Mohon tunggu...
khalijah nur
khalijah nur Mohon Tunggu... operator -

Seorang mahasiswi s1 fakultas ekonomi ,jurusan MANAJEMEN di UNIVERSITAS TJUT NYAK DHIEN ,kota MEDAN, SUMATARA UTARA. mereka bisa kenapa saya tidak. sama2 cipataan ALLAH SWT.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penyebab Semakin Meningkatnya Golput di Pilgub Sumut 2018

9 Agustus 2018   09:22 Diperbarui: 9 Agustus 2018   15:44 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Golput (golongan putih) merupakan salah satu bentuk perlawanan Diam terhadap praktik politik dari orang-orang yang kecewa terhadap penyelenggaraan negara dengan cara tidak memilih partai atau legislator (dalam pemilu legislatif), atau Presiden (dalam pemilu Presiden) bahkan kepala daerah (dalam pilkada). 

Istilah golput (golongan putih) sudah lama menghiasi kancah politik-demokrasi di negeri ini.

Secara historis, istilah "putih" dipakai untuk memposisikan diri sebagai sesuatu yang netral dan tidak partisan dalam politik partai yang penuh warna.

Bahkan, sampai saat ini warna masih sangat melekat dalam entitas sebuah partai. Sehingga warna putih dipilih sebagai sebuah representasi politik yang tidak berwarna.

Membangun Partisipasi Politik
Demokrasi politik yang hari ini berlaku sangat meniscayakan adanya partisipasi pemilih.

Partisipasi ini kemudian terkonversi menjadi suara politik yang mampu memberi legitimasi terhadap calon yang dipilihnya. Sehingga kualitas demokrasi dalam hal ini berbanding lurus dengan kuantitas partisipasi.

Golput dalam hal ini adalah angka deviasi yang secara tidak langsung menggerogoti kualitas demokrasi partisipatif tersebut.

Sehingga, secara tersirat bangsa ini harus mampu berjuang melawan tingginya ancaman golput.

Sebenarnya ada beberapa kemungkinan tentang kecenderungan tingginya angka golput ini.

Pertama, ada semacam apatisme politik yang menjangkiti para pemilih. Apatisme ini boleh jadi disebabkan oleh ketidakmampuan parpol dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas.

Banyaknya kader parpol yang terlibat korupsi adalah kristalisasi dari bobroknya kualitas demokrasi-politik.

Sehingga, secara logis akan melahirkan sebuah kecenderungan apatis terhadap proses politik, termasuk pilkada.

Kedua, kurangnya pendidikan politik bagi pemilih. Kesadaran politik warga negara harus menjadi prioritas utama dalam proses politik.

Di sini, beberapa pihak seperti penyelenggara pemilu, partai politik, dan lembaga swadaya masyarakat harus melakukan pendidikan politik secara masif. Kesadaran politik pemilih menjadi jaminan terhadap kualitas demokrasi, mengingat suara pemilih sangat menentukan kepemimpinan nasional maupun daerah.

Ketiga, besarnya angka golput boleh jadi disebabkan oleh kurang maksimalnya sosialisasi yang diakukan oleh penyelenggara pemilu.

Sosialisasi dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan hari dan teknis pemilihan. Namun, juga terhadap program dan profil calon yang melakukan kontestasi politik.

Sehingga, ketika pemilih sudah memahami pilkada secara substansif dan teknis, maka akan ada tindakan politik yang ia lakukan.

Masyarakat yang merupakan pemilik suara politik harus dipahamkan tentang arti penting partisipasi politik mereka dalam pemilihan.

Keempat, carut marutnya daftar pemilih tetap (DTP). Fenomena semrawutnya kasus DPT di berbagai daerah kiranya ikut serta memberi andil terhadap partisipasi politik para pemilih.

Di beberapa kasus, masyarakat yang ingin memilih namun dalam DPT tidak tercantum, akhirnya tidak bisa menggunakan hak pilihnya.

Hal itu secara masif akan melahirkan pesimisme politik masyarakat. Pada akhirnya termanifestasikan melalui tindakan golput. Dari sini, pembangunan partisipasi politik pemilih niscaya untuk dilakukan.

Demokrasi adalah manifestasi dari akumulasi penggunaan hak masing-masing individu. Demokrasi dalam hal ini tidak begitu akomodatif terhadap kualitas calon pemimpin, namun ia sangat berdasar pada kuantitas yang memilihnya.

Sehingga, pembangunan kepemimpinan nasional harus dimulai dengan pembangunan partisipasi politik yang cerdas.

Jika rakyat cerdas memilih calon pemimpin, maka secara tidak langsung akan mampu melahirkan sosok pemimpin yang cerdas lahir batin.

Lebh jauh, golput adalah sebuah ancaman bagi demokrasi. Jika golput telah menjadi 'ideologi' bagi masyarakat dan mulai menganggap politik sebagai sesuatu yang "buruk"--sehingga mereka lebih memilih golput--maka keruntuhan demokrasi secara substantif sudah tidak bisa terelakkan lagi.

Ketika bangsa ini sudah memantapkan langkahnya memilih demokrasi partisipasif atau demokrasi langsung, maka ideologi golput harus menjadi perhatian kita bersama, sebagai prasyarat prinsip representatif.

Semoga suara golput tidak mewakili suara Tuhan.

Faktor lain yang menyebabkan masyarakat memutuskan untuk tidak memilih atau menjadi golongan putih (golput), antara lain :

  1. Kurangnya penyuluhan serta perhatian ke masyarakat pedalaman yang minimnya informasi tentang pilkada serentak kemarin.
  2. Karena tidak terdaftar milih atau karena tidak adanya kartu undangan memilih dengan alasan bukan asli penduduk setempat.
  3. Masyarakat sudah bosan dengan janji_janji manis yang hanya dia awal nya saja, setelah terpilih mereka lupa dengan janji mereka sendiri.
  4. Masyarakat menganggap tidak adanya perubahan meski pun pemimpin nya telah berganti.
  5. Dan semakin banyaknya tingkat pidana korupsi yang dilakukan oleh parapejabatnya.

Untuk mengatasi dan mengurangi terjadinya golput, intansi terkait harus terus memberi perhatian dan bertindak terutama untuk masyarakat di pedalaman, sebelum jauh-jauh hari pilkada dilaksanakan.

Lalu mengajak masyarakat dalam hal kegiaatan yang positif, calon pemimpin pun sebaiknya ikut muncul dalam setiap kegiatan penyuluhan yang berlangsung dan menatap langsung wajah-wajah masyarakat tanpa ada kecurangan di dalamnya.

Terpenting adalah bagaimana calon pemimpin tersebut mampu membuktikan kinerjanya setelah terpilih nantinya. Karena sebenarnya, masyarakat cenderung tidak peduli tentang siapa pemimpinnya. Mereka hanya peduli bagaimana kinerja yang dimiliki oleh pemimpinnya tersebut.

Untuk menarik masyarakat, calon pemimpin sebaiknya tidak perlu berkampanye dan mengumbar janji yang hebat. Lebih baik jika calon pemimpin tersebut turun ke masyarakat dan mendengar permasalahan yang dialami masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun