Sehingga, secara logis akan melahirkan sebuah kecenderungan apatis terhadap proses politik, termasuk pilkada.
Kedua, kurangnya pendidikan politik bagi pemilih. Kesadaran politik warga negara harus menjadi prioritas utama dalam proses politik.
Di sini, beberapa pihak seperti penyelenggara pemilu, partai politik, dan lembaga swadaya masyarakat harus melakukan pendidikan politik secara masif. Kesadaran politik pemilih menjadi jaminan terhadap kualitas demokrasi, mengingat suara pemilih sangat menentukan kepemimpinan nasional maupun daerah.
Ketiga, besarnya angka golput boleh jadi disebabkan oleh kurang maksimalnya sosialisasi yang diakukan oleh penyelenggara pemilu.
Sosialisasi dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan hari dan teknis pemilihan. Namun, juga terhadap program dan profil calon yang melakukan kontestasi politik.
Sehingga, ketika pemilih sudah memahami pilkada secara substansif dan teknis, maka akan ada tindakan politik yang ia lakukan.
Masyarakat yang merupakan pemilik suara politik harus dipahamkan tentang arti penting partisipasi politik mereka dalam pemilihan.
Keempat, carut marutnya daftar pemilih tetap (DTP). Fenomena semrawutnya kasus DPT di berbagai daerah kiranya ikut serta memberi andil terhadap partisipasi politik para pemilih.
Di beberapa kasus, masyarakat yang ingin memilih namun dalam DPT tidak tercantum, akhirnya tidak bisa menggunakan hak pilihnya.
Hal itu secara masif akan melahirkan pesimisme politik masyarakat. Pada akhirnya termanifestasikan melalui tindakan golput. Dari sini, pembangunan partisipasi politik pemilih niscaya untuk dilakukan.
Demokrasi adalah manifestasi dari akumulasi penggunaan hak masing-masing individu. Demokrasi dalam hal ini tidak begitu akomodatif terhadap kualitas calon pemimpin, namun ia sangat berdasar pada kuantitas yang memilihnya.