Mohon tunggu...
Roster Simanullang
Roster Simanullang Mohon Tunggu... -

Penulis dan Dosen di beberapa Sekolah Tinggi Teologi di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radikalisasi Kemoderenan

12 Oktober 2016   15:26 Diperbarui: 12 Oktober 2016   15:33 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gaya hidup konsumtif (boros) ini memberi pengaruh kepada sifat manusia menjadi “materialisme, serakah, dan buas”, tanpa mengenal batas karena kuatnya kuasa tuntutan materi. Kondisi ini berdampak bagi mereka yang sebenarnya kurang mampu secara ekonomi, namun demi tuntutan materi, berusaha mati-matian, akibatnya bisa menghalalkan segala cara demi materi; iman, kejujuran, kasih, kebenaran, keadilan, moral, harga diri, bisa di korbankan. Kalau tidak tercapai muncul rendah diri, atau mengalami tekanan psikologis (pressures), mengakibatkan manusia banyak menipu diri sendiri, dalam hal ini juga tidak jarang akal tidak sehat muncul ke permukaan. 

Upaya mendapatkan nikmat pribadi(hedonisme) ini dapat diwujudkan dalam berbagai ragam tingkatan, kadar dan bentuk mulai dari yang indrawi/estetis, intelektual sampai yang religius, dari yang luhur dan yang tidak luhur. Hedonisme kerap menjurus pada pencarian kenikmatan sensual, indrawi, yang dapat dirasakan secara lebih cepat dan lebih dekat. Hasrat  inilah yang mendorong, perselingkuhan dan seks bebas, seolah menjadi berita umum dan biasa.

Bagaimana Sikap Kita ?

Pertama ; masyarakat batak mau atau tidak mau harus menghadapi fakta tersebut, dan perlu tanggap terhadap  perubahan zaman yang dihasilkan oleh radikalisasi kemoderenan itu. Kemajuan intelektual manusia perlu di aktualisasikan dengan berpijak pada kebenaran Firman Allah, serta menjaga dan mempertahankan kemurnian Iman yang berlandaskan Alkitab agar tidak kehilangan orientasi hidup. 

Kedua ; diperlukan pembaharuan rohani secara terus menerus melalui Kuasa Roh Kudus, dan kebergantungan total kepada Allah  dengan berjuang mempertahankan kesalehan hidup, namun di pihak lain memiliki kemampuan intelektual yang baik, arif dan bijaksana sehingga mampu bersaing dalam kompetisi global, dan memiliki filter psikologis untuk membedakan mana yang hakiki, dan apa yang boleh saja berubah, dengan demikian tetap sanggup mengambil sikap yang dapat di pertanggung jawabkan. 

Juga membuat kita sanggup menghadapi idiologi-ideologi radikalisasi kemoderenan itu dengan kritis, obyektif dan membentuk penilaian sendiri, agar tidak mudah terpengaruh dan berkompromi. Dilain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut dan ragu dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah sambil memberi fungsi menjadi garam dan terang bagi dunia.

Ketiga ; Memiliki kemandirian adat, etika dan moral, artinya tidak sekedar ikut-ikutan dengan gaya hidup yang ada, tidak dibuat-buat, tidak membeo, tidak terombang-ambing, melainkan atas suatu penilaian dan pendirian sendiri serta bertindak sesuai pendirian itu secara bertanggung jawab. Bersikap positif, kreatif, kritis, obyektif dan realistis. 

Sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan realis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar keyakinan yang kita anut. Sambil menjadikan penyataan Allah sebagai patokan, sebab segala patokan kebaikan harus bersumber dari Allah, karena Allah adalah pusat dan sumber segala kebaikan. Norma-norma adat tidaklah mutlak, semua itu hasil kesepakatan demi kebaikan,   dan tidak ada norma yang mutlak diluar Allah.

Keempat : Bangga menunjukkan jati diri sebagai orang batak yang ber-adat dan beriman, dengan kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya, rendah hati, tidak menganggap dirinya lebih penting tetapi berani mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggup jawab iman, sambil menjaga nilai-nilai luhur yang ada didalamnya.  sebab kehidupan horizontal manusia dengan sesama harus menjadi bagian dari kehidupan vertikal dengan Allah.

Penulis Roster Simanullang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun