"Siapa lagi kalau bukan Bumi. Kau tau sendiri aku mengelilinginya tiap waktu. Meski kita sama-sama tau kalau dia mengelilingi Matahari, laki-laki sempurna itu."
"Kau ini. Kau sudah gila, Bulan."
"Memang. Lalu kenapa? Kalau kau merasa terganggu dengan kegilaanku, aku minta maaf. Aku begini apa adanya. Tidak ada rekayasa. Hanya sedikit berusaha yang terbaik saja untuk Bumi. Itu saja."
"Kalau begitu, boleh aku membantumu untuk lepas dari kegilaanmu ini? Dengan cara menyampaikan isi hatimu misalnya."
"Kalau itu, terserahmu saja. Tapi pastikan, jangan membuat kalimat yang bisa jadi penyebab kesedihannya. Dan jangan memuji-mujiku dihadapannya. Kalau mau cerita, ceritalah dengan apa adanya."
"Baik. Tapi aku pikir-pikir lagi."
"Ya, terima kasih."
"Sampai kapan kau begini?"
"Aku tak tau. Jujur, kadang aku lelah. Aku butuh pembakar semangat. Tapi kadang Bumi hadir justru memadamkan semangatku dengan kalimat, "yasudah, aku begini apa adanya. Kalau kau lelah, pergi saja tak mengapa". Padahal dengan sedikit apresiasi saja, mungkin semangatku bisa lebih hidup lagi. Tapi tak mengapa, aku memakluminya. Kalau diingat keadaannya yang memang juga sedang menderita, aku tak mengapa diperlakukan seperti ini."
"Tapi pikirkan juga keadaanmu, Bulan. Kau juga sedang menderita, kan?"
"Ya, memang. Tapi tak mengapa. Aku hanya mengusahakan yang terbaik untuk Bumi. Masalah ada atau tidaknya balasan darinya, itu terserah. Tapi aku yakin, hal seperti ini kelak akan ada balasnya. Semoga dia sadar penuh kehadiranku, dan mencintaiku dengan penuh. Tanpa ada Matahari, dan manusia-manusia perusak Bumi itu lagi. Bahkan kalau dia memang mencari yang bersinar dan hangat, aku rela membakar diri untuk memenuhi permintaannya. Sungguh."