Bukan seperti itu, Nona.
Diamnya bukan berarti ia tidak terluka.Â
Mungkin niat Nona memotivasinya. Tapi terkadang ucapan yang keluar dari mulut Nona yang dianggap biasa saja itu, justru jadi pisau tertajam yang siap menghujam hatinya.Â
"Lantas, kenapa tak bilang saja kalau sakit hati, atau merasa tersinggung?"Â
Mungkin dia ingin bilang demikian. Mungkin ia sebenarnya ingin Nona tahu apa yang ia rasakan. Tapi mau bagaimana. Lelaki tetaplah seorang lelaki. Banyak berpikir. Mungkin pikirnya,Â
"Sudah diam saja. Daripada terlalu banyak mengeluh, nanti dia sebut aku pecundang."Â
"Sudah diam saja. Daripada banyak protes, nanti keseriusanku dipertanyakan."Â
"Sudah diam saja. Daripada banyak cakapku ini nantinya jadi alasan dia untuk berpaling."Â
Bukan begitu, Nona.
Lelakimu tidak buta, dia juga tidak tuli.
Dia tahu betul apa yang kamu inginkan. Dia tahu persis apa yang bisa membahagiakanmu. Tapi mau dikata apa, dia juga manusia.
Punya lelah, punya sedih, punya cacat sana sini.Â
"Tapi tak mengapa." Pikir lelaki Nona.
"Tak mengapa dia kurang menghargaiku kadang-kadang. Yang penting dia tahu kalau segala upayaku sudah yang terbaik untuknya. Segala peluh, air mata, darah sudah kutumpahkan untuknya. Aku sudah berpayah-payah demi kebahagiaannya. Yang penting ia sudah sadar akan hal itu, meski sadarnya kadang-kadang pula."Â
Mau bagaimana lagi, Nona. Lelaki memang makhluk hierarki. Ingin selalu dihargai dan dipahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H