Menurut Bapak Muhammad Said Didu, setelah Beliau mengamati perkembangan dinamika PT. Freeport Indonesia, ada "Ilmu" baru yang bisa didapat.
Ternyata di tengah kesulitan Pemerintah, ada pihak-pihak yang cari untung.Â
Apa yang diperkirakan pada tahun 2015, betul-betul terjadi pada tahun 2017. Investasi Freeport berhenti, produksi berkurang, pengurangan tenaga kerja, dan lain-lain. Selain simalakama pertama dan kedua yang disebutkan diatas, ternyata masih ada simalakama-simalakama yang lain.Â
Simalakama ketiga, dalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), sudah tidak dikenal lagi adanya Kontrak Karya. Sehingga jika diperpanjang pun, Freeport harus berubah menjadi izin usaha, dalam hal ini bisa berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Tidak sedikit masyarakat pada saat itu, yang meminta Pemerintah untuk bersikap tegas terhadap PT. Freeport McMoran untuk memutuskan kontrak. Â Di dalam Pasal 169 UU Minerba disebutkan bahwa kontrak karya harus disesuaikan dengan UU Minerba selambat-lambatnya satu tahun sejak UU Minerba diundangkan. Dengan demikian, renegosiasi pertambangan adalah salah satu mandat dari UU Minerba. Sementara di pihak lain, sesuai dengan kontrak, PT. Freeport masih memiliki hak untuk meminta perpanjangan kontrak sampai dengan tahun 2041. Ini juga dilema (baca: simalakama).
Simalakama keempat, menghadapkan pemerintah pada putusan yang semakin sulit, yaitu munculnya kebijakan "jilat ludah". Kebijakan "jilat ludah" adalah kebijakan Pemerintah yang ditolak mentah-mentah pada tahun 2015, namun terpaksa harus diambil lagi pada tahun 2017 walaupun sudah terlambat. Sebenarnya Bapak Presiden Jokowi pada saat itu menyadari betul persoalan ini, namun "pembisik-pembisik" itu yang menyebabkan hal ini bisa terjadi. Yang aneh adalah: orang yang pada tahun 2015 lantang mengatakan bahwa tidak boleh ada perubahan aturan, di tahun 2017 berdiri paling depan untuk merubah aturan. Pada saat Menteri ESDM, Bapak Sudirman Said mengusulkan perubahan pada tahun 2015, ia diserang habis-habisan. Namun, pada saat orang itu yang merubah peraturan, semuanya diam. Termasuk DPR yang dulu membantah Bapak Sudirman Said dan menuduh berbagai macam, saat orang itu yang melakukan perubahan, juga diam. Hipotesa Bapak Muhammad Said Didu dari kejadian tersebut, bahwa ternyata TIDAK ADA lagi standar kebenaran kebijakan di Indonesia.Â
Kebenaran kebijakan di negeri ini tergantung siapa yang membuat.
Apakah Pemerintah sudah lepas dari simalakama setelah perubahan PP tersebut? Hal tersebut belum bisa dipastikan karena kebijakan akan sulit diterapkan. Sejak adanya perubahan terhadap PP, tidak terdengar lagi pemenuhan 7 tuntutan yang diajukan pada tahun 2015, tapi lebih fokus pada perubahan PT. Freeport menjadi IUPK dan divestasi. Kebijakan "jilat ludah" yang kedua adalah perubahan menjadi IUPK dan divestasi, plus 6 tuntutan lain yang juga diajukan di 2015 tapi ditolak, sekarang digunakan.
Kisruh berlanjut ketika Direktur Utama PT. Freeport Indonesia, Bapak Chappy Hakim, yang baru menjabat selama tiga bulan, mengundurkan diri. Artinya ada masalah serius yang terjadi. Bapak Chappy Hakim kita kenal cukup dekat dengan Presiden, jadi posisi Direktur Freeport pastilah "persetujuan" dari Presiden. Jika orang dekat Bapak Presiden seperti  Bapak Chappy Hakim saja tidak kuat, artinya ada pihak yang lebih kuat yang mempengaruhi kebijakan. Dengan mundurnya Bapak Chappy Hakim, maka muncullah buah simalakama yang kelima yaitu hubungan dengan investor dan pemilik saham di Amerika Serikat.
Simalakama kelima, info yang diterima oleh Bapak Muhammad Said bahwa pemilik saham terbesar saat ini di Freeport adalah salah satu orang terdekat Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Ada tiga simalakama baru yang muncul akibat ketidaktegasan pemimpin ambil keputusan tepat di waktu yang tepat, yaitu: 1) pelaksanaan PP baru dengan Kontrak yang masih hidup (berlaku), 2) izin ekspor konsentrat dengan ancaman PHK, 3) ketegasan kebijakan dengan potensi gejolak sosial di Papua.
Simalakama baru pertama, jika tidak ada keputusan tegas dari pemerintah terkait pelaksanaan PP baru dengan Kontrak yang masih hidup, maka masalah ini bisa menjadi tuntutan arbitrase. Ini merupakan masalah yang serius. Perlu diketahui bahwa aturan di Amerika Serikat, jika ada perusahaan tambang Amerika Serikat diperlakukan secara tidak adil di luar negeri, maka pemerintah akan bantu full. Artinya jika terjadi arbitrase, maka sebenarnya pemerintah Indonesia melawan pemerintah Amerika Serikat. Dari informasi tidak resmi yang didapat Bapak Muhammad Said Didu, jika Freeport ajukan arbitrase, kira-kira akan menuntut ganti rugi sekitar Rp. 500 trilyun.Â
Simalakama baru kedua, hal mendesak yang harus diselesaikan adalah masalah PHK tahun 2017 yang mungkin berjumlah sekitar 15.000 orang. Pemecatan dalam jumlah sebesar ini, tentu berpotensi terhadap anjloknya perekonomian Papua secara drastis.
Simalakama baru ketiga, jika pemerintah tidak bisa menyelesaikan permasalahan ancaman PHK, maka ribuan orang akan terkena dampak. Selain orang yang di-PHK, keluarga korban PHK tentunya juga akan terkena dampak kebijakan. Ketegasan pemerintah dalam mengambil kebijakan pada tahap ini, akan mempengaruhi ada atau tidaknya gejolak sosial di Papua nanti.
Simalakama keenam, hal yang perlu juga mendapat perhatian khusus Pemerintah, adalah kewajiban Freeport untuk melepaskan kepemilikan saham menjadi 51%, yang harus direalisasi tahun ini juga. Pada PP No. 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat PP No. 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, ada ketentuan mengenai divestasi saham, sebagaimana juga amanat UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Kebijakan itu kelihatannya sangat bagus karena Freeport harus melepaskan lagi sahamnya sekitar 42%, ditambah dengan 9% yang ada. Pertanyaannya lalu, siapa yang akan membeli saham tersebut? Pemerintah, perusahaan swasta nasional, ataukah perusahaan swasta dari luar negeri?