Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Bencana Nuklir Fukushima

11 Februari 2017   23:36 Diperbarui: 17 Februari 2017   18:52 1854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar citra satelit yang menunjukkan kerusakan di PLTN Fukushima, akibat gempa bumi yang terjadi pada 11 Maret 2011 (Sumber: DigitalGlobe).

Gempa besar dan tsunami yang terjadi di kawasan timur Jepang pada bulan Maret 2011 lalu, memicu terjadinya bencana nuklir di Fukushima. Reaktor nuklir, yang awalnya diciptakan untuk kesejahteraan warga Jepang, dan diklaim telah memenuhi standar keselamatan, ternyata mengakibatkan malapetaka di Kota Fukushima. Kawasan ini, tidak lagi aman ditempati dan tidak lagi mampu melindungi warga dari dampak radioaktif nuklir, sampai beberapa tahun kemudian. 

Ada masalah yang lebih luas dan pertanyaan penting yang masih membutuhkan perhatian kita:

  • Bagaimana mungkin dengan berbagai jaminan dan pertimbangan, kecelakaan nuklir besar yang setaraf dengan bencana Chernobyl tahun 1986, terjadi lagi di salah satu negara industri yang paling maju di dunia?
  • Mengapa rencana darurat dan evakuasi, tidak mampu melindungi orang dari paparan yang berlebihan terhadap dampak radioaktif dan kontaminasi yang dihasilkannya?

Ada beberapa poin yang bisa ditarik dari kejadian ini:

  • Kecelakaan nuklir Fukushima merupakan akhir dari paradigma keselamatan nuklir. 
  • Kecelakaan nuklir Fukushima memperlihatkan kegagalan yang dalam dan sistemik, dari lembaga yang seharusnya mengontrol tenaga nuklir dan melindungi masyarakat dari kecelakaan tersebut.

Gambar citra satelit yang menunjukkan kerusakan di PLTN Fukushima, akibat gempa bumi yang terjadi pada 11 Maret 2011 (Sumber: DigitalGlobe).
Gambar citra satelit yang menunjukkan kerusakan di PLTN Fukushima, akibat gempa bumi yang terjadi pada 11 Maret 2011 (Sumber: DigitalGlobe).

Setelah bencana yang terjadi di Fukushima, bisa kita simpulkan bahwa yang namanya "keselamatan nuklir" itu tidak pernah ada dalam kenyataan. Yang ada hanyalah resiko nuklir. 

Setiap saat, kombinasi yang tak terduga dari kegagalan teknologi, kesalahan manusia, atau bencana alam di reaktor manapun di seluruh dunia bisa terjadi, yang dapat menyebabkan reaktor menjadi tak terkendali. Di Fukushima misalnya, dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gagalnya reaktor pertama, ledakan hidrogen besar menghancurkan penghalang terakhir sejumlah besar radiasi, sebelum akhirnya keluar ke udara terbuka. 

Industri nuklir terus berkata, bahwa kemungkinan kecelakaan besar seperti Fukushima sangatlah rendah. Dengan lebih dari 400 reaktor yang beroperasi di seluruh dunia, probabilitas krisis inti reaktor, hanya mungkin terjadi satu kali dalam 250 tahun. Asumsi ini terbukti salah besar. Menurut analisis berbeda yang dilakukan oleh Greenpeace International, kecelakaan nuklir dapat terjadi di suatu tempat di seluruh dunia, kira-kira sekali setiap satu dekade. 

Salah satu prinsip ilmu pengetahuan modern adalah, bahwa ketika pengamatan tidak sesuai dengan hitungan, maka prediksi, model, dan teori perlu direvisi. Industri nuklir hanya bergantung pada model resiko yang rendah bencana, membenarkan kelanjutan operasi reaktor di Jepang dan seluruh dunia. Walau dalam kenyataannya, bencana ini memperlihatkan kegagalan sistemik di sektor nuklir dalam hal: darurat dan perencanaan evakuasi, kewajiban dan kompensasi atas kerusakan, serta regulasi nuklir.

Kondisi pinggiran kota Fukushima, 60 kilometer dari pusat PLTN Fukushima Doichi (Sumber: Greenpeace).
Kondisi pinggiran kota Fukushima, 60 kilometer dari pusat PLTN Fukushima Doichi (Sumber: Greenpeace).
Tessa-Morris Suzuki, Guru Besar Sejarah Jepang di College of Asia and the Pasific di Australian National University, mengungkapkan bahwa kelemahan industri nuklir, tersebar dalam lingkup institusi sosial, ekonomi, maupun politik baik secara regional maupun internasional. Pengelolaan industri nuklir Jepang, bukanlah kesalahan tersembunyi dalam sistem industri mereka. Sebaliknya, masyarakat telah memahami hal ini, menyadari, menulis, dan memperingatkan tentang hal ini selama beberapa dekade.

Prof. David Boilley, ketua LSM Perancis ACRO, menulis bagaimana Jepang, sebuah negara yang paling berpengalaman dan lengkap, ketika dihadapkan pada penanganan bencana skala besar, menemukan bahwa perencanaan darurat untuk kecelakaan nuklir tidak fungsional. Pada saat bencana terjadi, evakuasi menjadi kacau sehingga banyak manusia yang harus menanggung dampak radiasi. 

Dalam waktu dua minggu setelah bencana nuklir terjadi, pemerintah meminta warga yang tinggal 20-30 kilometer radius dari bencana, untuk sukarela mengungsi. Kemudian pada akhir April 2011, pemerintah memperpanjang zona evakuasi hingga 50 kilometer. Sekali lagi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, pemerintah meminta lebih banyak orang di luar zona evakuasi untuk mengungsi. Data pemerintah yang dirilis kemudian, memaparkan fakta bahwa pemerintah harus mengevakuasi masyarakat hingga 250 kilometer dari kawasan bencana.

Poin yang bisa diambil dari penanganan bencana adalah:

  • Perangkat lunak khusus yang digunakan untuk memprediksi bencana, tidak digunakan dengan benar.
  • Prosedur evakuasi masyarakat rentan, gagal.
  • Program-program dekontaminasi untuk membersihkan daerah yang sangat terkontaminasi, menimbulkan pertanyaan besar dalam hal efektivitas, biaya, dan efek samping negatif.

Dr. David McNeill, koresponden Jepang untuk The Chronicle of Higher Education, jurnalis The Independent dan Irish Times menginvestigasi kemungkinan yang paling mengerikan dari kecelakaan nuklir di Fukushima serta dampaknya pada manusia. Lebih dari 150.000 orang dievakuasi, mereka kehilangan hampir segalanya, dan tidak mendapatkan kompensasi yang cukup untuk membangun kembali kehidupan mereka. 

TEPCO, lembaga yang berwenang dalam hal ini, tidak menyebutkan aturan rinci dan prosedur bagaimana, serta kapan kompensasi akan dibayar. TEPCO malah berhasil melarikan diri dari tanggung jawab penuh, dan gagal untuk memberikan kompensasi baik pada warga masyarakat, atau pelaku sektor industri di sekitar lokasi bencana. Mengejutkan melihat bagaimana industri nuklir, berhasil membangun sebuah sistem, dimana para pencemar mampu meraih keuntungan besar. Sementara pada saat terjadi bencana, mereka melemparkan tanggung jawab penanganan kerugian dan kerusakan kepada warga yang terkena dampak.

Amie Gunderson dari Fairewinds Associates, mengatakan bahwa pengaruh politik tidak semestinya diaplikasikan pada pengaturan industri nuklir, yang dapat memberikan efek sangat fatal bagi warga negara. Kegagalan kelembagaan manusia, merupakan penyebab bencana Fukushima. Bahkan, Badan Energi Atom Internasional PBB (International Atomic Agency) juga dinilai gagal memprioritaskan perlindungan warga, diatas kepentingan politik Pemerintah Jepang, atau diatas misi mereka sendiri untuk mempromosikan tenaga nuklir.

Pengambilan sampel tanah di pinggiran kota Fukushima, 60 kilometer dari radius bencana yang masih memiliki kontaminasi radioaktif (Sumber: Greenpeace).
Pengambilan sampel tanah di pinggiran kota Fukushima, 60 kilometer dari radius bencana yang masih memiliki kontaminasi radioaktif (Sumber: Greenpeace).

Pelajaran yang Bisa Diambil (Lesson Learned)

Kegagalan institusi di Jepang adalah peringatan bagi seluruh dunia. Kegagalan institusi inilah yang menyebabkan terjadinya kecelakaan di Three Mile Island di Amerika Serikat, Chernobyl di Ukraina, lalu tragedi di Fukushima. Ada sejumlah kesamaan antara bencana Chernobyl, dan bencana Fukushima dalam hal jumlah radiasi yang dilepaskan, jumlah penduduk yang direlokasi, kontaminasi jangka panjang, serta luas lahan yang terkena imbas bencana. Akar permasalahannya sama: intansi terkait meremehkan resiko nuklir, mengutamakan kepentingan politik serta ekonomi, dibandingkan keselamatan warga.

Teknologi energi terbarukan yang matang, kuat, terjangkau yang tersedia, merupakan pilihan yang mampu menggantikan reaktor nuklir yang berbahaya. 

Faktanya, antara tahun 2007-2012, kombinasi kapasitas energi angin dan matahari, menjadi 26 kali lebih besar dari kapasitas gabungan reaktor nuklir baru, dalam rentang waktu yang sama. Skala instalasi energi terbarukan juga berkembang pesat dari tahun ke tahun, sementara tenaga nuklir terus mengalami penurunan. 

Salah satu fisikawan terkemuka abad lalu, pemenang hadiah Nobel, Richard Feynman, dalam laporannya yang menulis tentang bencana tragis Pesawat Ulang-Alik Challenger tahun 1987, mengungkapkan analisis mencengangkan mengenai bagaimana pengaruh sosial ekonomi masyarakat modern, menyebabkan kesenjangan besar antara prediksi resmi dan resiko nyata kecelakaan bencana dari teknologi yang kompleks. 

Butuh waktu dua bencana mematikan, untuk menghentikan pesawat ulang-alik yang rawan kecelakaan. Sekarang, kita telah mengalami bencana nuklir besar untuk kedua kalinya dalam sejarah. Mari kita jangan membodohi diri sendiri lagi. Kita memiliki tanggung jawab untuk beralih ke pasokan energi yang aman dan terjangkau - energi terbarukan. 

Tenaga nuklir, bagaimanapun tidak pernah bisa aman. Kita harus menempatkan rezim nuklir di bawah pengawasan publik ketat dan membutuhkan transparansi. Tidak cukup dengan itu, kita harus meninggalkan tenaga nuklir yang berbahaya sepenuhnya, secepat mungkin. Tidak ada kata setuju untuk pengembangan energi ini di masa depan. Tidak ada kata setuju bagi negara-negara sahabat, yang ingin meminta dukungan Indonesia atas pengembangan energi nuklir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun