Sangat ironis di tahun 2014 paska pilkada Jabar/Banten, mengurus AJB harus ditodong biaya Rp28jt untuk tanah luas 2000m yang dibeli 2012 Rp50jt.
Sampai saat AJB selesai, baru perjuangan dimulai dalam, mengurus Sertifikat tanah tersebut. Yang bila diurus sendiri, dengan perkiraan bolak-balik ke kantor BPN 5-6 kali/bulan untuk 4 bulan, kemungkinan terbit Sertifikat tanah 7-12 bulan.
Saat ini BPN dengan pongahnya mulai menegakkan aturan untuk tranksasi AJB harus dikeluarkan peta bidang terlebih dahulu dari BPN. Menambah kerumitan baru dan biaya baru.
Atas sebidang tanah tersebut, terjadilah pengukuran empat lima kali oleh instansi yang berbeda: Desa, PBB, BPN, dan Tata Kota, semata demi persyaratan sertifikasi. Bila akan mengurus IMB, wajib diukur ulang lagi oleh Tata Kota, produk Keterangan Rencana Kota (KRK) hanya dengan cap berbeda.
Harapan Terhadap Presiden terpilih: semoga tidak seperti presiden lalu, yang atas masalah ini tak memiliki hati nurani dan keberpihakan pada rakyat. Rakyat masih mau berjuang melaksanakan tertib administrasi pertanahan mendukung kesuksesan pemerintah dan keberhasilan pembangunan.
Didalam negara yang mengaku taat beragama, sangat menjijikkan melihat pemuka agama hanya ribut soal sertifikasi haram atau aurat, tetapi tak menyentuh permasalahan kronis pertanahan ini yang menggrogoti moral bangsa. Adalah jauh lebih baik sistem yang digunakan pemerintah penjajah belanda yang kafir, dimana hanya ada satu surat tanah: yang resmi diakui pemerintah yaitu verponding semacam PBB saat ini.
Secara logis demikianlah yang seharusnya, saat negara menerima pajak atau pungutan atas lahan berarti negara mengakui kepemilikan dari pembayar. Tidak seperti yang tercantum dalam SPT PBB NKRI: BUKAN MERUPAKAN BUKTI KEPEMILIKAN TANAH. Pernyataan yang menjijikan
Semoga presiden terpilih memiliki nurani, membubarkan kantor PBB dan melebur fungsinya ke BPN. Demikian juga fungsi yang pengukuran dari Tata Kota. Dijaman IT saat ini, adalah tidak pantas meminta rakyat mengurus dokumen (KRK-Tata Kota) yang tinggal di lihat/diklik oleh instansi yang membutuhkan (BPN).
Fungsi Akte Jual Beli Tanah yang berbiaya 2%, juga dilebur ke BPN, bukan lagi di Notaris. Atau setidaknya dijadikan satu atap dengan BPN.
Dan yang terutama, mencabut fungsi dan kewenangan kepala desa atau lurah dalam urusan pertanahan, dan meleburnya ke BPN. Atau yang paling mudah, BPN tak lagi mensyaratkan Rekomendasi Kepala Desa/Lurah dalam berkas permohonan sertifikat. Semoga dengan tak ada lagi peluang kepala desa merampok uang rakyat dari urusan pertanahan, menjadikan jabatan ini hanya diincar manusia idealis yang hampir dipastikan berekonomi pas-pasan. Manusia yang perampok yang berani berjudi menggalang berbagai kepentingan demi memenangkan pilkades adalah lawan tak setanding bagi begitu banyak insan idealis yang masih mau berjuang mengelola di desa.
Saran
Yth Presiden Terpilih, bila Bapak nanti mendengar pendapat berbagai orang pintar yang menyatakan sulit dan rumitnya menerbitkan sertifikat tanah, silahkan serahkan kepada saya. Dokumen sertifikat yang cuma 6-7 halaman, tidak terlalu sulit sehingga butuh 12 bulan. Saya cuma butuh 30 hari kerja dengan infrastrukur (aturan dan sistem) yang cukup. Bahkan dengan dibayarnya PPh/BPHTB yang jumlahnya signifikan, seharusnya dokumen resmi yang dikeluarkan negara adalah SERTIFIKAT TANAH (bukan sekedar Surat Tanda Setoran, yang masih harus divalidasi.