Mohon tunggu...
Erifan Manullang
Erifan Manullang Mohon Tunggu... -

Seorang yang mencintai perdamaian dan toleransi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Prinsip Impartiality dan Problematika Pembentukan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi

26 Mei 2017   16:11 Diperbarui: 26 Mei 2017   17:54 5328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kesetaraan sulit tercapai jika lembaga yang menyusun daerah pemilihan dan alokasi kursi bukanlah lembaga yang imparsial dan harus bebas dari berbagai kepentingan politik praktis”

Seyogyanya pemebentukan daerah pemilihan (dapil) harus memenuhi beberpa prinsip, pertama kesetaraan antar warga negara (equality), atau lebih sering disebut one person one vote one value (OPOVOV). Kedua, integralitas wilayah yaitu dapil merupakan sebuah satu kesatuan wilayah geografis maupun administrative. Ketiga, proporsionalitas yaitu memperhatikan kese­taraan alokasi kursi antar dapil dan keempat kohesivitas yaitu seharusnya pembentukan daerah pemilihan memperhatikan kesatuan unsur sosial budaya penduduk. Namun beberapa literature Internasional menetapkan norma standar pembentukan dapil adalah harus memenuhi unsur-unsur ketidakberpihakan (impatiality), kesetaraan (equality), keterwakilan (representativeness),non diskriminasi(non-discrimination)dan transparan(transparency).Bagaimana dengan pembentukan daerah pemilihan di Indonesia, apakah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip seharusnya?

Pada Pemilu 2004, pembentukan dapil sepenuhnya menjadi otoritas KPU sebagai penyelenggara pemilu, termasuk penyusunan dapil untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun sejak pemilu 2009 sampai dengan rencana pemilu 2019, wewenang pembentukan dapil untuk memilih DPR disusun oleh DPR sendiri yang tuangkan dalam lapiran UU pemilu sedangkan dapil pemilihan DPRD tetap menjadi tanggung jawab KPU RI. Pembentukan dapil oleh dua lembaga negara; sementara prinsip-prinsip yang digunakan sama, dirasa kurang tepat, selain overlap dapat dipastikan hasilnya pun berbeda. Menjadi pertanyaan, lembaga apakah seharusnya yang lebih pantas bertanggung jawab dalam urusan pembentukan dan penyusunan dapil?

Pembentukan dapil dan alokasi kursi untuk DPR selama ini disusun berdasarkan kriteria yang tidak jelas dan tanpa melalui proses uji publik. Kriteria atau prinsip pembentukan dapil tidak dimuat dalam UU pemilu, sehingga dapat dibayangkan hasilnya menuai banyak kritikan. Sementara itu, kita perlu mengapresiasi KPU yang telah menyusun prinsip-prinsip pembentukan dapil dalam PKPU No. 15 tahun 2013 untuk pembentukan dapil DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota, walaupun masih terdapat beberapa persoalan.

Berikut beberapa catatan yang dalam pembentukan daerah pemilihan yang secara umum terjadi di Indonesia, pertama,  Malapportionment yaitu kesalahan dalam pembagian kursi perwakilan menjadi tidak adil berdasarkan jumlah populasi, sebagian wilayah under reprensentative dan sebagian wilayah upper representative. Berdasarkan pembagain kursi pemilu 2014, Provinsi Kepulaun Riau dan Riau menjadi kursi yang paling mahal untuk kursi DPR sekitar 631.000 penduduk sedangkan provinsi yang paling murah pada Provinsi Papua Barat dan Kalimantan Selatan sekitar 370.000 penduduk untuk satu kursi..

Kedua, Garrymandaring yaitu pembentukan dapil yang secara sistematis mengutungkan pihak atau partai tertentu. Konsekwensi dari gerrymandering adalah tidak terciptanya prinsip integritas kesatuan wilayah. Contoh yang sering disebut untuk garrymandaringadalah Dapil Jawa Barat III atau Dapil Supermen yang meliputi Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur yang melompati wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Dapil Supermen lainnya adalah Dapil X DKI pemilihan DPRD DKI Jakarta yang terdiri dari Kecamatan Grogol, Petamburan, Pal Merah, Kebun Jeruk, Kembangan dan Taman Sari. Wilayah Taman Sari terpisah dari lima wilayah lainnya dan melompati Kecamatan Gambir dan Tambora.

Ketiga, masih terdapat pelanggaran ketentuan batas maksimal kursi. Alokasi kursi disetiap dapil untuk pemilihan DPRD adalah kursi 3-12. Contoh dari pelanggaran ini ada di Dapil I untuk pemilihan DPRD Kabupaten Talibau Provinsi Maluku Utara yang jumlahnya mencapai 20 kursi. Keempat, tidak terjaganya prinsip proporsionalitas atau kesetaraan alokasi kursi antar dapil dalam satu wilayah administrasi pemerintahan. Contohnya Dapil Kota Pasuruan yang perbedaan jumlah kursinya sangat mencolok (Dapil I 4 kursi, Dapil II 11 kursi, Dapil III 4 kursi dan Dapil IV 8 kursi), Maluku tenggara (4, 10 dan 11 Kursi), dan Tomohon (5, 6 dan 9 kursi). Dan kelima, tidak menjaga dan melindungi kesamaan kepentingan dari sebuah komunitas.

Catatan terhadap RUU

Rencana DPR untuk menambah jumlah alokasi kursi dari 560 menjadi 579 menuai pro dan kontra. DPR beranggapan bahwa penambahan sejumlah kursi saat ini sangat mendesak mengingat berdasarkan pengalaman pemilu 2014 beberapa provinsi sangat under representative perlu alokasi kursi tambahan untuk penyesuaian terhadap prinsip opovov.  Oleh para tehnokrat pemilu di Indonesia, penambahan jumlah kuris untuk mengisi provinsi yang under representative bukanlah solusi yang bijaksana. Seharusnya pengisian kursi yang under representative dapat diambil dari sejumlah propinsi yang upper repentative.Solusi “tambal-sulam” seperti ini bukanlah solusi yang komprehensif dan hanya akan terus menambah jumlah anggota DPR dari pemilu ke pemilu berikutnya.

Beberapa catatan terhadap penetapan dapil dan alokasi kursi berdasarkan simulasi Dapil DPR RI dalam RUU pemilu dari Keputusan terbatas pansus RUU. Pertama, permasalahan prinsip proporsionalitas atau kesetaraan alokasi kursi antar dapil dalam satu provinsi masih mendominasi. Masih terdapat perbedaan jumlah kursinya yang mencolok seperti di Sumatera Utara yang terdiri dari empat dapil dengan jumlah 31 kursi (5, 8, 9, 9), DKI Jakarta terdiri dari tiga dapil dengan jumlah 22 kursi (4, 9, 9). Kemudian NTB terdiri dari 2 dapil dengan alokasi kursi 11 (8, 3), Kalimantan Barat terdiri dari dua dapil dengan alokasi 12 kursi (8, 4).

Kedua, masih terdapat pembentukan dapil yang garrymandaring yaitu tidak mencerminkan homogenitas penduduk dan kesatuan wilayah. Di Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Utara dipisah dengan Kabupaten Toba Samosir, Samosir dan Humbang Hasundutan. Tapanuli Utara merupakan kabupaten induk dari pemekaran keempat kabupaten lainnya, mempunyai karakteristik masyarakat yang sama dan sebenarnya memenuhi unsur homogeni penduduk dan layak untuk disatukan kedalam satu dapil. Contoh lain penggabungan Kabupaten Sidoarjo dengan Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan menjadi Dapil Jatim II.

Ketiga, tidak menjaga dan melindungi kesamaan kepentingan dari sebuah komunitas masyarakat seperti pemisahan Kabupaten Karo dengan Kabupaten Langkat dan Kota Binjai. Di tiga Kabupaten/ Kota ini terdapat sebuah komunitas masyarakat Suku Karo yang jumlahnya cukup signifikan namun dalam pembentukan dapil Kabupaten Karo dipisah dengan Langkat dan Binjai.

Das Sollen

Mengutip dari Buku Challenging the Norms and Standards of Election Administration(IFES, 2007) terdapat beberapa prinsip yang menjadi standard Internasional tentang pembentukan daerah pemilihan (boundary delimitation). Namun penulis hanya menitik beratkan pada prinsip pertama pembentukan dapil yaitu ketidakberpihakan (Impartiality).  Impartiality dapat dilihat dari tiga aspek yang meliputi, pertama nonpartisan boundary authority maksudnya adalah lembaga yang membentuk dapil (boundary authority) seharusnya lembaga yang non partisan. Legislator atau partai politik sebaiknya harus absen dari boundary authority.Jikapun harus ada, keterwakilan unsur partai politik harus seimbang dan boundary authorityharus pimpin dan dikontrol oleh komisioner yang non partisan. Kedua, Independent boundary authority yaitu, lembaga yang membentuk daerah pemilihan harus independen dalam merencanakan, merumuskan dan mengambil keputusan. Keputusan final dalam pembentukan daerah pemilihan harus berada pada boundary authority.Jika usulan pembentukan dapil harus melalui parlemen, maka perlu diberikan limit waktu untuk memberikan usulan. Boundary authority diberi wewenang untuk mengevalasi serta merubah usulan dapil dari parlemen jika tidak memenuhi prinsip-prinsip pendapilan. Ketiga, Professional boundary authority yaitu boundary authorityharus diisi oleh orang-orang yang professional.

Menurut Prof. Ramlan Surbakti, kesalahan dalam pembentukan dapil dan alokasi kursi merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemilu yang dikategorikan sebagai manipulasi terhadap kerangka hukum pemilu (manipulation of legal framework). Penyimpangan ini biasa dilakukan sebelum pemilu diselenggarakan (pre-election manipulation). Kesalahan dalam pembentukan daerah pemilihan dan pengalokasian kursi juga akan melanggar prinsip Parameter Pemilu Demokratik yaitu prinsip kesetaraan antar warga negara.

Rekomendasi

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, bahwa urusan dapil dan pengalokasian kursi merupakan masalah sangat kompleks, bukan sekedar pembagian diatas kertas dan hitung-hitungan matematika, apalagi hanya berdasarkan kepentingan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Pembentukan dan pengalokasian kursi dapil harus disusun dengan perencanaan yang matang, disusun oleh orang-orang yang tepat, dibutuhkan waktu yang cukup dan berpedoman prinsip-prinsip pembentukan dapil yang ideal.

Untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dikemukakan, penulis mengusulkan bahwa pembentukan dapil dan alokasi kursi DPR maupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota dilakukan oleh hanya satu Lembaga yang imparsial berdasarkan norma dan standart pendapilan secara Internasional. Lembaga yang paling mendekati kriteria tersebut saat ini adalah KPU. Menurut penulis, kesetaraan sulit tercapai jika lembaga yang menyusun daerah pemilihan dan alokasi kursi bukanlah lembaga imparsial dan harus bebas dari berbagai kepentingan politik praktis.

Namun untuk solusi jangka panjang dan mewujudkan dapil dan alokasi kursi yang idel serta demi menciptakan sistem pemilu yang lebih baik, penulis menyarankan bahwa pembentukan dapil untuk pemilihan DPR dan DPRD serta pengalokasian kursinya harus terpisah dari tugas KPU sebagai penyelenggara pemilu. Perlu dibentuk sebuah Boundary AuthorityatauBoundary Commisionbersifat nonpartisan, independent dan professional; apakah sifatnya adhock atau permanen.

Studi tentang Boundary Commision bukanlah hal baru dalam sistem pemilu. Setidaknya beberapa negara demokrasi terbesar di dunia seperti India, Inggris, Australia, Kanada dan Jepang telah menyerahkan ursan dapil kepada sebuah lembaga Boundary Commision.Sebelumnya negara-negara tersebutpembentukan dapil dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun legislatif dan hasilnya lebih acceptable. Untuk konteks Indonesia Boundary Commision dapat diisi oleh unsur perwakilan pemerintah (kementrian dalam negeri), unsur penyelenggaran pemilu (KPU dan Bawaslu), Badan Pusat Statistik, NGO yang konsen tentang Pemilu, unsur Akademisi (Ahli Politik/ Pemilu/ Sosiologi, Ahli Geografi, Kartografi, Ahli Demografi dan Ahli Hukum).

*) Penulis adalah Mahasiswa Pacasarjana Universitas Airlangga Konsentrasi Tata Kelola Pemilu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun