. Kewajibannya adalah percaya penuh pada kekuatan diri sendiri untuk melaksanakan perjuangan nasional. Tidak ada nasihat dari luar, tidak ada intervensi asing.

Setelah menyinggung kesulitan besar khususnya finansial sepanjang tahun ini, Wiwoho selaku Ketua JIB menyimpulkan dengan menyatakan bahwa keempat cabang tersebut telah saling bekerjasama dan kini telah memiliki 2.500  anggota (Darmansyah, dkk. 2006: 53).

Menyangkut masalah yang berkaitan dengan kelompok nasionalis Indonesia, JIB tidak akan tertarik sedikitpun Menanggapi masalah nasionalisme tersebut di kalangan anggota JIB muncul pernyataan, Orang Indonesia yang mengaku nasionalisme itu sebetulnya kurang mengetahui kepentingannya bersatu di bawah Islam. Prof. Snouck Hurgronje sendiri menyatakan bahwa bahaya yang mengancam Pemerintahan Belanda adalah jika rakyat Indonesia bersatu dalam Islam. Nasionalisme tanpa Islam di Indonesia tidak akan merugikan kerajaan Belanda, karena hanya akan berdampak pada bangunan-bangunan di kota-kota besar saja, itupun belum semuanya.

Petani, nelayan, dan masyarakat luar kota tentu tidak akan tertarik dengan nasionalisme sekuler. Gerakan nasional yang netral secara agama tidak mungkin terjadi di Indonesia. Suatu gerakan harus mempunyai landasan ketahanan, kemauan mengorbankan kesenangan dan dunia. Orang yang tekadnya didasari oleh satu faktor saja adalah keyakinan terhadap agama. Bagi Indonesia, fondasinya adalah Islam. Kemenangan hanya dapat diraih melalui persatuan  bangsa Indonesia melawan penjajah.

2. Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ)

 

Pada masa kepemimpinan JIB Wiwoho, dibentuklah tim pengintai JIB yang disebut Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ). Selain organisasi kepemudaan, kepanduan juga menjadi pilar penting gerakan kepemudaan. Mereka berpartisipasi aktif dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan gerakan pemuda. Organisasi pengintai tertua adalah Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) yang didirikan di Surakarta pada tahun 1916 oleh S.P. Mangkunegoro VII dan digunakan sebagai tempat latihan dan pembinaan prajurit dan personel Mangkunegaran.

Untuk mendidik anak tentang Islam perlu dibentuk forum tersendiri. Terdorong untuk mewujudkan gagasan tersebut, Kasman, pengurus JIB cabang Batavia, mendirikan organisasi pengintai di dalam JIB dengan nama Batavia Nationale Indonesiasische Padvinderij (NATIPIJ). Menurut Kasman, pendidikan anak di bawah 14 tahun tidak boleh diabaikan. Tentu saja, pendidikan anak-anak tidak tercakup dalam undang-undang JIB (AD) karena keanggotaan JIB diprioritaskan kepada pelajar Muslim yang lebih tua. Bagi Kasman, organisasi kepanduan harus menciptakan rasa persatuan dalam berbangsa dalam ketaatan Islam, sekaligus membangun rasa cinta kepada Allah dan agama-Nya (Darmansyah, dkk. 2006: -55). Ketika JIB mendirikan Pramuka (NATIPIJ), ketua umum pertama adalah Mohammad Roem. Sidang Umum NATIPIJ yang pertama berlangsung pada tanggal 24 Desember 1929. Tuan Sjuaib, guru besar agama HIS di Batavia, mengawali dengan membaca Al-Qur'an dan membahas NATIPIJ. KemudiN dengan harapan kelangsungan hidup NATIPIJ adalah :

  • Mendidik anggota sebagai Muslim yang taat sehingga bisa membawa warganya menuju kesejahteraan yang lebih tinggi;
  • Memperbaiki kondisi sosial dan kesatuan antar-klas. Perkembangan bisa berlangsung semakin jauh dari rakyat dan kita tidak bisa melangkah lebih jauh tanpa kerjasama antara kelompok cendekiawan dengan rakyat. Ketakutan dari kaum cendekiawan bahwa Islam akan berarti penolakan terhadap pendidikan, dianggap tidak berdasar oleh pembicara. Sebaliknya, Islam mengajarkan kemandirian;
  • Cintailah Islam dengan penuh penghormatan kepada agama lain seperti yang dituntut oleh Islam. Pembaca berkata tidak bisa dibantahkan bahwa kita apabila diserang harus menolak serangan itu juga harus membalasnya;
  • Lakukan sembahyang, puasa, dan lainnya juga oleh kalangan intelektual kita;
  • Perbaiki hubungan dengan kelompok lain di Indonesia atas dasar Islam (Darmansyah, dkk. 2006: 56).

Berdasarkan gerakan NATIPIJ diatas dapat disimpulkan bahwa gerakan NATIPIJ tidak hanya menggunakan Anggaran Dasar dan Peraturan Daerah (AD/ART) saja tetapi juga menggunakan Al-Quran sebagai pedomannya.

Pada kesempatan kongres ini, Mohammad Roem, Presiden NATIPIJ, menyampaikan tentang cita-citanya untuk kebaikan, menyampaikan laporan tentang NATIPIJ dan juga menceritakan banyak hal baik serta kesulitan keuangan besar yang dialami anggota NATIPIJ. Sementara itu, Tjaja berbicara mengenai Komite Informasi Pemagangan. Bagi para orang tua yang belum pernah mengenyam pendidikan di Barat, sulit menilai pendidikan Barat bagi anak-anaknya yang sudah pindah dari Barat. Namun ada kemungkinan untuk mendidik rakyat tanpa membedakan orangtua. Komisi ini memberikan informasi tentang:

  • Pendidikan Barat di Hinda
  • Pendidikan Barat di Belanda
  • Pendidikan Timur di Hindia
  • Pendidikan agama, yakni berupa sekolah calon guru Muhammadiyah
  • Pendidikan Timur di luar Hindia
  • Biaya dan tempat tinggal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun