Mohon tunggu...
Taufiqi Pramono
Taufiqi Pramono Mohon Tunggu... wiraswasta -

twitter.com/taufiqipram

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Comment War vs Tweet War, Seruan Mana?

20 Oktober 2015   10:32 Diperbarui: 20 Oktober 2015   10:48 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kita patut bersyukur negara kita aman sentosa sejahtera karena tidak ada perang. Saya tidak bisa membayangkan seandainya kondisi negara kita tercinta ini seperti Suriah, Palestina, dan negara-negara konflik lain. Pasti para jomblo tidak sempat berkeluh kesah tentang phobianya terhadap malam minggu karena sibuk angkat senjata bela negara. Meski begitu, ternyata kita termasuk masyarakat yang doyan perang, setidaknya perang di dunia maya. Kalau perang sungguhan perlu latihan fisik berbulan-bulan. Perang di dunia maya cukup bermodalkan jempol, smartphone, dan koneksi internet. Saya sebenarnya tidak begitu aktif ‘teriak-teriak’ di dunia maya. Saya cenderung sebagai silent netizen. Sekali nulis langsung di blog pribadi (jarang juga sih) atau di social blog sebelah. Tapi gini-gini saya cukup aktif mengamati perilaku netizen yang dinamisnya melebihi fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar.

Hasil observasi saya, terdapat dua media yang paling sering digunakan untuk perang, yaitu Twitter dan kolom komentar. Sebenarnya perang juga sering terjadi di grup-grup aplikasi chat, tapi yang ini tidak saya bahas karena bersifat tertutup, dan biasanya yang diperangkan juga kurang penting. Lalu jika Anda sebagai penggemar perang di dunia maya, mana yang lebih seru antara comment war dan tweetwar? 

 

Comment War

Kolom komentar di sini bisa di mana saja, bisa di instagram, youtube, facebook, atau kolom komentar di bawahnya artikel. Perang di kolom komentar akan lebih fokus. Karena jelas induknya apa. Induk yang saya maksud adalah posting. Yang tentu saja jadi bahan utama wacana yang diperangkan. Buat para silent reader juga lebih mudah mengikuti dan bahkan dengan gampang kalau mau ikut nimbrung. Karena scrolling-nya lebih enak. Nggak enaknya kalau tiba-tiba muncul spam. Lagi enak-enak debat, eh tiba-tiba ada yang nawarin obat penumbuh jakun ala Mbah Jambrong lah, dompet anti maling lah, sampai beha anti grepe. Mereka seolah tidak kehabisan varian produk yang dijual. Spammers ini emang tidak bertanggung jawab, seenaknya aja gitu paste-in text pindah-pindah dari kolom komentar satu ke kolom komentar lain. Saya berani bertaruh clipboard-nya dari jaman minion ya itu-itu aja.

 

Spammers ini sebenarnya lebih karena pelaku di kolom komentar yang cenderung lebih liar. Hampir siapa saja bisa komentar. Di youtube misalnya, yang penting punya akun google, bisa deh dengan leluasa mengikuti pergulatan. Padahal kita tau bahwa akun google seringkali tidak pernah diopeni, hanya digunakan untuk setting up android saja. Belum lagi kolom komentar yang lain yang bahkan tidak perlu sign in.

Ciri lain dari comment war adalah pelakunya cenderung sama di setiap tempat. Sekali dia nyaman comment war di youtube, misalnya, maka di situlah dia akan bercokol dan mendedikasikan dirinya selamanya sebagai prajurit. Mungkin diperlukan semacam tanda kehormatan dari pemerintah sebagai apresiasi terhadap loyalitasnya dalam membaktikan dirinya sebagai commenter sejati. Mungkin juga bisa dipertimbangkan untuk jatah komisaris BUMN.

Tweet War

Sengaja saya tidak menulis twitwar, bukan dengan alasan yang kuat dan berdalil hadits shohih dengan perawi Bukhari Muslim sebenarnya, cuma karena biar konsisten saja sama judul. Tweet War cenderung lebih liar. Karena wacana yang diperangkan kadang kurang jelas dari mana asal-usulnya. Alhasil yang mau ikut nimbrung pun harus pindah akun sana-sini. Buat penikmatnya pun harus dengan sabar mengulik lebih dalam tentang apa yang sedang diperangkan. Apalagi jika para pasukan menggunakan metode mention yang berbeda-beda. Ada yang pakai reply, ada yang pakai quote, ada yang pakai retweet. Ada juga yang langsung mention tanpa kejelasan ditujukan untuk menanggapi tweet yang mana. Syukurlah ada superhero bagi para penikmat tweet war, yaitu chirpstory. Selain sebagai katalog kultwit, aplikasi ini juga pelepas dahaga ghibah mata bagi pencinta debat.

Bagi penikmat, bisa jadi hal-hal di atas adalah kekurangan. Tapi bagi pelaku, itu justru jadi kelebihan. Selain akan bebas dari spam Mbah Jambrong, perang di twitter akan membuat sang prajurit mempunyai kesempatan nambah follower. Kesempatan nyepik juga akan jauh lebih besar jika ikut nimbrung perang di twitter. Dengan pencitraan tweet-tweet sok expert, para pelaku sedikit banyak mengharapkan ada jomblo berkualitas yang terpana dengan kecemerlangan otak sang pendebat. Karena di twitter lebih jelas akunnya, pelaku tweet war umumnya akan memfilter siapa saja yang akan diajak perang. Bahkan ada yang fanatik tidak akan tweet war dengan akun dengan jumlah follower under 139k misalnya.

 

Secara umum, keduanya memberikan kesempatan luas bagi netizen yang suddenly expert. Ada isu kebakaran hutan, tiba-tiba berubah menjadi asisten dewa api yang seolah menguasai ilmu api. Ada artikel review gadget, mendadak jadi seorang commenter yang seolah punya experience memakai seluruh gadget di dunia. Yah, begitulah kiranya masyarakat kita, menjadi ahli tidak perlu kuliah S2, cukup kutip sana sini, copy dari sono paste di mari. 

 

Satu hal yang perlu dicatat juga adalah pelaku perang bisa dinamai macam-macam. Mulai panasbung, dinginbung, hangatbung. Perang ini sebenarnya juga berpotensi menjadi salah satu cabang bisnis baru. Dengan aktif menjadi salah satu pasukan, bisa jadi Anda suatu saat di-endorse oleh pihak yang berkepentingan untuk Anda bela sampai tetes sperma titik darah penghabisan. Oleh karena itu, maksimalkan potensi Anda untuk menjadi pasukan perang sejati. Jangan segan berkunjung ke akun-akun yang sudah malang melintang dan jadi maha guru perang dunia maya. Pelajari teknik-teknik mereka dalam berargumen. Kalau perlu mintalah tutorial dan tips-tips berperang agar value Anda bisa naik di mata endorser. 

Artikel ini saya tutup dengan himbauan untuk mengadakan perang terbuka di ballroom agar monetisasinya lebih maksimal. Kasih aja harga tiket setara sama harga tiket nonton stand up comedy. Saya kasih rekomendasi topik nih yang menurut saya laku dan bisa sold out dalam waktu 5 menit.

  1. Isyana vs Raisa
  2. Apple vs Samsung
  3. Jokowi vs Prabowo (pilpres emang udah lewat, tapi tau sendiri lah gimana topik ini masih sangat komersil untuk dijual)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun