Kisah cinta Sijah kepada Adinda berakhir tragis. Tak hanya cinta yang tak bisa bersatu, tapi juga kondisi sosial tatanan kehidupan yang tak tak beruntung di bawah kekuasaan penjajahan Belanda.
Eduard Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan nama pena Multatuli mencatat penindasan rakyat pribumi oleh penjajah dan di kemas dalam novel cinta Max Haevelaar, menceritakan betapa nelangsanya hubungan pemuda di Kabupaten Lebak yang tak berdaya mendapatkan cinta sahabat masa kecilnya.
Kekejaman penjaja Belanda kala itu, Cinta yang berjarak, dipertemukan kembali dalam kesedihan, keperawanan Adinda direnggut tentara Belanda. Â Saijah setelah lama mencari, menemukan tubuh Adinda penuh luka terbujur tak bernyawa.
Dibrondong peluru tentara Belanda, Saijah meregang nyawa. Cinta Saijah dan Adinda berakhir dengan luka dan kematian.
Saijah dan Adinda telah tiada, namun kisahnya yang melegenda tetap hidup. Hingga saat ini, perjuangan cinta itu diabadikan dalam Museum Multatuli.
Kabupaten Lebak, Banten menghidupkan kembali Sijah dan Adinda melalui Museum Multatuli. Gambaran tragis dalam novel Multatuli yang mendunia itu bisa nyata dikunjungi dalam rumah Max Havelaar.
Kekuatan novel ini menjadi salah satu karya penting yang menceritakan sejarah Banten dan Lebak, Museum Multatuli dibangun sebagai menjaga sejarah penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Lebak.
Museum Multatuli berdiri di bekas gedung Wedana Rangkasbitung yang telah digunakan sejak tahun 1923. Terletak disisi Alun-Alun Rangkasbitung dan tidak jauh dari Kantor Bupati Lebak.
Letak Museum ini sangat mudah di akses bagi warga Ibu Kota Jakarta atau pun daerah sekitar Banten. Akses kendaraan umum juga lebih gampang. Cukup menggunakan fasilitas  Commuter Line jalur Tanah Abang -- Rangkasbitung jika dari Jakarta. Kerta Api Lokal Merak-Rangkasbitung dari Banten.
Akses menuju museum cukup mudah, dari Stasiun Rangkasbitung bisa menggunakan fasilitas kendaraan umum, baik angkot, ojek pangkalan, dan ojek daring.
Tak ada biaya tiket masuk, lalu ada apa saja di dalam Museum Multatuli?
Kawasan Museum Multatuli cukup asri dengan keberadaan pohon-pohon rindang di pinggir jalan. Kesan artistik juga bisa dijumpai dengan pelataran terdapat pendopo dan terpajang peralatan musim gamelan.
Di halaman juga terdapat patung besar Multatuli yang sedang membaca buku. Di sampingnya terdapat rak dengan susunan buku.
Rumah Multatuli didesain  modern  yang tidak simetris, bantuan pencahayaan ruangan menambah artistik dan dramatisasi. Gambaran kehidupan yang diceritakan Multatuli dibagi menjadi tujuh ruangan dan empat tema.
Tema pertama mengisahkan sejarah awal kedatangan penjajahan di Indonesia. Terdapat sebuah layar lebar berupa gambar 3D yang dilengkapi dengan cahaya dan latar musik yang mengesankan dramatisasi. Â
Ruang berikutnya, terdapat tema kedua khusus menampilkan sejarah Multatuli dan novel Max Havelaar. Di sini terdapat buku Max Havelaar digital yang bisa dibaca langsung. Layar sentuh membuat kesan modern novel tragis ini.
 Adapun tema ketiga mengisahkan tentang sejarah Banten dan Lebak. Di sini menceritakan semua sosial budaya masyarkat Lebak dan betapa sulitnya kehidupan di bawah tekanan penjajah Belanda.
Sedangkan tema keempat mengisahkan sejarah Rangkasbitung yang ramai dan menjadi salah satu kawasan yang ramai di tempat itu. Terdapat sejumlah foto tokoh penting yang dipajang, seperti Rendra, Tan Malaka, Misbach Yusa Biran, Maria Ulfah, dan Eugenia van Beer.
lebak masih bisa terasa. Perpaduan desain modern menjadikan museum ini menjadi mewah.
Museum Multatuli memang tidak besar. Namun kesan lokalitas budaya masyarakat KabupatenNah, penasaran dengan kisah cinta Saijah dan Adinda? Â Museum Multatuli bisa dijadikan alternatif wisata di Kabupaten Lebak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H