Mohon tunggu...
Sulaeman
Sulaeman Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA

Memandang dunia dengan daya jelajah yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Interogasi Sistem Zonasi?

3 Juli 2019   08:59 Diperbarui: 3 Juli 2019   10:20 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Bryan Magee, 2008: 22

Memasuki fase akhir penerimaan siswa baru tahun 2019, isu tentang "Sistem Zonasi Sekolah" masih melangit dalam opini pakar, pengamat, birokrat, dan masyarakat khususnya wali siswa yang skeptis tentang sederet peraturan baru Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Isu ini penuh sesak di berbagai unggahan platform media sosial, surat kabar dan merangkak menjadi headline news. 

Banyak orang yang menghujani gugatan dengan penuh kejengkelan, ada juga sebagian orang menafsirkan pola itu tanpa keraguan berharap lahir perubahan. Quo Vadis itu menampilkan kemiripan dan memaksa kita untuk membaca ulang buku Bryan Magee yang berjudul "The Story of Philosophy" pada halaman 22.

Kita seakan sedang menyaksikan karya klasik dalam suatu adegan Awan (423 SM) atau "The Clouds" dalam bahasa Yunani Kouno "Nephelai" karya Aristophanes (masa hidupnya sekitar tahun 448-380 SM). Pada karya itu, Socrates sedang diinterogasi, terlihat Ia ditaruh dalam keranjang di atas kepala orang-orang Athena.

Pada karya itu, Socrates membuka alam pikiran, mengajari dan membangun prinsip-prinsip dialektika, mempertanyakan segalanya sambil menelanjangi ketidaktahuan orang muda Athena tentang negara (Bertrand Russel dalam Rochiati Wiriaatmadja, 2015: 5). 

Cara semacam itu ternyata menyebabkan dirinya dianggap sebagai sumber pengaruh yang subversif, sehingga kaum Sophis menuduh Socrates telah merusak jiwa orang muda Athena. Jadilah Socrates tokoh yang sangat kontroversial, dicintai sekaligus dibenci.

Lalu apa korelasi karya klasik itu dengan sistem zonasi saat ini? penyebabnya adalah pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memukul gong sebagaimana terkandung dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB. Akibatnya, publik dibuat geger oleh sistem baru itu. 

Publik semakin kalut setelah digulirkan dan diimplementasikan 3 tahun belakangan pada sekolah-sekolah mulai jenjang dasar sampai menengah atas di Indonesia. 

Argumentasi teoritis, praksis bahkan yuridis nyaris tidak mendapatkan ruang kesepahaman untuk meredam gejolak catatan penyelenggaraan yang sedang berlangsung. Sistem zonasi sedang diinterogasi sebagaimana penggalan sejarah hidup Socrates, oleh karena menata jalan pembaharuan dan perubahan.

Sungguh ironis, ketika bangsa ini sedang menghimpun modal sosial penuh optimisme untuk menjadi pemeran utama dalam percaturan global dengan bonus demografi pada satu abad kemerdekaannya tahun 2045 mendatang.

 Tetapi, nampaknya masyarakat kita mengalami distrust terhadap gagasan besar sistem zonasi sekolah yang bermandikan perdebatan, menguras energi dan pikiran, bahkan berujung penolakan.

Menghidupkan Ruh Keadilan Sosial

Dalam perspektif sejarah, perwujudan sistem zonasi sekolah sudah tepat, karena gagasan besar Prof. Muhadjir Effendy telah mengembalikan ruh alinea keempat UUD NKRI 1945 yang berbunyi "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Mencerdaskan kehidupan bangsa membutuhkan dasar berpikir yang kokoh, hanya keadilan sosial yang mampu mengubahnya.

Menghidupkan ruh alinea keempat sebagai pengambilan keputusan (decision making) dalam program kerja Menteri Pendidikan, khususnya mewujudkan "keadilan sosial" sebagai fondasi dalam dunia pendidikan merupakan pantulan kesadaran sejarah para elite bangsa dan sudah waktunya memulai babak baru. 

Melalui fondasi keadilan sosial, akan memuliakan siswa mengenyam pendidikan di sekolah mana pun tanpa ada disparitas berlabel favorit atau non-favorit. Kita perlu memutus sistem "kasta" itu, agar tercipta keadilan pendidikan bagi seluruh lapisan sosial masyarakat Indonesia.

Apabila penyelenggaraan pendidikan telah berpangkal ke arah paradigma berkeadilan, maka anak-anak bisa sekolah di sekitar lingkungannya tanpa perlu gengsi dan memilih-memilih sekolah, apalagi berkecil hati jika tak lolos seleksi. 

Sistem zonasi justru menebalkan keyakinan siswa, bahwa mereka akan tampil penuh kebanggaan dan membanggakan sekolah di sekitar lingkungannya. Sehingga persebaran siswa dengan kecerdasan majemuknya (multiple intelligence) memberi warna pendidikan lokal dan nasional, tidak terkonsentrasi pada daerah tertentu.

Sejalan dengan itu, Ki Hajar Dewantara dalam presedennya menyatakan "setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah. Pendidikan tak berhenti di bangunan sekolah saja, tapi juga di rumah, di jalan, dan di mana-mana". 

Maka, implementasi sistem zonasi saat ini sangat dibutuhkan, jangan sampai kita tersandera oleh logika bahwa sekolah hanya berwujud bangunan atau gedung saja. Dengan demikian, tidak ada lagi bayang-bayang sekolah pilihan atau non-pilihan, seluruh sekolah adalah ruang terpilih bagi anak bangsa untuk menjadi manusia seutuhnya.

Kontrak Sosial antara Masyarakat dan Sekolah

Pergeseran nilai di tengah masyarakat kita turut serta mengubah paradigma yang mengarah pada enigma. Menyangkut kondisi itu, maka masyarakat dan sekolah perlu membangun kontrak sosial, sekurang-kurangnya bersandar pada dua perspektif, yaitu (1) masyarakat percaya (trust) bahwa sekolah akan mengantar anak-anak ke gerbang masa depan yang lebih baik, (2) sekolah memahami serta menghargai aspirasi-aspirasi para orang tua bagi perkembangan kecerdasan dan moralitas anak-anaknya.

Kontrak sosial dimaksudkan untuk tetap mengakselerasikan sistem zonasi. Hubungan antara tingkat kepercayaan masyarakat dengan harapan orang tua terhadap sekolah perlu diwadahi oleh kehadiran negara. 

Lebih dari itu, orang tua dan masyarakat harus memberikan mandat sebagai manifestasi percaya kepada sekolah. Sehingga, sejumlah persoalan yang merenggut prestasi dan masa depan siswa dalam sistem zonasi dikembalikan pada sekolah.

Terakhir, kesemerawutan dan berbagai catatan lapangan mengenai sistem zonasi yang kini diterapkan bukan tanpa celah untuk dikritik dan harus membuka diri untuk diinterogasi. Kementerian terkait yang memulai gagasan revolusioner tersebut perlu merespons secara cepat, cross checks ke seluruh daerah, mematangkan produk kebijakannya, tidak lupa di tahun-tahun mendatang melakukan sosialisasi lebih komprehensif dan berkelanjutan. 

Dengan demikian, kerangkeng persoalan sistem zonasi pasti teratasi selama kita rela berkontemplasi, berpikir menyeluruh dan mengakar, tidak amnesia pada sejarah.

Rujukan bacaan:

Bryan Magee. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius.

Mochtar Buchori. 2011. Guru Profesional dan Mutu Pendidikan. Jakarta: UHAMKA Press

Rochiati Wiriaatmadja. 2015. Filsafat Ilmu. Bandung: Rizki Press

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun