Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Tubagus Rahmat Saf Rai

Jurnalis || Founder Sekumpul EduCreative II Direktur Wilip Institute || Penulis Skenario Film || Bidang Pelatihan dan Peningkatan Kompetensi PWI Kota Cilegon || Humas

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bising dan Debu: Ironi PLTU Suralaya Unit 9-10 yang Belum Resmi Beroprasi

18 Januari 2025   01:15 Diperbarui: 18 Januari 2025   15:42 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PLTU Suralaya Unit 9-10 dari Kampung Kopi (foto Pram) 


Dari kejauhan, suasana pegunungan di Suralaya saat musim hujan selalu menghadirkan pemandangan yang memukau. Hamparan hijau yang segar dan rindang seperti lukisan hidup yang menawarkan ketenangan bagi siapa saja yang memandangnya.

Namun, keindahan ini seolah menjadi ilusi ketika mendekat. Di balik keheningan dan harmoni alam itu, terlihat bayang-bayang kesibukan industri yang perlahan mengubah wajah pegunungan di ujung utara Kota Cilegon.

Bukit-bukit diratakan, laut diurug, dan pabrik-pabrik baru terus berdiri menjulang. Kontras ini bukan hanya soal pemandangan, tetapi juga cerita tentang perjuangan alam melawan perubahan zaman.

Di antara hiruk-pikuk mesin dan polusi, warga yang hidup di pegunungan Suralaya berusaha tetap kuat, menyimpan jejak keindahan yang semakin tergerus.

Keindahan pegunungan itu, ketika dijejaki hingga atas, akan berbeda melihat ke bawah. Seperti kesunyian yang dulu menjadi ciri khas Kampung Kopi dan Kampung Buah Dodol yang kini terusik. Warga setempat hidup di bawah bayang-bayang kebisingan mesin Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Unit 9 dan 10.

Ironisnya, meski pabrik belum beroperasi penuh, dampaknya sudah begitu nyata dirasakan.

"Suara bisingnya itu, Kang, seperti raungan yang nggak ada habisnya," keluh Wandi, pemuda setempat yang sudah cukup pusing mendengar deru mesin dari Pabrik yang berada di bawah kaki gunung itu.

Ia mengenang awal mula gangguan itu saat mesin-mesin pabrik mulai diuji coba. Sejak itu, katanya, kenyamanan warga terganggu. Lingkungan jadi tidak tenang. Mau protes juga tidak ada yang berani, kompensasi pun tidak pernah dirasakan.

"Lebih sakit hati, banyak pemuda yang tidak mendapatkan kesempatan kerja, setiap hari harus menonton cerobong-cerobong asap hitam. Sementara orang-orang jauh menjadi pekerjaannya, " ungkapnya lirih.

Kebisingan yang tak kenal waktu
Sejak mesin dinyalakan, suara meraung-raung seolah memecah kesunyian perkampungan yang berjarak hanya sekitar satu kilometer dari lokasi pabrik.

Ketenangan malam yang dulu menjadi waktu istirahat bagi warga, kini menjadi mimpi yang sulit diraih. Bahkan, aktivitas sehari-hari, seperti bersantai di teras rumah atau menikmati waktu bersama keluarga, tak lagi senyaman dulu.

"Katanya pabrik itu masih uji coba belum produksi. Nggak tau deh jadinya nanti, setelah beneran produksi dengan bahan bakar batu bara, apa jadinya kampung ini? " katanya.

Memandang cerobong-cerobong Pabrik PLTU Suralaya dari Bukit Teletubis Kampung Buah Dodol Suralaya (Foto Pram) 
Memandang cerobong-cerobong Pabrik PLTU Suralaya dari Bukit Teletubis Kampung Buah Dodol Suralaya (Foto Pram) 

Tak hanya suara yang menjadi momok baru dari unit yang mulai beroprasi tahun ini. Keberadaan debu hitam yang bertebaran semakin menambah penderitaan warga dari Unit pembangkit listrik lainnya (1-8) yang telah lama beroprasi.

Seorang wanita paruh baya yang setiap hari ngangon kambing di lereng pegunungan mengeluh matanya kadang pedih dan semakin hari pandangannya kabur. Jika sedang bersih-bersih, sudut matanya terdapat kotoran hitam menggumpal.

"Kalau lama nggak hujan, banyak debu hitam itu nempel di daun-daun. Sekarang aja sering hujan, coba musim panas. Sulit air ditambah banyak debu," ujarnya saat ditemui tengah menggembala kambing di bukit Teletubis.

Bukan hanya masalah kebisingan dan debu yang mengusik warga Kampung Kopi dan Buah Dodol. Saat hujan pertama turun, air yang mengalir dari genting rumah-rumah mereka berwarna hitam.

"Air dari teritis itu hitam itu biasa. Habis hujan bukannya bersih, malah tambah kotor," keluh wanita tua yang telah lama ditinggal mati suaminya.

Ia merasa khawatir akan dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan dan lingkungan.  Cerobong-cerobong asap pembangkit listrik itu telah beroprasi seiring usia perempuan tua itu.

Kini kondisi sangat mengkhawatirkan. Orang yang sakit batuk semakin banyak. Penyakit aneh yang dulu tidak ada, sekarang bermunculan di derita banyak orang.

Meski kondisi ini sudah berlangsung cukup lama, warga mengaku belum mendapatkan respons nyata dari pihak terkait. Ketakutan untuk menyuarakan keluhan semakin besar karena mereka merasa tak punya daya di hadapan perusahaan raksasa seperti PT Indo Raya Tenaga, anak perusahaan PT Indonesia Power.

Indra, Humas PT Indo Raya Tenaga, menyebutkan bahwa pihaknya akan turun langsung ke Kampung Kopi dan Buah Dodol untuk memverifikasi keluhan warga. "Kami sudah memastikan bahwa dalam operasional saat ini, kebisingan dan debu sudah diminimalkan," kata Indra melalui pesan WhatsApp saat dikonfirmasi.

Namun, bagi warga, janji ini belum mampu memberikan rasa lega. Di tengah ketidakpastian ini, warga hanya berharap ada solusi konkret. Mereka mendambakan kehidupan yang lebih tenang dan lingkungan yang sehat, seperti dulu sebelum pabrik berdiri.

Hening telah berubah menjadi raungan dan udara segar telah bercampur debu. Warga Kampung Kopi dan Buah Dodol kini hanya bisa menunggu kepedulian, baik dari pemerintah maupun pihak perusahaan, agar mereka bisa kembali menikmati kehidupan yang damai di tanah kelahiran mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun