Mohon tunggu...
Roster Simanullang
Roster Simanullang Mohon Tunggu... -

Penulis dan Dosen di beberapa Sekolah Tinggi Teologi di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radikalisasi Kemoderenan

12 Oktober 2016   15:26 Diperbarui: 12 Oktober 2016   15:33 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan dunia dalam bidang teknologi informasi selama beberapa dekade terakhir sungguh pesat dan mencengangkan. Pada satu sisi kemajuan teknologi ini patut di syukuri karena telah menawarkan banyak kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun pada era digital ini telah menyisipkan sebuah ancaman besar yaitu terjadinya perubahan gaya hidup dan pola pikir masyarakat yang sangat radikal. Kehadiran gadget-gadget canggih masa kini berpotensi melunturkan nilai-nilai adat tradisional dan norma masyarakat, bahkan dapat melemahkan iman untuk sebagian orang. 

Setiap zaman tentu ada tantangannya, generasi sebelumnya memiliki tantangan dan harus beriteraksi dengan budaya zamannya. Saat ini kita berhadapan dengan budaya teknologi informatika. Kita hidup di tengah berbagai ketegangan sistem nilai dan lifestyle yang ada.  Intinya kita sedang berada dalam situasi kemoderenan yang sangat radikal yaitu situasi praksis yang mengisyaratkan berbagai krisis sosial budaya, agama, etika dan moral baik pada tingkat reflektif teoritis maupun praksis, dimana paradigma ini menawarkan spritualitas serta gaya hidup baru. 

Ideologi baru yang di timbulkan oleh radikalisasi kemoderenan ini sangat kompleks dan luas pengaruhnya terhadap paradigma serta gaya hidup masyarakat, mulai dari kota sampai ke desa-desa, tanpa memandang ras, suku budaya dan agama, tidak terkecuali masyarakat Batak walaupun terkenal memiliki adat istiadat yang kuat dan ketat. 

Namun pertanyaan yang muncul adalah mampukah masyarakat Batak membentengi diri dari bias negatif akibat radikalisasi kemoderenan itu? Apakah adat Batak dapat tetap bertahan kelestariannya di masa mendatang? akankah nilai-nilai luhur, moralitas, akhlak, sopan santun serta sistem kekerabatan yang dianut orang Batak mengalami degradasi? bagaimana dengan generasi muda batak, apakah akan kehilangan “jati dirinya” sebagai orang Batak? Semua pertanyaan ini tidak mudah untuk di jawab dan tergantung pada sikap orang Batak itu sendiri.

Gaya hidup  Radikalisasi Kemodernan.

Nilai pandangan hidup masyarakat masa kini semakin di pengaruhi oleh media Audio Visual, terutama Televisi, radio, Facebook, twitter, internet, Messenger, tele-conference, dll. Kecanggihan fasilitas komunikasi global, situs internet lengkap menyebabkan siapapun hidup di dunia masa kini tidak mengalami kesulitan untuk menemukan segala jenis informasi, data, tontonan, hiburan, kriminalitas, eksploitasi seksual, pornografi, bahkan mempermudah akses mencari teman  termasuk pasangan selingkuh.

Semua ini bisa diakses melalui fasilitas hand fhone di dunia maya dan berbagai fasilitas tekhnologi lainnya.  Pengaruh  media Audio Visual luar biasa bagi perubahan pola pikir, kepribadian, gaya hidup, etika dan moral masyarakat masa kini, baik positif maupun negatif. Mampu mengubah jarak yang jauh jadi dekat tetapi yang dekat bisa jadi jauh. Secara positif mempermudah jangkauan informasi efektif dan efisien, akses transaksi ekonomi dunia bisnis/usaha makin mudah. 

Dengan adanya fasilitas komunikasi di dunia maya orang-orang yang memiliki bakat, talenta, keahlian dalam bidang tertentu mampu dengan mudah dan cepat terorbit dalam lingkup global. Penelitian, pencarian, pengiriman  data dan informasi, serta inovasi ilmiah, dapat dengan mudah diperoleh dan masih banyak lagi hasil positif lainnya. 

Namun secara negatif mempengaruhi mental, kepribadian serta terjadinya degradasi moral, etika, serta peningkatan kriminalitas, lunturnya nilai-nilai kasih dan menonjolkan sifat individualisme, pelecehan harkat martabat manusia, gaya hidup yang bercorak “sekuler” dan berpola “serba boleh” terjadi “otonomi moral” yang mengakibatkan munculnya ke permukaan hal-hal yang dahulu dianggap tabu, serta manusia kini lebih menonjolkan penampilan lahiriah daripada batiniah.

Nilai-nilai dan pandangan hidup akan lebih banyak dipengaruhi oleh budaya yang ditampilkan di media tersebut, bahkan pengaruhnya bisa lebih kuat dari segala indoktrinasi adat, norma masyarakat dan ajaran agama. Tak akan ada masyarakat tertutup yang mampu mempertahankan nilai-nilai adat tradisional, sebab kelompok yang mempertahankan adat tradisional dianggap kuno, kolot, kurang relevan dan ketinggalan zaman. Sebagai contoh; dahulu orang Batak, hubungan antara “menantu dan mertua”, “haha doli dan anggi boru” “inang bao” dan “amang bao”(besanan), enggan untuk bertegur sapa, apalagi duduk bersama, tetapi kini terkhusus dapat di amati pada acara pesta-pesta adat Batak sudah biasa berjoget, berdansa, atau goyang dangdut bersama dengan irama dan gaya bebas, saling bercanda, atau salam cium pipi kanan-pipi kiri, apalagi yang tinggal di kota besar dianggap hal biasa. Banyak larangan-larangan /pantangan masa dulu kini ditinggalkan. 

Tarian, musik dan lagu yang dinyanyikan pun tidak lagi terikat pada lagu dan tarian Batak tapi bersifat kontemporer bercampur lagu Melayu, Jawa, Menado, Ambon, Barat, dsb. Itulah suatu bukti bahwa nilai adat budaya Batak lokal yang bersifat tradisional sudah mengalami pergeseran dan sebagian orang Batak sudah lebih tertarik pada budaya luar di bandingkan dengan budaya lokal tradisional. Intinya bahwa telah terjadi perubahan pola pikir, nilai adat budaya, etika, moral,  mental, dan perilaku hidup di masyarakat Batak. Hal ini menjadi tantangan terhadap kemurnian & kelestarian adat Batak bagi generasi mendatang. 

Perubahan sosial budaya yang cepat itu menyebabkan sebagian orang kehilangan pegangan iman, kebingunan menemukan jati diri, orientasi dan tujuan hidup, dampaknya dapat mempengaruhi keharmonisan dan kebahagiaan pribadi atau keluarga serta  kelompok sosial. Selain itu juga terjadi Westernisasi yaitu mengadaptasi gaya hidup barat, meniru-niru dan mengambil alih cara hidup “ke barat-baratan”, meniru pola hidup, gaya ber-pakaian, cara berbicara, adat sopan santun, pola-pola bergaul, pola berpesta, pola makan/minum dan seringkali ditambah dengan sikap merendahkan bahasa daerah berbicara dengan bahasa penuh ungkapan-ungkapan; ilmiah populer, Inggris, Belanda, Jerman, dll, sedangkan bahasa batak sendiri di abaikan atau orang yang menggunakan bahasa suku dianggap kolot, kurang gaul dan tidak modern. Bahkan ada sebagian orang Batak merasa bangga kalau di bilang “Ndang suman halak Batak”. Sikap ini mencerminkan kurangnya kebanggaan mempertahankan “jati dirinya” sebagai orang Batak dan lebih bangga mengenakan jati diri orang asing di luar Batak. Hal ini akan mengakibatkan kehilangan jati diri yang sesungguhnya serta pudarnya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam adat batak itu sendiri. 

Selain itu lompatan kemajuan daya intelek manusia semakin dasyat, hal ini dapat di ikuti melalui kemampuan menciptakan alat-alat super canggih. Ilmu pengetahuan makin maju dan berkembang membuat manusia semakin berpikir rasional/ilmiah dan meninggalkan cara-cara berpikir tradisional. Lebih banyak dasar logika daripada perasaan. Kecanggihan teknologi dewasa ini dapat membuat sebagian manusia memiliki kecenderungan untuk mengecilkan arti kehadiran Tuhan dalam hidupnya. 

Fungsionalitas rasional menjadi paling utama, mengakibatkan relativisme nilai dan keyakinan. Derajat atau tingkat pendidikan wanita juga meningkat, hubungan suami isteri dalam perkawinan bersifat sejajar dan isteri tidak lagi merasa diri lebih rendah dari suami. Hal ini mempunyai pengaruh fungsi dan peranan wanita dalam keluarga dapat berubah. 

 Pola hidup dari sosial religius cenderung berubah ke arah individualistik dan privatistik; fokus pada hak dan kebahagiaan pribadi/kebebasan mencari nikmat pribadi selama tidak mengganggu orang lain. Sifat gotong royong mulai memudar. Hal-hal yang berbau mitos, mistis, magis dan tradisi-tradisi kuno mulai diabaikan, orang cenderung bersikap dan bertindak atas dasar rasional, efisien, efektif dan produktif. Sebagian tuntutan adat tradisional yang dianggap tidak efektif dan efisien mulai di tinggalkan. 

Sebagai contoh di kalangan batak, dahulu setiap pihak boru mengundang hula-hula untuk suatu acara adat, harus didatangi langsung ke rumahnya kalau tidak, itu dianggap suatu sikap kurang hormat dan merendahkan posisi hula-hula nya, namun masa kini, cukup menghubungi via telephone, sudah menjadi biasa dan maklum atas dasar efisiensi waktu. Demikian juga ulaon “paulak une” sehabis adat nagok, mambukka tujung sesudah acara adat kematian, hanya bersifat simbolis saja. 

Fenomena lain yang dapat di amati adalah pemberian ulos dalam adat perkawinan, sudah sering di gantikan dalam bentuk uang, kecuali ulos tertentu ”namarhadohoan” atas dasar pertimbangan manfaat. Tradisi tujuh bulanan“manaruhon aekni unte dohot tolorni manuk”(suatu tradisi kuno untuk tujuh bulan kehamilan pertama), sudah mulai di tinggalkan. 

Penulis juga suka mengamati pelaksanaan adat batak saat pesta-pesta maupun adat kematian; pada waktu raja adat/raja parhata dengan gaya ortodok berpedoman pada tradisi lama yang cenderung panjang, rumit dan bertele-tele, sering mendapat protes dari generasi yang lebih moderen baik secara langsung dan terbuka ataupun melalui persungutan, dengan berkata: “jangan terlalu di buat rumit, panjang, bertele-tele, diper-simple saja”. Semua ini mengindikasikan bahwa sifat kemoderenan akan cenderung menggeser pola-pola tradisional lama dan rumit ke arah cara-cara baru yang lebih simple dan efisien. 

Perubahan ini sering menimbulkan pertentangan antara kelompok yang berpikir ortodok karena tetap berpegang pada pola-pola  tradisional lama, dengan kelompok moderen yang cenderung menginginkan sesuatu lebih simple, efektif, efisien dan rasional.

Radikalisasi kemoderenan  juga mempengaruhi Gaya hidup ke arah konsumerisme dan hedonisme (hidup berkesenangan). Hasrat ini makin kuat dorongan mewujudkannya karena rangsangan iklan-iklan melalui media audio visual, reklame yang telah meresapi hampir semua tempat dan situasi hidup masyarakat. 

Penawaran penawaran memukau yang menawarkan berbagai fasilitas kemewahan hidup, baik barang maupun makanan seringkali membuat sebagian orang tidak mampu mengendalikan keinginan untuk memilikinya walaupun bukan yang dibutuhan, melainkan lebih pada nikmat pembelinya atau demi status, harga diri, gengsi yang di kira akan di perolehnya melalui konsumsi tinggi itu. 

Sikap ini dapat terlihat melalui komunitas “wanita sosialita” yang mempamerkan kemewahan barang-barang dan perhiasan, serta menjadikannya simbol-simbol “status tertentu. Hidup sederhana, sifat menahan keinginan, penuh pengurbanan, menanggung penderitaan, kerelaan untuk melepaskan nikmat pribadi demi cita-cita luhur, kurang mendapat tempat dalam budaya itu. Namun sebaliknya  berkembang dalam sikap yang semakin mengkorupsikan moralitas, ethos kerja, nilai kewajaran, sopan santun pergaulan dan seluruh sistem nilai luhur di masyarakat. Bekerja yang rajin, jujur, ulet, bertanggung jawab, dianggap jalan lambat, maka lebih cenderung mengambil jalan pintas cepat. Padahal nilai-nilai paling luhur hanya dapat dicapai melalui iman, integritas dan moral, kejujuran, pengurbanan, memberi daripada menerima dan kesediaan untuk menderita, serta berjuang dalam kehidupan. 

Gaya hidup konsumtif (boros) ini memberi pengaruh kepada sifat manusia menjadi “materialisme, serakah, dan buas”, tanpa mengenal batas karena kuatnya kuasa tuntutan materi. Kondisi ini berdampak bagi mereka yang sebenarnya kurang mampu secara ekonomi, namun demi tuntutan materi, berusaha mati-matian, akibatnya bisa menghalalkan segala cara demi materi; iman, kejujuran, kasih, kebenaran, keadilan, moral, harga diri, bisa di korbankan. Kalau tidak tercapai muncul rendah diri, atau mengalami tekanan psikologis (pressures), mengakibatkan manusia banyak menipu diri sendiri, dalam hal ini juga tidak jarang akal tidak sehat muncul ke permukaan. 

Upaya mendapatkan nikmat pribadi(hedonisme) ini dapat diwujudkan dalam berbagai ragam tingkatan, kadar dan bentuk mulai dari yang indrawi/estetis, intelektual sampai yang religius, dari yang luhur dan yang tidak luhur. Hedonisme kerap menjurus pada pencarian kenikmatan sensual, indrawi, yang dapat dirasakan secara lebih cepat dan lebih dekat. Hasrat  inilah yang mendorong, perselingkuhan dan seks bebas, seolah menjadi berita umum dan biasa.

Bagaimana Sikap Kita ?

Pertama ; masyarakat batak mau atau tidak mau harus menghadapi fakta tersebut, dan perlu tanggap terhadap  perubahan zaman yang dihasilkan oleh radikalisasi kemoderenan itu. Kemajuan intelektual manusia perlu di aktualisasikan dengan berpijak pada kebenaran Firman Allah, serta menjaga dan mempertahankan kemurnian Iman yang berlandaskan Alkitab agar tidak kehilangan orientasi hidup. 

Kedua ; diperlukan pembaharuan rohani secara terus menerus melalui Kuasa Roh Kudus, dan kebergantungan total kepada Allah  dengan berjuang mempertahankan kesalehan hidup, namun di pihak lain memiliki kemampuan intelektual yang baik, arif dan bijaksana sehingga mampu bersaing dalam kompetisi global, dan memiliki filter psikologis untuk membedakan mana yang hakiki, dan apa yang boleh saja berubah, dengan demikian tetap sanggup mengambil sikap yang dapat di pertanggung jawabkan. 

Juga membuat kita sanggup menghadapi idiologi-ideologi radikalisasi kemoderenan itu dengan kritis, obyektif dan membentuk penilaian sendiri, agar tidak mudah terpengaruh dan berkompromi. Dilain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut dan ragu dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah sambil memberi fungsi menjadi garam dan terang bagi dunia.

Ketiga ; Memiliki kemandirian adat, etika dan moral, artinya tidak sekedar ikut-ikutan dengan gaya hidup yang ada, tidak dibuat-buat, tidak membeo, tidak terombang-ambing, melainkan atas suatu penilaian dan pendirian sendiri serta bertindak sesuai pendirian itu secara bertanggung jawab. Bersikap positif, kreatif, kritis, obyektif dan realistis. 

Sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan realis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar keyakinan yang kita anut. Sambil menjadikan penyataan Allah sebagai patokan, sebab segala patokan kebaikan harus bersumber dari Allah, karena Allah adalah pusat dan sumber segala kebaikan. Norma-norma adat tidaklah mutlak, semua itu hasil kesepakatan demi kebaikan,   dan tidak ada norma yang mutlak diluar Allah.

Keempat : Bangga menunjukkan jati diri sebagai orang batak yang ber-adat dan beriman, dengan kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya, rendah hati, tidak menganggap dirinya lebih penting tetapi berani mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggup jawab iman, sambil menjaga nilai-nilai luhur yang ada didalamnya.  sebab kehidupan horizontal manusia dengan sesama harus menjadi bagian dari kehidupan vertikal dengan Allah.

Penulis Roster Simanullang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun