Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Bencana Nuklir Fukushima

11 Februari 2017   23:36 Diperbarui: 17 Februari 2017   18:52 1854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar citra satelit yang menunjukkan kerusakan di PLTN Fukushima, akibat gempa bumi yang terjadi pada 11 Maret 2011 (Sumber: DigitalGlobe).

Dr. David McNeill, koresponden Jepang untuk The Chronicle of Higher Education, jurnalis The Independent dan Irish Times menginvestigasi kemungkinan yang paling mengerikan dari kecelakaan nuklir di Fukushima serta dampaknya pada manusia. Lebih dari 150.000 orang dievakuasi, mereka kehilangan hampir segalanya, dan tidak mendapatkan kompensasi yang cukup untuk membangun kembali kehidupan mereka. 

TEPCO, lembaga yang berwenang dalam hal ini, tidak menyebutkan aturan rinci dan prosedur bagaimana, serta kapan kompensasi akan dibayar. TEPCO malah berhasil melarikan diri dari tanggung jawab penuh, dan gagal untuk memberikan kompensasi baik pada warga masyarakat, atau pelaku sektor industri di sekitar lokasi bencana. Mengejutkan melihat bagaimana industri nuklir, berhasil membangun sebuah sistem, dimana para pencemar mampu meraih keuntungan besar. Sementara pada saat terjadi bencana, mereka melemparkan tanggung jawab penanganan kerugian dan kerusakan kepada warga yang terkena dampak.

Amie Gunderson dari Fairewinds Associates, mengatakan bahwa pengaruh politik tidak semestinya diaplikasikan pada pengaturan industri nuklir, yang dapat memberikan efek sangat fatal bagi warga negara. Kegagalan kelembagaan manusia, merupakan penyebab bencana Fukushima. Bahkan, Badan Energi Atom Internasional PBB (International Atomic Agency) juga dinilai gagal memprioritaskan perlindungan warga, diatas kepentingan politik Pemerintah Jepang, atau diatas misi mereka sendiri untuk mempromosikan tenaga nuklir.

Pengambilan sampel tanah di pinggiran kota Fukushima, 60 kilometer dari radius bencana yang masih memiliki kontaminasi radioaktif (Sumber: Greenpeace).
Pengambilan sampel tanah di pinggiran kota Fukushima, 60 kilometer dari radius bencana yang masih memiliki kontaminasi radioaktif (Sumber: Greenpeace).

Pelajaran yang Bisa Diambil (Lesson Learned)

Kegagalan institusi di Jepang adalah peringatan bagi seluruh dunia. Kegagalan institusi inilah yang menyebabkan terjadinya kecelakaan di Three Mile Island di Amerika Serikat, Chernobyl di Ukraina, lalu tragedi di Fukushima. Ada sejumlah kesamaan antara bencana Chernobyl, dan bencana Fukushima dalam hal jumlah radiasi yang dilepaskan, jumlah penduduk yang direlokasi, kontaminasi jangka panjang, serta luas lahan yang terkena imbas bencana. Akar permasalahannya sama: intansi terkait meremehkan resiko nuklir, mengutamakan kepentingan politik serta ekonomi, dibandingkan keselamatan warga.

Teknologi energi terbarukan yang matang, kuat, terjangkau yang tersedia, merupakan pilihan yang mampu menggantikan reaktor nuklir yang berbahaya. 

Faktanya, antara tahun 2007-2012, kombinasi kapasitas energi angin dan matahari, menjadi 26 kali lebih besar dari kapasitas gabungan reaktor nuklir baru, dalam rentang waktu yang sama. Skala instalasi energi terbarukan juga berkembang pesat dari tahun ke tahun, sementara tenaga nuklir terus mengalami penurunan. 

Salah satu fisikawan terkemuka abad lalu, pemenang hadiah Nobel, Richard Feynman, dalam laporannya yang menulis tentang bencana tragis Pesawat Ulang-Alik Challenger tahun 1987, mengungkapkan analisis mencengangkan mengenai bagaimana pengaruh sosial ekonomi masyarakat modern, menyebabkan kesenjangan besar antara prediksi resmi dan resiko nyata kecelakaan bencana dari teknologi yang kompleks. 

Butuh waktu dua bencana mematikan, untuk menghentikan pesawat ulang-alik yang rawan kecelakaan. Sekarang, kita telah mengalami bencana nuklir besar untuk kedua kalinya dalam sejarah. Mari kita jangan membodohi diri sendiri lagi. Kita memiliki tanggung jawab untuk beralih ke pasokan energi yang aman dan terjangkau - energi terbarukan. 

Tenaga nuklir, bagaimanapun tidak pernah bisa aman. Kita harus menempatkan rezim nuklir di bawah pengawasan publik ketat dan membutuhkan transparansi. Tidak cukup dengan itu, kita harus meninggalkan tenaga nuklir yang berbahaya sepenuhnya, secepat mungkin. Tidak ada kata setuju untuk pengembangan energi ini di masa depan. Tidak ada kata setuju bagi negara-negara sahabat, yang ingin meminta dukungan Indonesia atas pengembangan energi nuklir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun