Mohon tunggu...
Manguns
Manguns Mohon Tunggu... -

Keluar dari PNS setelah 24 th menghabiskan anggaran negara, tak mau ambil pensiun khawatir, amal duniawi terganduli uang rakyat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Reformasi Administrasi Pertanahan (Sertifikat) bagi Presiden Terpilih

16 Agustus 2014   03:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:25 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terhadap presiden terpilih, saya berharap menjadikan agenda pembenahan sistem AGRARIA atau pertanahan di Indonesia.
Selaku warganegara yang peduli namun awam, saya tak akan menguraikan secara detil namun sebatas prinsip umum. Memahami prinsip umum membutuhkan nurani dan keberpihakan pada masyarakat, serta visi pentingnya struktur kuat percepatan pembangunan.

Sistem yang ada setidaknya melibatan 4 (empat) instansi pemerintah yang disengaja atau tidak saling kolaborasi menambah beban rakyat, roda perekonomian dan yang paling parah merusak moral bangsa.

Terhadap pertanahan, ada tiga aspek: Kepemilikan, Pajak dan Ijin Penggunaan. Ketiga aspek ini dikelola oleh empat instansi yang semrawut sistem pengelolaan dan hubungan antar instansinya. Sudah menjadi nasib bangsa Indonesia, Negarawannya tak mampu menyusun sistem perundang-undangan yang selaras melayani visi yang telah dicanangkan.
1a. Kelurahan (di kota)
1b. Desa (di kabupaten-). yang kepalanya adalah hasil pemilihan langsung demokrasi
2. Kantor Pajak Bumi dan Bangunan (Pemerintah Pusat-Departemen Keuangan)
3. Badan Pertanahan Nasional (Pemerintah Pusat)
4. Tata Kota (Pemerintah Derah)
5. Pejabat Pembuat Akte Tanah (Notaris atau Camat untuk di kabupaten)

Saat mengurus Kepemilikan lahan, rakyat dipaksa berhadapan dengan keempat instansi ini, yang dalam praktek memanfaatkan kekacauan demi keuntungan pribadi, dengan pameo terkenal "bila bisa dipersulit kenapa harus dipermudah".
- Saat melengkapi berkas sertifikasi lahan ke BPN, kantor BPN mewajibkan Akta Jual Beli, rekomendasi lurah, pajak dilunasi (PBB) , peruntukan dari tata kota (Keterangan Rencana Kota/Advice Planning).

- Saat membuat Akta Jual Beli, para pihak yang bertransasi melunasi pajak 10% (5% PPh. 5% BPHTB, validsi) plus PPAT 2%

- Setelah berkas lengkap baru BPN mau bekerja mengurus sertifkasi.

Sepintas hal ini tak bermasalah, tetapi pada iklim moral dan etika pejabat yang demikian rendah, melengkapi persyaratan terebut adalah tidak mudah dan sangat mahal.

Menjadi tarif umum, pungutan liar namun resmi oleh kepala desa 10-15%. Hal yang direstui seluruh bangsa, korupsi oleh kepala desa demi mengganti kerugian akibat sistem demokrasi pemilihan kades. Masih beruntung bila kepala desa memasang prosentase dari NJOP-PBB, bila prosentase dari nilai transaksi akan lebih tinggi lagi.

Kantor PBB kian membebani dengan mengkerek Tarif PBB hampir setiap tahun. Kantor PBB membutakan mata bahwa, tarif PBB yang ditetapkannya dijadikan patokan bagi berbagai pungutan resmi maupun tidak resmi. Kantor PBB adalah sumber inflasi di Indonesia.

Sebagai contoh tahun 2014, saat mengurus AJB tanah 2000m didesa yang PBB nya baru dikerek dari Rp20.000 ke Rp48.000. (Perlu diketahui tanah tersebut bila dijual Rp40.000/m dibawah NJOP, belum tentu laku). PPh dan BPhtB sejumlah Rp10jt tambah validasi, Kepala Desa yg baru bangkrut pilkades 15% sejumlah RP15jt, PPAT Camat/Notaris 2% Rp2jt.

Bila pemohon tidak jeli seperti yg terjadi pada 99% pemohon, formulir rekoemdasi yang digunakan adalah yang ada didesa. Saat diajukan ke BPN, BPN  meminta formulir yang digunakan yang berasal BPN. Perlu diingat sangat sedikit yang mengurus langsung dari AJB ke Sertifikat mengingat besarnya biaya, sehingga harus bertahap. Saat meminta Rekomendasi baru dengan Formulir BPN, Kepala Desa akan mengenakan tarif yang serupa. Pemohon akan kena beban dua kali atas biaya rekomendasi kepala desa.

Sangat ironis di tahun 2014 paska pilkada Jabar/Banten, mengurus AJB harus ditodong biaya Rp28jt untuk tanah luas 2000m yang dibeli 2012 Rp50jt.

Sampai saat AJB selesai, baru perjuangan dimulai dalam, mengurus Sertifikat tanah tersebut. Yang bila diurus sendiri, dengan perkiraan bolak-balik ke kantor BPN 5-6 kali/bulan untuk 4 bulan, kemungkinan terbit Sertifikat tanah 7-12 bulan.

Saat ini BPN dengan pongahnya mulai menegakkan aturan untuk tranksasi AJB harus dikeluarkan peta bidang terlebih dahulu dari BPN. Menambah kerumitan baru dan biaya baru.

Atas sebidang tanah tersebut, terjadilah pengukuran empat lima kali oleh instansi yang berbeda: Desa, PBB, BPN, dan Tata Kota, semata demi persyaratan sertifikasi. Bila akan mengurus IMB, wajib diukur ulang lagi oleh Tata Kota, produk Keterangan Rencana Kota (KRK) hanya dengan cap berbeda.

Harapan Terhadap Presiden terpilih: semoga tidak seperti presiden lalu, yang atas masalah ini tak memiliki hati nurani dan keberpihakan pada rakyat. Rakyat masih mau berjuang melaksanakan tertib administrasi pertanahan mendukung kesuksesan pemerintah dan keberhasilan pembangunan.

Didalam negara yang mengaku taat beragama, sangat menjijikkan melihat pemuka agama hanya ribut soal sertifikasi haram atau aurat, tetapi tak menyentuh permasalahan kronis pertanahan ini yang menggrogoti moral bangsa. Adalah jauh lebih baik sistem yang digunakan pemerintah penjajah belanda yang kafir, dimana hanya ada satu surat tanah: yang resmi diakui pemerintah yaitu verponding semacam PBB saat ini.

Secara logis demikianlah yang seharusnya, saat negara menerima pajak atau pungutan atas lahan berarti negara mengakui kepemilikan dari pembayar. Tidak seperti yang tercantum dalam SPT PBB NKRI: BUKAN MERUPAKAN BUKTI KEPEMILIKAN TANAH. Pernyataan yang menjijikan

Semoga presiden terpilih memiliki nurani, membubarkan kantor PBB dan melebur fungsinya ke BPN. Demikian juga fungsi yang pengukuran dari Tata Kota. Dijaman IT saat ini, adalah tidak pantas meminta rakyat mengurus dokumen (KRK-Tata Kota) yang tinggal di lihat/diklik oleh instansi yang membutuhkan (BPN).
Fungsi Akte Jual Beli Tanah yang berbiaya 2%, juga dilebur ke BPN, bukan lagi di Notaris. Atau setidaknya dijadikan satu atap dengan BPN.

Dan yang terutama, mencabut fungsi dan kewenangan kepala desa atau lurah dalam urusan pertanahan, dan meleburnya ke BPN. Atau yang paling mudah, BPN tak lagi mensyaratkan Rekomendasi Kepala Desa/Lurah dalam berkas permohonan sertifikat. Semoga dengan tak ada lagi peluang kepala desa merampok uang rakyat dari urusan pertanahan, menjadikan jabatan ini hanya diincar manusia idealis yang hampir dipastikan berekonomi pas-pasan. Manusia yang perampok yang berani berjudi menggalang berbagai kepentingan demi memenangkan pilkades adalah lawan tak setanding bagi begitu banyak insan idealis yang masih mau berjuang mengelola di desa.

Saran

Yth Presiden Terpilih, bila Bapak nanti mendengar pendapat berbagai orang pintar yang menyatakan sulit dan rumitnya menerbitkan sertifikat tanah, silahkan serahkan kepada saya. Dokumen sertifikat yang cuma 6-7 halaman, tidak terlalu sulit sehingga butuh 12 bulan. Saya cuma butuh 30 hari kerja dengan infrastrukur (aturan dan sistem) yang cukup. Bahkan dengan dibayarnya PPh/BPHTB yang jumlahnya signifikan, seharusnya dokumen resmi yang dikeluarkan negara adalah SERTIFIKAT TANAH (bukan sekedar Surat Tanda Setoran, yang masih harus divalidasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun