Mohon tunggu...
Mantily Holmes
Mantily Holmes Mohon Tunggu... Lainnya - Kita Harus Baca

Content Researcher, pendengar dan pemain musik | Trust Christ , not religion | Founder of Kita Harus Baca | Setia seperti ASU, tapi menyebalkan dan susah mati seperti kecoa Madagaskar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sarjana Kok Jualan?

18 September 2018   21:16 Diperbarui: 20 September 2018   12:46 2665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengingat jawaban saya itu, saya sebenarnya pernah merasa sangat sombong. Kawan-kawan seangkatan sewaktu kuliah sudah ada yang bekerja di perusahaan besar dan ada juga di lembaga pemerintah. 

Saya merasa malu, saya merasa gagal. Dan saya berpikir bahwa apa yang saya kerjakan sepertinya adalah hal yang sia-sia. Mimpi besar saya untuk mempekerjakan banyak orang dan mengurangi angka pengangguran hancur seketika. 

Dan saya memang kalah karena pada akhirnya setelah usaha saya digusur mau tidak mau saya harus bekerja untuk menghasilkan uang dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pernah saya bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan besar, tetapi memang pada dasarnya saya tidak suka aturan-aturan perusahaan. Bukan karena tidak mau dipimpin, tetapi budaya perusahaan tidak sesuai dengan cara berpikir saya. Melihat angka tamatan sarjana pada saat ini, kemudian dibandingkan dengan angka lapangan kerja yang tersedia dan sesuai (dengan gelar sarjana), skalanya sangatlah timpang. 

Sehingga para sarjana rela mengerjakan apapun asalkan diupah. Apalagi kalau sudah musimnya penerimaaan CPNS, semua orang berlomba untuk mengikutinya. 

Di kampung saya, masih ada pandangan masyarakat kalau bekerja di lembaga pemerintahan (PNS atau honorer) lebih baik daripada menjadi wirausahawan. Sarjana juga harusnya bekerja di perusahaan, BUMN, dan tempat-tempat beken lainnya. 

Menurut saya, pemikiran ini tidak sepenuhnya salah. Bekerja di lembaga pemerintah, BUMN, dan perusahaan besar memang punya gengsi tersendiri. Gaji jelas terjamin, ada juga dana pensiunan, dan asuransi kesehatan. 

Siapa juga yang tidak mau sesuatu yang jelas dan terjamin? Masing-masing orang tua juga pasti sangat bangga jika anaknya yang telah susah payah disekolahkan menjadi bagian dari lembaga atau perusahaan yang terpandang.

Namun, stereotype ini entah kenapa tidak cocok untuk saya. Menimba ilmu setinggi itu seharusnya diaplikasikan dalam bentuk usaha. Misalnya Anda adalah seorang lulusan dokter atau dokter gigi, maka seharusnya kamu membagikan ilmu dan keahlian dengan membuka klinik, sehingga kamu akan mempekerjakan dokter lainnya, perawat, cleaning service, dan lain-lain. 

Sehingga daerah-daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan akan terbantu. Anda seorang lulusan ilmu hukum, seharusnya Anda membuka tempat konsultasi tentang hukum di tempat-tempat yang membutuhkan bantuan hukum. 

Anda seorang lulusan ilmu sosial atau ekonomi seharusnya membuka usaha yang membantu memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi masyarakat. Menjadi seorang wirausahawan bukan soal uang, bukan soal keuntungan pribadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun