Mohon tunggu...
Manjaro Pai
Manjaro Pai Mohon Tunggu... Freelancer - Ayahnya Manjaro

Every day for us something new Open mind for a different view And nothing else matters (Metalica)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat untuk Bunda

19 Maret 2021   15:47 Diperbarui: 19 Maret 2021   15:54 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teruntuk Bunda Tersayang.

Bunda, Abang tahu hanya bunda yang benar-benar tulus menyayangi dan mengasihi abang. Didunia ini hanya bunda yang tulus, ketulusan bunda tidak dapat abang temui dari ayah sekalipun, apalagi mereka teman-temanku yang selalu datang menjenguk Abang. Abang sudah tahu bahwa mereka datang menjenguk karena dibayar oleh ayah. Abang juga sudah tahu bahwa ayah meminta Abang untuk tinggal di vila ini dengan segala fasilitas yang memanjakan hanya agar Abang terhindar dari peradilan yang sesungguhnya. Peradilan yang bisa membuat dia malu karena anaknya masuk penjara. Tapi untuk bunda ketahui, di sini anakmu ini sungguh merasa sangat terpenjara. Tersiksa oleh rasa kesepian dan rasa bersalah yang sangat tinggi.

Bunda, 30 hari sudah abang di sini terpenjara dalam pelarian di sebuah vila yang sangat mewah. Selama 30 hari Abang hanya bisa merenung. Dalam renungan dan lamunan Abang selalu terbayang wajah mereka berdua yang sudah Abang habisi nyawanya hanya karena rasa cemburu.

Semua bermula gara-gara Ayah yang memaksa ku untuk sekolah keluar kota, sehingga Abang harus menjalin hubungan jauh dengan Mirna. Abang mendengar kabar dari seorang kawan bahwa sejak Abang tinggal di luar kota, Mirna sering bertemu secara diam-diam dengan seorang pria. Abang sangat tersiksa dengan jarak yang jauh dan berita tentang Mirna dan laki-laki simpanannya.

Hingga saat libur tiba sebulan yang lalu, Abang meminta Bunda dan Ayah untuk melamar Mirna. Ayah dan Bunda pun menyetujuinya. Segera Abang menyampaikan berita gembira ini kepada Mirna dan Mirna pun dengan tanpa dosa menjawab, "Saya akan menceritakan dan meminta persetujuannya dulu". Abang sedikit terbakar, Gila.... bahkan untuk meminang Mirna laki-laki itu dilibatkan untuk dimintai persetujuan.

Abang berusaha untuk tetap tenang, sampai di sore hari Abang mendapat kabar bahwa Mirna menyelinap keluar rumah dan menumpang angkutan umum untuk menuju ke arah luar kota. Segera abang menyusul dan mengikuti arah Mirna. Dan Abang bisa jumpai Mirna turun dari sebuah angkutan kota sedikit setelah melewati batas kota. Lokasi yang tepat seperti apa yang selama ini kawan Abang ceritakan. Bahwa Mirna sering berjumpa dengan seorang laki-laki di sebuah rumah tua di pinggir kota.

Saat itu Abang tidak menghampirinya, Abang mengikutinya diam-diam dan memastikan apakah benar Mirna masuk ke rumah itu. Dan ternyata benar, tanpa mengetuk pintu Mirna sambil menengok kanan dan kiri seakan memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu Mirna masuk ke rumah tersebut. Dalam pikiran Abang, pasti dia sangat akrab dengan pemilik rumah. Semakin kencang degup jantung Abang, darah semakin tinggi naik dikepala. Tapi abang tetap bertahan untuk tetap sabar.

Setelah dipastikan dia masuk ke dalam rumah tua tersebut, segera Abang memarkirkan motor agak jauh dari rumah tua itu dan juga agak tersembunyi. Abang berjalan kaki menyelinap menghampiri rumah tersebut. Dari celah jendela Abang melihat dia berbincang dengan seorang laki-laki, entah apa yang mereka bicarakan. Tetapi yang membuat Abang semakin emosi adalah bayangan laki-laki yang abang lihat sangat akrab dengan keseharian Abang. Dia seperti salah satu kawan Abang yang baru gabung di tempat biasa Abang nongkrong beberapa bulan sebelum Abang keluar kota. Dia seorang preman yang sering membantu Abang dan kawan-kawan saat terjadi keributan di jalanan. Emosi Abang tak tertahan lagi mengingat semua kebaikan Abang yang memanjakan dia, sampai tega dia mengambil hati Mirna, dan bagaimana bisa Mirna terpikat oleh seorang preman yang bahkan untuk makan pun mengandalkan kebaikan kami.

Sesaat setelah mereka berbincang mereka berdiri dan saling menghampiri. Bunda, anakmu ini tak kuasa lagi menahan emosi melihat kejadian berikutnya. Mirna berdiri dari tempat duduknya, lalu laki-laki itu mendekati Mirna, lalu mengecup kening Mirna. Belum sampai darah Abang ke atas kepala selanjutnya abang harus menyaksikan hal lebih menyesakkan. Setelah laki-laki itu mengecup kening Mirna dengan mesra, Mirna menyandarkan kepala di dada laki-laki itu lalu mereka berpelukan dengan mesra.

Melihat kejadian itu Abang sudah kehilangan akal sehat lalu dengan emosi yang sangat tinggi Abang mendobrak pintu dan masuk ke dalam rumah tersebut. Dengan berteriak Abang memaki Mirna dan lelaki tadi. " Dasar bajingan tak tau diuntung, preman jalanan tak tahu budi. Ternyata benar berita yang selama ini aku dengar, tapi sungguh aku tidak menyangka kalau laki-laki yang diceritakan kawan-kawan adalah kamu. Dasar bajingan".

Mereka pun kaget tetapi tidak melepas pelukan mereka. Mereka saling memandang lalu melihat Abang sambil tersenyum geli. Senyuman yang dapat membuat Abang muntah. Sambil melepas pelukannya, Mirna berusaha menceritakan sesuatu "Marwan, ketahuilah ini adalah kakakku yang pernah .....".

Belum selesai apa yang Mirna akan jelaskan Abang sudah memotongnya , "Ah...dasar pelacur....cerita apa pun dari mulut sepertimu tidak akan bisa dipercaya lagi".

Melihat Abang sangat emosi, Rangga tersenyum dan menghampiriku. Ya nama lelaki bejat  tak tahu diri itu adalah Rangga. Dia tersenyum dan menghampiri Abang dengan kedua tangan seperti mau memeluk. Abang melangkah mundur mengingat reputasi Rangga sebagai preman terminal tukang berantem. Setinggi apa pun emosi Abang saat itu masih sedikit berpikir untuk meluapkan emosi begitu saja kepada Rangga. Abang pun berteriak memintanya mundur. "Diam disitu jangan kau berani mendekat. Najis bagiku disentuh orang seperti kamu". Tapi Rangga seperti tidak mendengar kata-kata Abang, dia tetap berjalan mendekati Abang sambil membuka tangan seraya ingin memeluk Abang.

Sejenak Abang menoleh kanan dan kiri mencari sesuatu untuk bisa mengancam Rangga. Disudut pandangan Abang terlihat pemukul baseball ada sangat dekat dengan tempat Abang berdiri. Sebuah pemukul baseball yang Abang kenal, pemukul baseball yang sering digunakan Rangga jika dia hendak memukuli orang.

Saat Rangga sudah hampir memeluk Abang dan berucap, "sini kawanku biar aku memelukmu biar tenang". Dengan sigap Abang melangkah ke kanan sedikit lalu mengambil pemukul baseball tadi dan ....brak. Tongkat pemukul baseball itu patah setelah Abang ayunkan dengan tenaga penuh menghantam kepala Rangga, diikuti teriakan histeris Mirna.

Walaupun Rangga sudah berdarah banyak dikepalanya dan pemukul baseball itu patah. Tetapi Rangga masih tersenyum melihat Abang. Dan dia berjalan mendekati Abang. Jarak kami semakin dekat dan tidak ada lagi ruang untuk Abang kembali memukul Rangga. Dengan refleks Abang ayunkan pemukul baseball ke depan tepat ke arah perut Rangga.

Bunda sungguh tidak ada niat Abang untuk menghabisinya, tapi pemukul baseball yang tadi patah sudah menjadi runcing, dan emosi abang ditambah rasa takut terhadap Rangga sehingga Abang sambil menutup mata mengayunkan dan mendorong tongkat baseball dengan tenaga penuh.

Bersamaan jeritan serta tangisan Mirna, terdengar lenguhan dari mulut rangga. Saat Abang buka mata ternyata tongkat baseball sudah berlumur darah dan menancap di perut Rangga. Abang yang masih di penuhi rasa nafsu merasa menang dan gelap mata, Abang putar tongkat baseball tadi di dalam perut Rangga dan membuat Rangga berteriak kesakitan. Lalu Abang cabut tongkat tadi, lalu Rangga ambruk di hadapan Abang.

Mirna yang dari tadi menangis di belakang Rangga segera berlari menghampiri Rangga dan memeluk Rangga sambil memaki Abang. Melihat kelakuan Mirna yang memeluk Rangga dengan penuh kasih sayang Abang semakin jijik melihatnya.

Tidak lama berselang Abang melihat Mirna mengambil telepon genggam dari saku celananya dan sambil terus berkata "Marwan kamu Jahat, kamu jahat, kamu jahat". Lalu dia menekan beberapa nomor dan menunggu panggilan itu diangkat.

Aku bentak dia, "heh... Lonte....siapa yang kamu hubungi?, jangan macam-macam kamu". Mirna tetap diam dan tak berapa lama terdengar jawaban dari lawan bicara Mirna. Lalu Mirna mengucapkan beberapa kata yang membuat gelap mata Abang semakin menjadi. Sambil terbata-bata dan menangis Mirna berucap "Pe..tu..gas, saya di jalan mawar no 4.... di sini ada yang terluka". Mendengar kata "Petugas". Lalu dengan refleks Abang ayunkan tongkat baseball yang sudah dilumuri darah Rangga untuk menjatuhkan telepon genggam yang di tempelkan di telinga Mirna.

Telepon genggam itu terjatuh dan tongkat baseball menghantam keras ke bagian telinga Mirna. Tanpa selang waktu Mirna langsung roboh di atas badan Rangga. Dengan rasa khawatir Abang mengambil telepon genggam Mirna. Dan terlihat tulisan nomor yang tadi Mirna hubungi "Ambulance". Dan terdengar sayup dari lawan bicara mengatakan "Baik, petugas kami segera menuju lokasi".

Sadar akan segera datang ambulance ke rumah itu Abang sedikit berpikir untuk mereka adegan di TKP. Dengan sigap abang buka pakaian Mirna dan Rangga seakan mereka sedang melakukan mesum. Ya.... sangat mudah Abang melepas pakaian mereka karena nyawa mereka sudah melayang.

Kejadian selanjutnya seperti yang Bunda sudah tahu, sekarang Abang disembunyikan di sini oleh Ayah. Abang disembunyikan dari panggilan sidang peradilan. Sidang itu hanya dihadiri pengacara yang ayah bayar. Seminggu kemudian tersebar berita bahwa sepasang muda mudi dibunuh saat melakukan hubungan terlarang di sebuah rumah tua.

Saat berita itu tersebut Abang merasa puas dan bangga dengan perjuangan Ayah. Tapi minggu ini abang mendapat berita yang tidak kalian sampaikan, bahwa yang kalian hadapi di persidangan hanya satu keluarga, yaitu keluarga Mirna. Kalian tidak menceritakan bahwa Rangga adalah benar kakaknya Mirna. Di sunyinya Vila ini, dalam kesendirian Abang mengingat kembali cerita Mirna. Dia memiliki saudara kembar yang sudah diusir oleh ayahnya sejak SD. Dia diusir untuk mempertanggungjawabkan kesalahan Mirna. Saat mereka kecil Mirna menjatuhkan gentong abu jenazah neneknya. Dan ayahnya sangat marah, untuk menghindari Mirna dari hukuman ayahnya, maka Rangga pun mengambil alih tanggung jawab dari kesalahan Mirna. Sejak hari itu Rangga di usir dan entah tinggal di mana. Beberapa bulan lalu Mirna bercerita bahwa dia berjumpa kakaknya, ternyata dia tinggal bersama Nenek dari ibunya yang sudah meninggal.

Jadi Rangga yang Abang tikam dan Mirna yang Abang cabut juga nyawanya adalah benar bersaudara. Bunda, mereka tidak bersalah. Bunda, Abang terus teringat tatapan Mirna sejenak sebelum melayang nyawanya. Abang masih mengingat jelas wajah Rangga yang hangat hendak memeluk Abang. Wajah Rangga yang kesakitan saat Abang putar tongkat baseball runcing di dalam perutnya.

Bunda, Abang sangat menyesal. Abang sangat merasa bersalah. Bunda, Abang minta izin sama bunda, Abang Minta maaf sama Bunda. Abang harus menyusul mereka untuk meminta maaf.

Bunda, Abang pamit ya....Abang ingin Bunda peluk Abang dulu sepertu dulu.Bunda, Abang pamit. Mohon bunda mengerti dan semoga kita bisa kembali berjumpa disana.

Air mata pun menetes di Pipi Bu Warsih setelah membaca sepucuk surat yang diambil dari genggaman jasad Marwan yang tergantung di di ruang tengah sebuah vila mewah milik ayahnya, vila mewah milik seorang petinggi di lingkungan Kejaksaan Negeri kota tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun