Mohon tunggu...
Sulaeman
Sulaeman Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA

Memandang dunia dengan daya jelajah yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Interogasi Sistem Zonasi?

3 Juli 2019   08:59 Diperbarui: 3 Juli 2019   10:20 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menghidupkan Ruh Keadilan Sosial

Dalam perspektif sejarah, perwujudan sistem zonasi sekolah sudah tepat, karena gagasan besar Prof. Muhadjir Effendy telah mengembalikan ruh alinea keempat UUD NKRI 1945 yang berbunyi "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Mencerdaskan kehidupan bangsa membutuhkan dasar berpikir yang kokoh, hanya keadilan sosial yang mampu mengubahnya.

Menghidupkan ruh alinea keempat sebagai pengambilan keputusan (decision making) dalam program kerja Menteri Pendidikan, khususnya mewujudkan "keadilan sosial" sebagai fondasi dalam dunia pendidikan merupakan pantulan kesadaran sejarah para elite bangsa dan sudah waktunya memulai babak baru. 

Melalui fondasi keadilan sosial, akan memuliakan siswa mengenyam pendidikan di sekolah mana pun tanpa ada disparitas berlabel favorit atau non-favorit. Kita perlu memutus sistem "kasta" itu, agar tercipta keadilan pendidikan bagi seluruh lapisan sosial masyarakat Indonesia.

Apabila penyelenggaraan pendidikan telah berpangkal ke arah paradigma berkeadilan, maka anak-anak bisa sekolah di sekitar lingkungannya tanpa perlu gengsi dan memilih-memilih sekolah, apalagi berkecil hati jika tak lolos seleksi. 

Sistem zonasi justru menebalkan keyakinan siswa, bahwa mereka akan tampil penuh kebanggaan dan membanggakan sekolah di sekitar lingkungannya. Sehingga persebaran siswa dengan kecerdasan majemuknya (multiple intelligence) memberi warna pendidikan lokal dan nasional, tidak terkonsentrasi pada daerah tertentu.

Sejalan dengan itu, Ki Hajar Dewantara dalam presedennya menyatakan "setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah. Pendidikan tak berhenti di bangunan sekolah saja, tapi juga di rumah, di jalan, dan di mana-mana". 

Maka, implementasi sistem zonasi saat ini sangat dibutuhkan, jangan sampai kita tersandera oleh logika bahwa sekolah hanya berwujud bangunan atau gedung saja. Dengan demikian, tidak ada lagi bayang-bayang sekolah pilihan atau non-pilihan, seluruh sekolah adalah ruang terpilih bagi anak bangsa untuk menjadi manusia seutuhnya.

Kontrak Sosial antara Masyarakat dan Sekolah

Pergeseran nilai di tengah masyarakat kita turut serta mengubah paradigma yang mengarah pada enigma. Menyangkut kondisi itu, maka masyarakat dan sekolah perlu membangun kontrak sosial, sekurang-kurangnya bersandar pada dua perspektif, yaitu (1) masyarakat percaya (trust) bahwa sekolah akan mengantar anak-anak ke gerbang masa depan yang lebih baik, (2) sekolah memahami serta menghargai aspirasi-aspirasi para orang tua bagi perkembangan kecerdasan dan moralitas anak-anaknya.

Kontrak sosial dimaksudkan untuk tetap mengakselerasikan sistem zonasi. Hubungan antara tingkat kepercayaan masyarakat dengan harapan orang tua terhadap sekolah perlu diwadahi oleh kehadiran negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun