Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebutuhan Akan Keadilan Gender di Papua

10 Februari 2017   17:46 Diperbarui: 17 Februari 2017   19:03 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meningkatnya peran perempuan sebagai wanita pekerja di Papua membutuhkan adanya perlindungan dan perhatian mengenai keadilan gender (Sumber: CIFOR).

Perempuan dan laki-laki berinteraksi dengan lingkungan dan mengelola sumber daya alam secara berbeda. Pada beberapa komunitas perbedaan-perbedaan ini mungkin lebih menonjol dibandingkan pada komunitas lain. Penelitian yang terus berlangsung mengungkapkan pola kompleks pengelolaan sumber daya alam dan pengaruh-pengaruh dari gender. Menurut Bank Dunia, bagi perempuan dalam komunitas hutan, setengah dari pendapatan mereka berasal dari hutan, sedangkan laki-laki mendapatkan sekitar sepertiga pemasukan mereka dari hutan; sementara itu Center for International Forestry Research (CIFOR) menemukan bahwa aktivitas laki-laki lebih memungkinkan untuk menghasilkan nafkah, sedangkan perempuan lebih terlibat dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar.

Para perempuan di pedesaan Indonesia, kerap kali diposisikan sebagai penyedia pangan oleh peran gender tradisional mereka, juga sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Laki-laki kerap kali dipandang atau digambarkan sebagai pencari nafkah utama (jika ada pekerjaan) dan umumnya mereka lebih mungkin memainkan peran utama dalam pengambilan keputusan mengenai sumber daya alam. Perempuan di wilayah pedesaan bisa bercocok tanaman pangan di tanah mereka, juga meramu berbagai bahan makanan, obat-obatan dan kebutuhan sehari-hari lainnya dari hutan (atau kombinasi keduanya dalam sistem wanatani). Mereka mungkin terlibat dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar maupun kegiatan ekonomi yang lebih luas, menyediakan makanan bagi keluarga ditambah pemasukan uang tambahan.

Peran mereka mungkin juga menuntut mereka untuk menjaga pengetahuan budaya, memastikan keberlanjutan kehidupan komunitas dan mengambil keputusan mengenai urusan sosial dalam komunitas. Pembagian peran dan tanggung jawab yang sangat bervariasi dan terus berkembang di antara laki-laki dan perempuan, tidak selalu mengisyaratkan adanya ketidakadilan gender. Seperti ditunjukkan oleh Sawit Watch dan Solidaritas Perempuan dalam bukunya yang berjudul Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Melemahkan Posisi Perempuan, menyatakan bahwa pembagian semacam itu bukan masalah sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan. Misalnya dalam pertanian Jawa tradisional, laki-laki mencangkul dan perempuan memanen; di rumah perempuan menggunakan pisau untuk memasak dan laki-laki menggunakan parang untuk memotong kayu. Hal ini menjadi masalah ketika peran dan tanggung jawab membatasi hak perempuan terhadap akses dan kontrol. Misalnya, perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik dalam rumah tangga atau urusan desa, karena pengambilan keputusan dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga, dan pertemuan-pertemuan desa hanya dihadiri oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga.

Memang pengambilan keputusan tentang kontrol atas tanah dan sumber daya alam kerap kali bukan ciri peran gender tradisional perempuan di pedesaan Indonesia. Hal ini berarti bahwa pentingnya peran dan sumber daya perempuan terhadap keberlanjutan kehidupan komunitas, bisa diremehkan atau diabaikan sama sekali ketika tanah dan sumber daya alam milik komunitas diambil alih untuk produksi komersial. Sebagai akibatnya, perempuan malah bisa bernasib lebih buruk daripada laki-laki. 

Dalam masyarakat, perempuan akar rumput adalah pihak yang paling sering diabaikan, tidak didengarkan bahkan tidak dianggap penting. Padahal perempuan akar rumput adalah pihak yang menghidupi kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam masyarakat.

Ada juga perbedaan gender dalam perusakan lingkungan ketika eksploitasi sumber daya alam skala besar, berlangsung di daerah yang sebelumnya dikuasai atau dapat diakses oleh komunitas lokal. Hal ini terjadi di wilayah yang mengalami perluasan cepat tambang batu bara di Kalimantan, misalnya, dan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan wilayah Indonesia lainnya. Perempuan harus menanggung resiko hilangnya mata pencarian, air dan ketahanan pangan terkait dengan perubahan pemanfaatan lahan. Dalam hal ini, perempuan dalam peran mereka sebagai pengurus rumah tangga, bisa merasakan kehilangan sumber daya alam lebih langsung dibandingkan laki-laki. Kehilangan ini ditambah dengan dampak-dampak negatif baru yaitu pencemaran terhadap air yang digunakan untuk memasak, mencuci dan minum.

Di wilayah hutan, yang kontrol resmi dan kepemilikannya dipegang oleh negara, hilangnya kuasa atas tanah, pohon dan aset lainnya menghancurkan laki-laki, perempuan dan seluruh komunitas sewaktu investasi masuk. Seperti dinyatakan oleh CIFOR dalam analisis gender pada riset kehutanan internasionalnya, bilamana aset yang dimaksud dimiliki oleh perempuan, posisi perempuan diperkuat dalam rumah tangga dan komunitas, yang memberi motivasi bagi mereka untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. "Namun, fokus sempit pada kepemilikan melupakan adanya kepemilikan oleh perempuan terhadap akses dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Walaupun memahami hukum adat dan hak-hak de facto adalah penting, jauh lebih banyak perhatian perlu diberikan pada ruang-ruang antara yang dapat diakses perempuan; ruang-ruang di sela-sela tanaman dan pepohonan milik laki-laki, atau pada lahan kritis dimana perempuan dapat mengumpulkan kayu bakar atau bahan pangan liar (CIFOR, Februari 2017)."

CIFOR mencatat bahwa ada "manfaat besar" dalam pelibatan baik laki-laki maupun perempuan di dalam kebijakan pengelolaan hutan, dan bahwa pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait hutan di tingkat komunitas sudah menunjukkan adanya pengaruh yang menguntungkan dalam sejumlah persoalan pengelolaan hutan, termasuk kapasitas kelompok-kelompok komunitas untuk mengelola konflik.

"Di banyak hutan dan negara …kesetaraan gender yang lebih tinggi adalah salah satu kunci pengelolaan hutan yang berkelanjutan." (Lembar fakta CIFOR CGIAR, Analisis Gender dalam Penelitian Kehutanan)

Di Indonesia, Mia Siscawati dan Avi Mahaningtyas peneliti-peneliti Sayogyo Institute menyerukan agar prinsip-prinsip dan aksi terkait keadilan gender dimasukkan dalam perumusan ulang kerangka hukum bagi tanah hutan dan sumber daya alam serta pembangunan kapasitas yang sistematik mengenai keadilan gender dan tenurial dan tata kelola hutan bagi lembaga-lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan lembaga donor.

Perempuan kini terlibat dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar maupun kegiatan ekonomi yang lebih luas, menyediakan makanan bagi keluarga ditambah pemasukan uang tambahan (Sumber: CIFOR).
Perempuan kini terlibat dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar maupun kegiatan ekonomi yang lebih luas, menyediakan makanan bagi keluarga ditambah pemasukan uang tambahan (Sumber: CIFOR).

Pekerjaan-Pekerjaan Berbasis Gender

Barangkali ada konsekuensi lebih buruk bagi perempuan dibandingkan bagi laki-laki ketika perusahaan merekrut pekerja, karena adanya investasi yang masuk akan membuat rumit dan mengaburkan pembagian kerja berdasarkan gender yang sudah ada sebelumnya. 

Dalam proyek tambang dan industri pengerukan lainnya, jarang ada pekerjaan langsung bagi perempuan, sedangkan di perkebunan, jikapun ada pekerjaan untuk perempuan, kecenderungannya pekerjaan tersebut berupah rendah, kurang terjamin dan lebih berbahaya. 

Perusahaan kerap membanggakan diri bahwa mereka menciptakan lapangan kerja bagi komunitas dengan menyebutkan jumlahnya, tetapi mereka tidak mengungkapkan, itupun jika mereka menghitung, berapa banyak pekerjaan yang ada baik yang berupah maupun tidak yang dihancurkan atau dihilangkan oleh perubahan yang mereka bawa.

Sementara itu, peran gender tradisiional masih terus ada sehingga perempuan masih bergulat untuk menyediakan makanan dan mengurus keluarga di lingkungan yang menjadi rusak, yang semua atau hampir semua sumber daya alamnya sudah hilang. Perempuan, yang secara tradisional bertanggungjawab mengumpulkan makanan untuk keluarga, kini harus meninggalkan anak-anak dan suami sejak subuh hingga petang untuk mencari hutan yang masih ada umbi-umbian, sagu dan sayuran untuk persediaan beberapa hari. "Hal ini menimbulkan persoalan di dalam keluarga. Laki-laki marah dan anak-anak sendirian sepanjang hari." (Konflik di Papua, GOHONG 28/03/2014).

Dalam hal pekerja perkebunan, ada ekspektasi bahwa perempuan pekerja sebaiknya mengerjakan pekerjaan rumah tangga sambil bekerja sepanjang hari di perkebunan. Penelitian menemukan bahwa keterbatasan peluang dari mata pencarian berbasis lahan dapat mengurangi status perempuan dalam keluarga dan masyarakat, sementara pada saat yang sama meningkatkan beban kerja mereka. Dalam beberapa contoh, perubahan cepat yang ditimbulkan oleh proyek investasi baru memiliki kaitan dengan adanya peningkatan pelecehan seksual dan/atau kekerasan terhadap perempuan.

Selain harus bekerja, perempuan juga masih bergulat untuk menyediakan makanan dan mengurus keluarga di lingkungan yang menjadi rusak, yang semua atau hampir semua sumber daya alamnya sudah hilang (Sumber: CIFOR).
Selain harus bekerja, perempuan juga masih bergulat untuk menyediakan makanan dan mengurus keluarga di lingkungan yang menjadi rusak, yang semua atau hampir semua sumber daya alamnya sudah hilang (Sumber: CIFOR).

Perubahan Iklim

Perubahan iklim tidak hanya akan membahayakan kehidupan dan merusak mata pencarian, tetapi juga akan memperburuk kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin serta memperkuat ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki (Women and the Climate Change, Lynda K.Wardhani, Jakarta Post, 05/01/2010).

Dampak perubahan iklim mempengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda begitu pula penanganan seputar mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Secara global, perempuan adalah penghasil utama tanaman pangan pokok, maka ketika produksi pangan terganggu akibat perubahan iklim, kerja mereka, waktu kerja, dan kapasitas untuk memberi makan keluarga akan terganggu. Jika perempuan pedesaan lebih tergantung pada hutan untuk pendapatannya dibandingkan dengan laki-laki di komunitas, maka setiap dampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya hutan terkait dengan perubahan iklim juga akan lebih mempengaruhi perempuan.

Seperti yang dipaparkan Neha Saxena dalam penelitiannya mengenai Perempuan dan Perubahan Iklim (Januari-Desember 2011), perempuan juga lebih rentan terhadap perubahan iklim, karena peluang mereka lebih kecil dibandingkan laki-laki dalam mencari pendapatan. Mereka mengelola rumah tangga dan mengurus keluarga, yang dapat membatasi mobilitas mereka dan meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam mendadak terkait cuaca, sehingga perlu adanya perlindungan atas hak asasi mereka.

Kemarau dan curah hujan yang tidak menentu memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras untuk mendapatkan makanan, air dan energi bagi rumah tangga. Anak-anak perempuan terkadang harus meninggalkan sekolah untuk membantu ibu mereka dengan tugas-tugas rumah tangga. 

Siklus kekurangan, kemiskinan dan ketidaksetaraan merusak modal sosial yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim secara efektif. Lebih jauh lagi, karena perubahan iklim mengakibatkan lebih banyak cuaca ekstrim dan bencana yang terkait seperti banjir, longsor dan kekeringan, ada kemungkinan bahwa perempuan juga akan menanggung beban yang tidak proporsional: beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap bencana dibandingkan laki-laki di dalam masyarakat yang saat inipun sudah tidak setara. Hal ini terbukti dalam hal angka kematian perempuan yang tidak berimbang dibandingkan laki-laki dalam bencana, namun juga dalam hal kondisi ruang hidup dan kerentanan pasca bencana.

Keterlibatan aktif perempuan dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya berarti mereka seharusnya dipandang sebagai pelaku utama dalam upaya mitigasi dan adaptasi termasuk pengelolaan dan penggunaan dana mitigasi dan adaptasi. Standar aturan perlindungan untuk menghentikan marginalisasi lebih jauh dibutuhkan dalam semua kebijakan, program dan inisiatif, termasuk pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui mekanisme pendanaan seperti Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund), namun pendiriannya berlangsung lamban selama bertahun-tahun negosiasi perubahan iklim. Hal-hal tersebut baru mendapat perhatian serius pada Kesepakatan Cancun di UNFCCC COP 16 tahun 2010. Kesepakatan tersebut mengakui perempuan dan kesetaraan gender sebagai aksi efektif yang integral untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kesemuanya tercakup dalam delapan rujukan terhadap perempuan dan gender pada tujuh bagian teks.

Perempuan lebih rentan terhadap bencana dibandingkan laki-laki di dalam masyarakat yang saat inipun sudah tidak setara (Sumber: FirstPeople).
Perempuan lebih rentan terhadap bencana dibandingkan laki-laki di dalam masyarakat yang saat inipun sudah tidak setara (Sumber: FirstPeople).

REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation)

Perempuan lebih mungkin terdampak secara tidak proporsional oleh kebijakan-kebijakan dan inisiatif REDD+ karena peran gender mereka yang membuat mereka kerap kali lebih tergantung terhadap akses ke hutan dan sumber daya alam sebagai mata pencarian dan kebutuhan dasar mereka dibandingkan laki-laki. Resiko-resiko potensial bagi perempuan termasuk pembatasan aktivitas mata pencarian atau akses ke hutan, yang dapat mengarah pada meningkatnya beban kerja atau hilangnya pendapatan, serta dikeluarkan dari mekanisme bagi hasil. Sejauh ini Inisiatif REDD+ di Indonesia gagal untuk melibatkan (jika memang terjadi) perempuan secara memadai dan perempuan memiliki akses terbatas dalam pengambilan keputusan mengenai proyek-proyek yang direncanakan dalam kawasan mereka, atau mengenai pengambilan keputusan atas REDD di tingkat nasional atau regional.

Dalam sebuah studi gender dan REDD+, Program UNREDD (The United Nations Programme on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), misalnya, mengakui bahwa Program Indonesia disusun tanpa konsultasi dengan kelompok perempuan dan ahli gender.

Dokumen Program Nasional gagal memasukkan perspektif gender atau aktivitas-aktivitas yang menargetkan perempuan - sebuah kekurangan yang baru disikapi tiga tahun kemudian. 

Sejak 2012, program mulai melibatkan 'perempuan unggulan' dalam implementasi program dan untuk menjadi inspirasi bagi perempuan lain untuk lebih aktif terlibat, serta memasukkan gender dalam topik pelatihan yang tanggap gender, dan melibatkan organisasi perempuan di tingkat lokal. Namun, seperti yang dinyatakan oleh dokumen itu sendiri, "Inisiatif-inisiatif ini sendiri tidak cukup. Upaya untuk mengarusutamakan gender seharusnya lebih komprehensif dan terlembagakan."

Sebuah Catatan

Prinsip-prinsip dan aksi terkait keadilan gender perlu dimasukkan dalam perumusan ulang kerangka hukum bagi tanah hutan dan sumber daya alam serta pembangunan kapasitas yang sistematik mengenai keadilan gender dan tenurial dan tata kelola hutan bagi lembaga-lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan lembaga donor. Hal ini dibutuhkan untuk memberikan perlindungan yang jelas bagi perempuan. Perlu juga dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tradisional, bahwa baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dalam keluarga, sehingga diperlukan adanya kerjasama diantara kedua belah pihak. Hal ini penting untuk mengurangi beban kerja bagi perempuan yang menghabiskan seluruh waktunya di perkebunan sawit, namun masih harus dibebani oleh pekerjaan rumah yang luar biasa banyaknya. Ada kebutuhan akan standar aturan perlindungan untuk menghentikan marginalisasi gender dalam semua kebijakan, program dan inisiatif, termasuk pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui mekanisme pendanaan yang sesuai. Terakhir, perlu ada keadilan gender secara lebih kompresensif dan terlembaga di bidang kehutanan. Semoga ke depan, akan ada perhatian lebih dari pemerintah mengenai keadilan gender di Papua untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun