Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebutuhan Akan Keadilan Gender di Papua

10 Februari 2017   17:46 Diperbarui: 17 Februari 2017   19:03 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perusahaan kerap membanggakan diri bahwa mereka menciptakan lapangan kerja bagi komunitas dengan menyebutkan jumlahnya, tetapi mereka tidak mengungkapkan, itupun jika mereka menghitung, berapa banyak pekerjaan yang ada baik yang berupah maupun tidak yang dihancurkan atau dihilangkan oleh perubahan yang mereka bawa.

Sementara itu, peran gender tradisiional masih terus ada sehingga perempuan masih bergulat untuk menyediakan makanan dan mengurus keluarga di lingkungan yang menjadi rusak, yang semua atau hampir semua sumber daya alamnya sudah hilang. Perempuan, yang secara tradisional bertanggungjawab mengumpulkan makanan untuk keluarga, kini harus meninggalkan anak-anak dan suami sejak subuh hingga petang untuk mencari hutan yang masih ada umbi-umbian, sagu dan sayuran untuk persediaan beberapa hari. "Hal ini menimbulkan persoalan di dalam keluarga. Laki-laki marah dan anak-anak sendirian sepanjang hari." (Konflik di Papua, GOHONG 28/03/2014).

Dalam hal pekerja perkebunan, ada ekspektasi bahwa perempuan pekerja sebaiknya mengerjakan pekerjaan rumah tangga sambil bekerja sepanjang hari di perkebunan. Penelitian menemukan bahwa keterbatasan peluang dari mata pencarian berbasis lahan dapat mengurangi status perempuan dalam keluarga dan masyarakat, sementara pada saat yang sama meningkatkan beban kerja mereka. Dalam beberapa contoh, perubahan cepat yang ditimbulkan oleh proyek investasi baru memiliki kaitan dengan adanya peningkatan pelecehan seksual dan/atau kekerasan terhadap perempuan.

Selain harus bekerja, perempuan juga masih bergulat untuk menyediakan makanan dan mengurus keluarga di lingkungan yang menjadi rusak, yang semua atau hampir semua sumber daya alamnya sudah hilang (Sumber: CIFOR).
Selain harus bekerja, perempuan juga masih bergulat untuk menyediakan makanan dan mengurus keluarga di lingkungan yang menjadi rusak, yang semua atau hampir semua sumber daya alamnya sudah hilang (Sumber: CIFOR).

Perubahan Iklim

Perubahan iklim tidak hanya akan membahayakan kehidupan dan merusak mata pencarian, tetapi juga akan memperburuk kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin serta memperkuat ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki (Women and the Climate Change, Lynda K.Wardhani, Jakarta Post, 05/01/2010).

Dampak perubahan iklim mempengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda begitu pula penanganan seputar mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Secara global, perempuan adalah penghasil utama tanaman pangan pokok, maka ketika produksi pangan terganggu akibat perubahan iklim, kerja mereka, waktu kerja, dan kapasitas untuk memberi makan keluarga akan terganggu. Jika perempuan pedesaan lebih tergantung pada hutan untuk pendapatannya dibandingkan dengan laki-laki di komunitas, maka setiap dampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya hutan terkait dengan perubahan iklim juga akan lebih mempengaruhi perempuan.

Seperti yang dipaparkan Neha Saxena dalam penelitiannya mengenai Perempuan dan Perubahan Iklim (Januari-Desember 2011), perempuan juga lebih rentan terhadap perubahan iklim, karena peluang mereka lebih kecil dibandingkan laki-laki dalam mencari pendapatan. Mereka mengelola rumah tangga dan mengurus keluarga, yang dapat membatasi mobilitas mereka dan meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam mendadak terkait cuaca, sehingga perlu adanya perlindungan atas hak asasi mereka.

Kemarau dan curah hujan yang tidak menentu memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras untuk mendapatkan makanan, air dan energi bagi rumah tangga. Anak-anak perempuan terkadang harus meninggalkan sekolah untuk membantu ibu mereka dengan tugas-tugas rumah tangga. 

Siklus kekurangan, kemiskinan dan ketidaksetaraan merusak modal sosial yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim secara efektif. Lebih jauh lagi, karena perubahan iklim mengakibatkan lebih banyak cuaca ekstrim dan bencana yang terkait seperti banjir, longsor dan kekeringan, ada kemungkinan bahwa perempuan juga akan menanggung beban yang tidak proporsional: beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap bencana dibandingkan laki-laki di dalam masyarakat yang saat inipun sudah tidak setara. Hal ini terbukti dalam hal angka kematian perempuan yang tidak berimbang dibandingkan laki-laki dalam bencana, namun juga dalam hal kondisi ruang hidup dan kerentanan pasca bencana.

Keterlibatan aktif perempuan dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya berarti mereka seharusnya dipandang sebagai pelaku utama dalam upaya mitigasi dan adaptasi termasuk pengelolaan dan penggunaan dana mitigasi dan adaptasi. Standar aturan perlindungan untuk menghentikan marginalisasi lebih jauh dibutuhkan dalam semua kebijakan, program dan inisiatif, termasuk pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui mekanisme pendanaan seperti Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund), namun pendiriannya berlangsung lamban selama bertahun-tahun negosiasi perubahan iklim. Hal-hal tersebut baru mendapat perhatian serius pada Kesepakatan Cancun di UNFCCC COP 16 tahun 2010. Kesepakatan tersebut mengakui perempuan dan kesetaraan gender sebagai aksi efektif yang integral untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kesemuanya tercakup dalam delapan rujukan terhadap perempuan dan gender pada tujuh bagian teks.

Perempuan lebih rentan terhadap bencana dibandingkan laki-laki di dalam masyarakat yang saat inipun sudah tidak setara (Sumber: FirstPeople).
Perempuan lebih rentan terhadap bencana dibandingkan laki-laki di dalam masyarakat yang saat inipun sudah tidak setara (Sumber: FirstPeople).

REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation)

Perempuan lebih mungkin terdampak secara tidak proporsional oleh kebijakan-kebijakan dan inisiatif REDD+ karena peran gender mereka yang membuat mereka kerap kali lebih tergantung terhadap akses ke hutan dan sumber daya alam sebagai mata pencarian dan kebutuhan dasar mereka dibandingkan laki-laki. Resiko-resiko potensial bagi perempuan termasuk pembatasan aktivitas mata pencarian atau akses ke hutan, yang dapat mengarah pada meningkatnya beban kerja atau hilangnya pendapatan, serta dikeluarkan dari mekanisme bagi hasil. Sejauh ini Inisiatif REDD+ di Indonesia gagal untuk melibatkan (jika memang terjadi) perempuan secara memadai dan perempuan memiliki akses terbatas dalam pengambilan keputusan mengenai proyek-proyek yang direncanakan dalam kawasan mereka, atau mengenai pengambilan keputusan atas REDD di tingkat nasional atau regional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun