Harga 42% saham tersebut mungkin sekitar Rp. 60-70 trilyun (belum tentu benar). Jika divestasi saham Freeport akan mengambil dana APBN tidaklah mungkin, karena hal ini tidak disebutkan dalam APBN 2017. Bagaimana dengan divestasi saham melalui BUMN? Saham Freeport yang 10% saja, telah ditawarkan sejak tahun 2016, namun belum tersedia dana. Apakah akan minta Perusahaan Multi Nasional (PMN)? Sudah lewat juga. Jika divestasi saham Freeport melalui APBN dan BUMN tidak bisa dilakukan, artinya yang mungkin melakukan pembelian saham Freeport adalah pihak swasta nasional atau swasta asing. Ini adalah kebijakan "Jebakan Batman".Â
Adanya PP No. 1 Tahun 2017, membuat suatu perusahaan swasta harus menjual sahamnya ke swasta lain. Teman papa lagikah? Apabila ini yang terjadi dan tidak ada pihak swasta lain yang mau membeli, maka yang katanya selalu siap membeli adalah perusahaan dari Tiongkok. Jika itu terjadi, maka artinya kita mengusir Perusahaan Amerika Serikat dari tanah Papua dan menggantikannya dengan perusahaan swasta lain yang berasal dari Tiongkok. Wallahualam.
Apakah semua kebijakan ini sengaja dilawan pada tahun 2015, untuk menjebak Pemerintah pada tahun 2017 dengan pilihan yang sangat sulit? Tidak bisa dipastikan.Â
Akibat ketidaktegasan, ketidaktepatan, dan ketidakcepatan Pemerintah dalam mengambil kebijakan, maka kini posisi pemerintah sangatlah sulit. Bapak Muhammad Said Didu dalam hal ini merasa prihatin jika pemerintah harus menghadapi 3 sekaligus persoalan (simalakama) baru di Freeport yaitu : 1) tuntutan arbitrase, 2) ancaman PHK, dan 3) potensi gejolak sosial ekonomi Papua. Yang jelas permasalahan kedua dan ketiga, harus ada solusi segera.Â
Keterlambatan kebijakan ini, juga tidak terlepas dari DPR yang lambat melakukan revisi UU Minerba, akibat dampak dari "bisikan" orang tersebut. Karena "bisikan" orang tersebut di tahun 2015 bahwa Peraturan Pemerintah (PP) tidak boleh diubah, tapi akhirnya diubah melalui kebijakan "jilat ludah", maka ditempuh cara perubahan UU yang sebenarnya tidak perlu.
Pelajaran yang dapat diambil dari polemik Freeport, antara lain: 1) kebijakan harus tepat waktu, 2) kebijakan harus tepat sadarkan, 3) kebijakan harus sistematis, tidak amburadul, 4) kebijakan harus obyektif, 5) kebijakan harus bebas kepentingan kelompok, 6) kebijakan harus dipikirkan serius - bukan hanya sekedar membuat kebijakan RBT (Rencana Bangun Tidur), 7) kebijakan harus dapat diterima, kebijakan harus dapat dilaksanakan, 9) kebijakan harus berkesinambungan, dan 10) kebijakan harus komprehensif.
Secara umum, setiap kebijakan yang diambil Pemerintah harus memenuhi 5 kriteria, yaitu: 1) secara hukum LEGAL, 2) secara birokrasi WORKABLE, 3) secara ekonomi PROFITABLE, 4) secara politik ACCEPTABLE, dan 5) secara publik BERMANFAAT. Atas kejadian ini, Bapak Muhammad Said Didu berharap agar kebijakan-kebijakan yang penuh dilema sebaiknya dibahas secara sistematis. Kebijakan strategis sangat berbahaya jika mengandalkan kekuatan "pembisik" apalagi menggunakan starategi "adu domba" anak buah.
Beberapa calon kebijakan #simalakama yang mungkin dihadapi Pemerintah ke depan antara lain: 1) proyek pembangunan blok Masela, 2) proyek Kereta Api cepat, 3) proyek Kereta Api Papua, 4) proyek pembangunan Kilang Minyak, 5) Â program Tol Laut, dan 6) program 35.000 Megawatt. Lebih lanjut Bapak Muhammad Said Didu berharap agar pihak-pihak yang kini sedang duduk di tampuk kekuasaan, dapat mengambil pembelajaran dari simalakama-simalakama yang diakibatkan karena kegalauan dalam mengambil kebijakan soal Freeport. Semoga saja tidak terjadi tuntutan arbitrase dari Freeport karena dampaknya bisa besar.
Dampak yang mungkin terjadi adalah: 1) keraguan akan kepastian hukum, 2) kepastian investasi, 3) ekonomi (Freeport berhenti), 4) dampak fiskal (penerimaan), 6) dampak fiskal bayar denda (jika kalah), dan 7) dampak politik luar negeri. Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sudah tidak bisa dihindari karena kebijakan terlambat diambil, sehingga tambang akan berkurang. Dampak sosial ekonomi Papua juga sudah dipastikan akan terjadi, mengingat bahwa lebih dari 90% perekonomian Wamena bergantung pada Freeport.
Menurut informasi yang didapat oleh Bapak Muhammad Said Didu, bahwa pada hari Jumat siang, Pihak Freeport sudah memutuskan untuk mendaftarkan masalah ini ke Arbitrase Internasional. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus jika info ini benar - karena jika melalui arbitrase, permasalahan ini akan menjadi semakin rumit. Pemerintah seharusnya juga berkoordinasi secara serius dengan Pemerintah Daerah Papua, untuk mengantisipasi dampak PHK dan penurunan ekonomi Papua. Para "penumpang gelap" dalam kebijakan Freeport seharusnya sadar untuk tidak membuat kisruh dan mempersulit posisi Pemerintah. Adapun tokoh masyarakat di Papua, dimohon kerjasamanya untuk memberikan ketenangan masyarakat, dan tetap percaya bahwa pasti akan ada solusi atas masalah ini.Â
Harapan yang disampaikan oleh Bapak Muhammad Said Didu dalam kultwit pada tanggal 17 Februari, adalah supaya informasi ini dapat dibaca dengan tenang dan hati-hati tanpa kecurigaan apapun, karena yang Beliau bagi hanyalah sekedar informasi. Beliau menyadari bahwa belum tentu ia benar.Â