Sinar mentari anyami sisa bias kehormatan dan keagungan,
kala pupus di ujung langit ungu hitam yang tetesi bumi
dengan air mata kepedihan ke atas tempayan kenyataan.
Anak-anak manusia berpayah-payah menyiksa diri,
menyemut pada gula-gula kehidupan, bertumpang tindih.
Manisnya rasuk logika dan tawarkan nurani.
Manisnya letakkan hati dalam jamban
dan sesakkan hidung dengan bau bangkai.
Gemuruh derap kaki dan degup jantung
dendangkan lagu-lagu kemenangan dan kekalahan.
Persetan dengan peluh sebesar biji jagung,
berbondong-bondong mereka menuju peraduan
lepaskan jubah kusut kusam sambil gumamkan.
“Esok penuh harapan.”
Sebatang kretek tersulut, lalu rebahan
pejamkan mata lelah, lantunkan kegalauan:
“Harapan adalah asap rokok,
menyesakkan lalu menghilang.”
Ian
Jakarta, 2001
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H